Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemerintah Diimbau Tuntaskan Disharmoni Regulasi Jaminan Sosial

Pemerintah Diimbau Tuntaskan Disharmoni Regulasi Jaminan Sosial Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah diminta menuntaskan disharmoni regulasi sistem jaminan sosial nasional karena membuka peluang perusahaan berorientasi laba menjadi pelaksana jaminan sosial.

Pengamat Jaminan Sosial, Hotbonar Sinaga, dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) bertema "Evaluasi Regulasi Pendukung Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan" di Jakarta, Rabu (5/4/2017), menilai pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan amanat UU No.40/2004 tentang SJSN dan UU No.24/2011 tentang BPJS.

Pemerintah menerbitkan PP No.70/2015 yang memberi kewenangan PT Taspen (Persero) melaksanakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi aparatur sipil negara.

"Terbitnya PP Nomor 70/2015 tersebut telah menabrak tiga undang-undang sekaligus yakni, UU SJSN, UU BPJS dan UU ASN," ujar HBS, panggilan akrab Hotbonar.

Selain menabrak tiga undang-undang, keberadaan PP Nomor 70/2015 tersebut juga bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013.

Berdasarkan Perpres Nomor 109 tahun 2013, Pekerja penerima upah penyelenggara negara, seperti CPNS, PNS, anggota TNI-Polri, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri, Prajurit Siswa TNI dan Peserta didik Polri, harus didaftarkan dalam empat program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan.

Secara khusus HBS merinci, ketentuan dalam pasal 7 PP Nomor 70/2015 tentang JKK dan JKM yang memberikan kewenangan kepada Taspen tersebut juga bertentangan dengan sejumlah undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah ditetapkan sebelumnya.

"Pasal 1 angka 6 UU Nomor 40/2004 tentang SJSN dan pasal 1 angka 1 UU Nomor 24/2011 BPJS, bahwa yang berwenang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional yang meliputi Jaminan Kesehatan, JKK, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiub, dan JKm untuk seluruh penduduk Indonesia termasuk di dalamnya ASN adalah BPJS," ucapnya.

Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 40/2004 tentang SJSN dan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS yang menyatakan pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti.

Dia mengingatkan, Pasal 57 huruf f UU Nomor 24/2011 tentang BPJS sendiri sebenarnya hanya memperkenankan PT Taspen (Persero) untuk menambah peserta baru, bukan program baru.

Ketentuan dalam pasal 7 PP Nomor 70/2015 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 92 ayat (2) UU Nomor 5/2014 tentang ASN yang menegaskan perlindungan kepada ASN yang berupa Jaminan Kesehatan JKK dan JKm mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional.

"Artinya baik program jaminan sosial maupun penyelenggara jaminan sosial dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan sosial nasional yaitu UU SJSN dan UU BPJS," kata HBS.

Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005 tanggal 31 Agustus 2005 yang menyatakan PT Taspen bukan sebagai BPJS yang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional. "Seharusnya tidak ada kepentingan selain melaksanakan tuntutan UU SJSN dan BPJS dalam penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan," ujarnya.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo meenyatakan sudah memberi masukan kepada pemerintah terkait aturan jaminan sosial tetapi PP Nomor 70/2015 tetap diterbitkan.

Dia berharap sebelum mengeluarkan ada berkordinasi kepada DJSN. "Kami lembaga pengawas BPJS harusnya dilibatkan untuk berbagai hal terkait jaminan sosial," katanya.

Sementara Direktur Harmonisasi Perundangan-Undangan Kemenkum Ham Karjono meminta semua pihak terkait, yakni PT Taspen, PT Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan duduk bareng mencari solusi.

Di sisi lain, penggugat PP Nomor 70/2015 Dwi Maryoso mengungkapkan, jika dihitung dana kelolaan Jaminan Kematian (JKm) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) aparatur sipil negara dalam setahunnya mencapai Rp874 miliar.

"Hal inilah yang kemungkinan membuat Taspen ingin mengelola JKK dan JKm untuk ASN meski melanggar undang-undang. Pemerintah hendaknya patuh pada UU SJSN dan BPJS yang mengamanatkan penyelenggaraan jaminan sosial dilakukan oleh BPJS," ujarnya.

Pusat Kajian Jaminan Sosial Nasional (PKJSN) mendesak pemerintah untuk kembali menjalankan amanat UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), serta UU No 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dengan mengalihkan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan sebanyak 4,8 juta pegawai negeri sipil (PNS) ke BPJS Ketenagakerjaan.

Direktur PKJSN Ridwan Max Sijabat menilai PP No.70/2015 memberikan kewenangan kepada PT Taspen (Persero) untuk mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang seharusnya dikelola BPJS. (Ant)

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: