Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kekerasan Global Meningkat, Terpacu oleh Timur Tengah

Warta Ekonomi -

WE Online, London - Dunia menjadi semakin kejam dengan angka tinggi kematian akibat perang selama 25 tahun, tingkat serangan teroris sangat tinggi dan lebih banyak orang telantar sejak Perang Dunia II, kata Indeks Perdamaian Global 2016 pada Rabu (8/7/2016).

Indeks tahunan itu, yang mengukur 23 indikator, termasuk kejahatan kasar, tingkat militerisasi dan impor senjata, mengatakan bahwa peningkatan perang di Timur Tengah menjadi penyebabnya.

Namun, di luar Timur Tengah, dunia sebenarnya menjadi lebih damai, kata peneliti di balik indeks itu.

"Cukup sering, dalam kekacauan saat ini di Timur Tengah, kami kehilangan pandangan terkait perkembangan positif lain," kata Steve Killelea, pendiri Institut Ekonomi dan Perdamaian (IEP), yang mengeluarkan indeks tersebut.

"Jika kita melihat pada tahun sebelumnya, jika kita keluarkan Timur Tengah, dunia akan menjadi lebih damai," kata Killelea kepada Thomson Reuters Foundation.

Lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik pada 2014 lalu, naik dari hampir 20.000 orang pada 2008. Suriah, dimana hampir 67.000 orang tewas pada 2014, menjadi tempat dimana sebagian besar peningkatan itu terjadi menurut indeks tersebut.

PBB mengatakan bahwa jumlah orang-orang yang tersingkir dari tempat tinggal mereka diperkirakan telah "jauh melampaui" angka 60 juta pada tahun lalu.

Indeks itu menunjukkan bahwa sebagian besar serangan yang mereka kategorikan sebagai aksi terorisme berpusat di lima negara yaitu Suriah, irak, nigeria, Afghanistan dan Pakistan.

Biaya ekonomi kekejaman itu dalam satu dasawarsa terakhir sebesar 137 triliun dolar Amerika, lebih besar dari PDB global pada 2015, IEP menunjukkan.

Indikator yang menunjukkan perkembangan paling besar pada tahun lalu adalah besarnya dana bagi sejumlah operasi penjagaan perdamaian PBB, yang mencapai titik terbesarnya pada 2016, IEP mengatakan.

"Meskipun demikian, biaya pembangunan dan penjagaan perdamaian masih lebih kecil dibandingkan dengan dampak ekonomi dari kekerasan yang ada, yang hanya sebesar dua persen dari kerugian global dikarenakan konflik bersenjata," kata Killelea dalam pernyataan.

Lebih dari 120.000 personil penjaga perdamaian PBB saat ini dikerahkan dalam 16 operasi di seluruh dunia. Yang terbesar berada di Republik Demokratis Kongo, wilayah Darfur di Sudan, Sudan Selatan, Mali, Republik Afrika Tengah dan di Libanon.

Perkembangan lain dalam perdamaian, adalah penurunan anggaran belanja militer global sebesar sepuluh persen dalam tiga tahun terakhir, IEP menyebutkan.

Abadi Eropa merupakan wilayah paling damai di dunia, meskipun nilai kedamaian wilayah itu menurun dikarenakan oleh adanya serangan di Paris dan Brussels. Tingkat kematian di Eropa dari serangan yang demikian meningkat lebih dari dua kali lipat selama lima tahun terakhir.

Pada tahun lalu, para pemimpin dunia sepakat untuk "mengurangi tingkat kekerasan apapun dengan signifikan" pada 2030 dan mencari penyelesaian abadi terhadap seluruh konflik dan ketidakamanan, sebagai bagian dari serangkaian Tujuan Pengembangan Berkelanjutan untuk melawan kesenjangan dan kemiskinan.

Membangun perdamaian abadi memerlukan lebih dari sekedar meningkatkan pengamanan, Killelea mengatakan.

"Cukup sering sebagai sebuah komunitas internasional bahwa kami kehilangan arah itu dan mencoba untuk mencari pendekatan untuk keseluruhan," kata dia.

"Bagi saya, hal yang paling mendalam terkait indeks itu adalah kemampuan untuk mempergunakannya, untuk pemahaman dan kualitas yang lebih baik, yang dapat menciptakan masyarakat yang damai," kata Killelea.

Eslandia merupakan negara paling damai yang tercantum dalam indeks itu, diikuti oleh Denmark, Austria, Selandia Baru dan portugal.

Sejumlah negara yang berada dalam urutan terbawah adalah Suriah, disusul oleh Sudan Selatan, Irak, Afghanistan dan Somalia. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Advertisement

Bagikan Artikel: