Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

ID Institute Pertanyakan Alat Sensor Senilai Rp200 Miliar Milik Kemenkominfo

ID Institute Pertanyakan Alat Sensor Senilai Rp200 Miliar Milik Kemenkominfo Kredit Foto: Dina Kusumaningrum
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengadaan perangkat pengendalian situs internet Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terkesan tidak efektif. Anggaran yang dikeluarkan untuk alat sensor hasil lelang tersebut terbilang cukup fantastis yaitu Rp200 miliar.

Peneliti ID Institute M Salahuddien mengaku heran atas keputusan Kemenkominfo tersebut karena mesin?yang dibeli?hanya untuk?crawling.

"Ada yang bilang warganet yang paham teknis maupun yang kurang paham tentang teknis. Biasanya yang paham tentang teknis mempertanyakan sistem ini crawling kok jadi Rp200 miliar? Ini menjadi sebuah pertanyaan karena mesin crawling tidak semahal itu," tutur Salahuddien dalam sebuah diskusi media bertajuk Penapisan Konten Negatif di Indonesia, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Proses pengadaan perangkat pengendali proaktif telah dilaksanakan dengan lelang terbuka bagi publik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dimulai 30 Agustus 2017 hingga 11 Oktober 2017.

"Teman-teman Kemenkominfo juga cara lebih efektif memberi filter internet yang lebih baik. Salah satu yang menjadi masalah menurut kami adalah kurangnya keterbukaan ketika sistem penapisan tadi akan diubah atau ditingkatkan. Sehingga minggu lalu ada berita bahwa Kominfo ada yang menang tender untuk penapisan senilai Rp200 miliar," terangnya.

Sistem Perangkat Pengendali Proaktif memiliki cara kerja sistem dengan cara crawling konten yaitu menjelajah, membaca, dan mengambil atau menarik konten negatif yang sesuai dengan kriteria pencarian.

Hasil crawling disimpan dalam storage yang kemudian dilakukan analisis lebih mendalam dengan metode analitik tertentu yang hasil output berupa domain, subdomain, dan URL. Dari hasil?output ini kemudian dilakukan verifikasi dan validasi sampai dilakukan pengambilan keputusan yang kemudian dikirim ke sistem Trust+positif.

"Internet harus ditapis bahkan negara-negara yang sudah lama menganut demokrasi sekalipun itu juga menapis konten-konten internet bukan hanya konten pornografi tetapi juga ujaran kebencian. Konten-konten tertentu harus ditapis terutama pornografi karena kita punya Undang-Undang Pornografi. Kemudian ada hal yang tidak layak ditampilkan itu harus ditapis," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Dina Kusumaningrum
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: