Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kolom Ade Febransyah: (Hampir) Tidak Ada Perusahaan Inovatif

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta- Bulan Februari lalu membangunkan kebanggan kita. Bagaimana tidak? Orang Indonesia mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Pertama, Joey Alexander, anak prodigy (12 tahun) asal Indonesia yg mendapatkan 2 nominasi Grammy Award untuk  Instrumental Jazz Album dan Best Improvised Jazz Solo. Mendapatkan standing ovation ketika tampil sendirian bermain piano di malam Grammy Award. Kedua, Rio Haryanto (23 tahun) yang baru saja resmi diumumkan Tim Manor Racing sebagai pembalapnya untuk berlomba di race F1 tahun ini. Rio adalah orang Indonesia pertama yang berlomba di ajang balap mobil paling bergengsi ini.

Baik Joey dan Rio pantas menjadi role model generasi muda kita. Meski sudah berprestasi dunia, mereka tetap santun dan rendah hati.  Sungguh merupakan pencilan dalam kerumunan. Itu di level individu. Di level perusahaan bagaimana? Adakah perusahaan asal Indonesia yang berprestasi dunia juga?

 

Mentalitas Berinovasi

Belumlah hebat jika belum menjadi penginovasi. Mungkin terdengar provokatif. Bisa saja perusahaan tidak harus berinovasi karena tanpa inovasi pun mereka tetap untung. Lihat saja ketika booming batubara terjadi. Meski permintaan masih dalam proyeksi, pelakunya sudah berani memesan berbagai alat berat yang diperlukan. Ketika permintaan tidak jadi kenyataan, segala peralatan yang sudah dipesan hanya mangkrak di tempat pembuatnya. Juga lihatlah pelaku bisnis factory outlet. Ketika ada segelintir yang berhasil, yang lainnyapun berbondong masuk ke bisnis ini. Inilah perilaku pelaku bisnis kebanyakan, sebatas oportunis, pantang menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Perilaku latah ini juga tidak hanya mendominasi pebisnis. Dunia akademik pun sama saja. Masih ingat tahun 80-an ketika pendidikan bisnis berstrata S2 mulai diperkenalkan. Permintaannya begitu tinggi. Gelar MM atau MBA seperti menjadi tiket utama bagi profesional menuju puncak karir mereka. Banyak perguruan tinggi negeri & swasta latah menawarkan program laris ini. Hukum alam pun berlaku. Ketika penawaran yang sama sudah begitu banyak, dan permintaannya turun, nilai produknyapun turun. Diyakini, jika tidak membenahi diri, 50% penyelenggara program MBA akan tutup dalam kurun 10 tahun (Lyons, 2015).

Berbeda dengan penginovasi sejati. Sebetulnya mereka juga oportunis. Problem yang ada di masyarakat akan menjadi oportunitas inovasi. Bedanya, penginovasi adalah penginisiasi solusi atas problem yang ada. Bagi penginovasi, solusi mereka harus berbeda dengan yang lain. Itulah bedanya dengan kerumunan. Penginovasi menemukan solusi baru; kerumunan latah menawarkan solusi seragam.

Yang membedakan penginovasi dengan pelaku bisnis kebanyakan adalah proses panjang berinovasi; mulai dari menemukan problem, menemukan solusi, hingga merealisasikan solusi tersebut. Semuanya dijalani dengan penuh kedisiplinan. Oportunitas berinovasi tidaklah datang begitu saja. Inovasi yang hebat berasal dari ide inovasi yang juga hebat. Apa lagi yang berikutnya (what’s next) haruslah, kalau bisa yang tidak terpikirkan atau tidak terimajinasikan oleh kebanyakan. Itulah bedanya mereka dari kebanyakan. Mereka menemukan ide besar inovasi, kebanyakan hanya membicarakannya.

Inilah yang menjadi pekerjaaan rumah terbesar bagi pelaku bisnis di Tanah Air. Adakah pelaku bisnis disini yang mau mengidentifikasi problem pasien yang menjalani rehabilitasi sehabis trauma kecelakaan? Adakah pelaku bisnis di sini yang sudah memikirkan jantung buatan dengan penggerak yang super ringan? Adakah pelaku bisnis disini yang mencari terobosan untuk memberikan pendidikan berkualitas dan terjangkau oleh siapapun? Adakah pelaku bisnis di sini yang bersedia menggelontorkan dana besar demi kemajuan teknologi batere untuk penyedia kelistrikan masa depan? Inilah mungkin mentalitas inventif dan inovatif yang belum dimiliki pelaku bisnis kebanyakan di sini.

Bagi pelaku bisnis di sini, mentalitas ‘show me the money’ menjadi penghela kegiatan bisnis. Setiap inisiatif baru harus bisa dijelaskan, apakah mendatangkan keuntungan. Maka tidaklah mengherankan jika bisnis yang dijalankan adalah bisnis yang serba pasti. Mereka berorientasi jangka pendek. Melakukan proses pencarian untuk kemanfaatan jangka panjang adalah sesuatu yang mengada-ada.

 

R&D

Jika di luar, pemeringkatan terhadap perusahaan terinovatif sedunia rutin dilakukan, tidak demikian disini. Indikator yang umum digunakan untuk menilai perusahaan inovatif seperti stock returns, profit growth, sales growth bisa saja dipenuhi oleh banyak perusahaan di sini. Namun, siapapun bisa tetap menikmati keuntungan tanpa harus berinovasi.

Perusahaan dituntut untuk berinovasi lebih hebat ketika berada dalam lanskap ketidakpastian yang tinggi (Furr & Dyer, 2014). Lihatlah industri seperti farmasi, peralatan medis, software dan otomotif. Mereka ini menghadapi ketidakpastian baik teknologi dan permintaan. Siapa yang menyangka bahwa robot sudah mulai digunakan dalam bedah pasien? Juga tidak terpikirkan sebelumnya bahwa mobil tanpa pengemudi akan menjadi kenyataan. Itulah contoh sedikit dari ketidakterdugaan bagaimana teknologi dapat mengubah kehidupan kita. Sektor industri yang sarat dengan perubahan teknologi tinggi, inovasi menjadi tidak terhindari. Ditambah lagi permintaan yang sulit diidentifikasi, pelakunya tidak lagi bisa tinggal diam selain tetap berinovasi mencari solusi yang tepat untuk penggunanya.

Melihat dua dimensi tersebut,  terutama teknologi akan sulit menemukan perusahaan yang benar-benar inovatif di Indonesia. Ketidakpastian teknologi yang dihadapi suatu industri dapat dilihat dari rasio  R&D industri terhadap revenue-nya. Kalau melihat perusahaan-perusahaan inovatif kelas dunia, mereka selalu mencantumkan R&D sebagai biaya operasional dalam laporan keuangannya. Untuk perusahaan inovatif papan atas, rasio R&D terhadap pendapatan umumnya di atas 1%. Meski terkesan kecil, tapi dengan pendapatan yang sudah di atas ratusan milyar dolar AS, nilai R&D menjadi begitu mahal buat perusahaan kebanyakan di sini.

Dan itulah yang terjadi, hanya segelintir yang mencantumkan R&D dalam laporan keuangannya; dan itu juga dengan rasio R&D terhadap pendapatan yang masih di bawah 1%. Meski tidak ada kausalitas antara R&D dan keinovasian perusahaan, tapi faktanya tidak ada perusahaan inovatif yang tidak melakukan R&D.

Jadi, jika ada perusahaan yang mengkampanyekan dirinya sebagai penginovasi, tolong lihat lagi intensinya untuk merangkul teknologi terkini. Seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk R&D? Jika belum ada intensi ke arah itu, lupakan dulu inovasi.  Inovasi, memang bukan untuk semua!

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: