Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

SPKS: Lewat Permentan, Pemerintah Legalkan Praktik Ketidakadilan

Warta Ekonomi, Jakarta -

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai Permentan Nomor 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah Segar telah melegalkan praktik ketidakadilan karena dalam Permentan tersebut ada komponen indek K.

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Darto mengatakan komponen indek K dinilai sangat tidak relevan dengan pembiayaan yang harus dibebankan kepada petani kelapa sawit dan seharusnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban perusahan perkebunan. Ia mengatakan aturan sistem indek K menjadi faktor utama rendahnya harga TBS di tingkat petani selama ini.

"Beberapa komponen indek K tersebut adalah biaya umum dan lingkungan. Terdapat dua bagian yang harus dibiayai petani, yakni biaya umum pabrik dan biaya pengelolaan limbah. Biaya umum pabrik ini pun tidak jelas kriterianya dan kegunaannya, begitupun halnya biaya pengolahan limbah," katanya dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Senin (5/9/2016).

Darto menyampaikan beberapa komponen lainnya adalah biaya gaji dan tunjangan yang memaksa petani membayar gaji dan tunjangan pegawai staf di pabrik dan gaji/upah bagi nonstaf di pabrik. Kemudian, imbuhnya, komponen biaya langsung yang membuat petani harus membayar alat-alat dan perkakas kecil, bahan kimia, dan perlengkapan untuk pengolahan, bahan dan alat analisis, bahan bakar dan minyak pelumas, penerangan dan air, serta pengangkutan dalam pabrik (forklift).

"Biaya pemiliharaan; yaitu pemeliharaan bangunan pabrik, pemeliharaan mesin, instalasi dan perlengkapan lainnya, yang seharusnya menjadi tanggungan pihak penguasaha perkebunan/pemilik pabrik bukan oleh petani kelapa sawit. Biaya pemasaran; yaitu sewa tangki timbun, instalasi/pemompaan minyak sawit kasar, asuransi barang/produksi, ongkos pemuatan pelabuhan, provisi bank, analisis, dan sertifikat yang semuanya dibebankan ke petani sawit. Biaya pengangkutan ke pelabuhan yaitu pengiriman dari pabrik ke pelabuhan merupakan bagian potongan yang ditanggung oleh petani. Kemudian biaya penyusutan pabrik yaitu penyusutan mesin, instalasi dan bangunan pabrik juga menjadi tanggung jawab petani sawit," paparnya.

Ia mengungkapkan bahwa dari beberapa substansi aturan tersebut terlihat jelas bahwa kebijakan pemerintah adalah sebagai bentuk penghisapan hasil produksi petani.

"Kemudian insentif pemerintah atau perusahaan untuk menjamin stabilitas harga dan 'memotivasi' petani memproduksi sawit secara berkelanjutan belum ada. Seharusnya bentuk perlindungan negara kepada petani sawit adalah dengan menetapkan harga batas bawah terhadap komoditas sawit dalam menghadapi situasi gejolak harga serta perlu dilakukan upaya perlindungan bagi petani atas harga yang ditentukan oleh tengkulak yang terjadi selama ini," ujarnya.

Perwakilan Deputi Bidang Pencegahan dan Direktur Direktorat Pengkajian, Kebijakan, dan Advokasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Dedy Sani Ardi mengungkapkan kondisi di sektor perkebunan kelapa sawit saat ini adalah monopsoni, yakni kondisi di mana perusahaan besar menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas tandan buah segar kelapa sawit.

"Perhitungan indek K dalam penetapan harga TBS kelapa sawit sangat tidak fair karena petani dibebani fee untuk perusahaan sawit maka sebaiknya hal tersebut harus dikaji kembali oleh Kementerian Pertanian," tegasnya.

Dedy menilai pembebanan indek K dalam penetapan harga TBS per kebun sangat tidak relevan karena petani dalam konteks perkebunan sawit hanya berperan sampai pada penyediaan bahan baku yaitu TBS kelapa sawit yang kemudian selanjutnya diolah oleh pabrik kelapa sawit. Dalam konteks ini, hubungan petani dengan perusahaan hanyalah sebagai penyedia bahan baku.

"Sehingga petani tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diterima perusahaan selama proses pengolahan di pabrik sampai menghasilkan CPO. Tidak ada korelasinya petani membayar indek K. Dalam konteks itu juga tidak ada filosofi yang jelas dalam penentuan indeks k ini. Petani seharusnya mendapat 100% harga tanpa adanya potongan indek K," urainya.

Ia juga mengkritisi ketersediaan pabrik kelapa sawit di mana PKPU berupaya untuk menyelesaikan persoalan ketersedian PKS tersebut.

"Pabrik di indrustri hulu melesat tinggi, tetapi pemerintah lupa industri hilirnya tidak dibangun. Persoalan ini perlu pernyelesaian bersama antar Kementerian Pertanian dengan KPPU," tegasnya.

Sementara itu, Yogarini selaku perwakilan Direktorat Jendral Perkebunan Bidang Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Perkebunan menyampaikan pedoman penetapan harga TBS bagi pekebun sudah jelas diatur dalam Permentan Nomor 14 Tahun 2013. Ia mengatakan persolan yang ada adalah praktik yang salah yang tidak jarang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha.

Terkait dengan komponen indek K dalam penetapan harga TBS pekebun, Yogarini menegaskan penetapan indek K bukan ditentukan oleh pemerintah. Ia mengatakan petani masih bisa mendapatkan keuntungan dari komponen Indek K.

"Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan rendemen TBS kelapa sawit dari petani kelapa sawit di mana hal tersebut sangat berpengaruh pada harga yang ditentukan oleh masing-masing perusahaan sawit. Indek K dimasukkan dalam penetapan harga TBS kelapa sawit merupakan nilai proporsi yang diterima petani sawit atas pengolahan TBS kelapa sawit petani oleh pabrik kelapa sawit," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: