Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengenal Sosok Carrie Lam, Perempuan Pemimpin Pertama Hong Kong

Mengenal Sosok Carrie Lam, Perempuan Pemimpin Pertama Hong Kong Kredit Foto: Theguardian.com
Warta Ekonomi, Jakarta -

Carrie Lam Cheng Yuet-ngor terpilih menjadi pemimpin baru Hong Kong yang baru pada pemungutan suara Minggu (26/3/2017).

Lam menjadi perempuan pertama dalam sejarah yang memegang jabatan tertinggi sebagai pemimpin eksekutif. Kemenangannya telah diperkirakan karena mendapatkan dukungan Beijing.

"Hong Kong, rumah kita, menderita perpecahan yang serius dan telah meningkatkan banyak rasa frustasi. Prioritas saya adalah akan memulihkan perbedaan ini," kata Carrie Lam dalam pidato pengukuhannya, seperti dikutip dari laman BBC di Jakarta, Selasa (28/3/2017).

Kepala eksekutif Hong Kong dipilih oleh sebuah komite pemilu yang sebagian besar anggotanya pro-Beijing, dibandingkan dengan mereka yang mewakili suara publik. Mayoritas warga kota berpenduduk 7,3 juta orang tersebut tidak ambil bagian dalam memutuskan pemimpin mereka, yang dipilih dari tiga kandidat oleh 1.200 anggota Komite Pemilihan dalam pemungutan suara yang berlangsung di Hong Kong Convention and Exhibition Center.

Lam, yang akan menduduki jabatannya pada 1 Juli, memenangkan 777 suara, terpaut jauh dari pesaing terketatnya, mantan kepala keuangan John Tsang Chun-wah, yang hanya mengumpulkan 365 suara. Sementara, kandidat ketiga, pensiunan hakim Woo Kwok-hing, cuma mendapat 21 suara.

Di luar tempat pemungutan suara, kelompok pro-demokrasi menggelar protes dengan menyebut proses itu sebagai sebuah tipuan. Para aktivis mencela campur tangan Beijing di tengah meluasnya laporan mengenai lobi ke pemilih untuk mendukung Lam, daripada Tsang, melantunkan "Saya ingin hak pilih universal" ketika hasilnya diumumkan.

Menurut jajak pendapat, pesaing Lam, mantan kepala keuangan John Tsang, lebih disukai oleh publik. Lam, sejak lama menjadi pengawai negeri, yang memiliki julukan pengasuh karena memiliki latar belakang menjalankan sejumlah proyek pemerintah.

Dalam protes 2014 yang dikenal dengan ?protes payung?, ia mengambil langkah yang tidak populer dengan membela reformasi politik Beijing - dengan memberikan kelonggaran bagi warga Hong Kong untuk memilih pemimpinnya, tetapi dari para kandidat yang telah disetujui pemerintah Cina.

Aktivis pro-demokrasi Joshua Wong, yang berada di antara mereka yang melakukan protes dan merupakan figur utama dalam gerakan payung, menyebut proses pemilihan itu sebagai "sebuah seleksi dibandingkan sebuah pemilihan".

Protes dilakukan secara online melalui Facebook dengan meluncurkan 'Tidak Ada Pemilu di Hong Kong', melalui unggahan video yang menunjukkan warga mengerjakan urusan mereka ketika pemilu dilakukan, untuk menunjukkan bahwa mereka tidak berhak untuk berpartisipasi.

Sejak Hong Kong kembali ke pangkuan China pada 1997, Beijing secara bertahap meningkatkan kontrolnya terhadap kota itu meski China menjanjikan kebebasan luas dan otonomi tidak diizinkan di China di bawah formula satu negara, dua sistem bersama dengan janji hak pilih universal.

Tahun lalu, aktivis pro-demokrasi meraih 325 kursi dalam komite yang merupakan jumlah terbesar. Bagaimanapun, jumlah itu tak cukup bagi mereka untuk menentukan siapa yang menjadi kepala eksekutif.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Gregor Samsa
Editor: Dewi Ispurwanti

Advertisement

Bagikan Artikel: