Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hiruk Pikuk UN Tanpa Akhir

Hiruk Pikuk UN Tanpa Akhir Kredit Foto: Kemdikbud.go.id
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ujian Nasional 2017 nyaris tidak terlaksana ketika di penghujung 2016 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi melemparkan wacana penghentian sementara waktu atau moratorium hingga penghapusan ujian nasional.

Kebijakan tersebut seketika mendapat reaksi dari berbagai pihak mulai dari Presiden Jokowi hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dikenal gigih mempertahankan UN. Presiden Joko Widodo pada akhirnya memutuskan untuk tetap mengadakan UN dan dilaksanakan dengan berbagai penyempurnaan perbaikan, antara lain pemberian kisi-kisi nasional terhadap empat mata pelajaran yang menjadi materi UN.

Moratorium yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy untuk memenuhi putusan Mahkamah Agung pada 2009. Putusan tersebut untuk memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta 2007 secara jelas memutuskan penghentian unas. Alasannya sederhana. Selama sumber penunjang mutu pendidikan di negeri ini belum terpenuhi secara layak, pelaksanaan unas dapat dianggap menyalahi Undang-Undang (UU) Pendidikan.

Namun demikian, menghentikan kebijakan pendidikan yang sedang berjalan bukanlah persoalan mudah. Penundaan atau bahkan menghapus UN tanpa ancang-ancang dan sosialisasi tentu saja berpotensi menimbulkan kegaduhan karena gagasan tersebut disampaikan dalam waktu yang sangat pendek saat siswa dan guru sudah dalam tahap persiapan menghadapi UN.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dikenal gigih mempertahankan pelaksanaan ujian nasional menilai ada pemikiran terbalik untuk melakukan moratorium atau menghentikan sementara pelaksanaan Ujian Nasional pada 2017. Moratorium yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk memenuhi putusan Mahkamah Agung pada 2009.

Jusuf Kalla menilai justru dengan adanya ujian maka ada standar antara lain dengan menetapkan standar nilai kelulusan ujian nasional pada angka 3,5 dan setiap tahunnya dinaikkan 0,5 sehingga mencapai standar nasional yang ditetapkan.

Banyak kalangan yang memang menghendaki agar UN dihapuskan karena kegiatan evaluasi akhir siswa tersebut dinilai tidak tepat diselenggarakan karena merampas hak guru menyelenggarakan ujian.

Di sisi lain, UN telah menjadi momok tersendiri bagi siswa karena tidak mencerminkan kinerja atau performa siswa selama bertahun-tahun mengenyam pendidikan dan dianggap tidak mempertimbangkan proses pembelajaran siswa selama tiga tahun dan menggantungkan nasib mereka dalam tiga hari pelaksanaan UN.

Akibatnya, siswa dibayang-bayangi kecemasan pada soal ujian nasional yang sulit sehingga segala cara ditempuh, mulai dari mengikuti bimbingan belajar hingga cara tidak terpuji menggunakan joki hingga membeli bocoran soal.

Pelaksana ujian nasional kini tidak pernah mapan. Pasalnya, perubahan kebijakan dalam evaluasi akhir pendidikan ini terjadi bila terjadi pergantian menteri dalam kabinet. Dalam sejarah penyelenggaraannya, UN sendiri mengalami beberapa perubahan. Ujian Nasional pada saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Muhammad Nuh pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, maka UN menjadi instrumen kelulusan peserta didik.

Pada masa Mendikbud Anies Baswedan, kebijakan UN mengalami perubahan. UN tidak lagi menjadi instrumen kelulusan, tapi sebagai alat pemetaan dan evaluasi kebijakan pendidikan secara nasional. Kini, Mendikbud Muhadjir Effendi memunculkan wacana moratorium UN.

Integritas dipertanyakan Tarik ulur tentang perlunya ujian nasional menjadi topik hangat yang tidak habisnya diperdebatkan, dikritisi, diuji, ditolak, ditakuti, disegani hingga dipolitisasi hingga kegiatan evaluasi tahap akhir siswa tersebut sudah kehilangan "kejujuran"-nya dan integritas guru dan siswa pun dipertanyakan.

Pelaksanaan Ujian Nasional dalam sejak beberapa tahun terakhir sudah bukan lagi menjadi sebuah proses alami yang harus dilalui seorang siswa yang akan mengakhiri satu jenjang pendidikan menuju tahapan pendidikan yang lebih tinggi karena terus-menerus diwarnai berbagai insiden, seperti guru yang memberi tahu jawaban soal, siswa yang membeli bocoran soal, joki ujian hingga kehadiran aparat keamanan di ruang kelas di banyak provinsi menjadi potret karut marutnya pendidikan di Tanah Air.

Pemerintah telah melakukan perbaikan sekaligus terobosan sejak tahun 2016 melalui penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).

UNBK adalah UN dengan menggunakan komputer yang dilengkapi perangkat lunak (software) yang khusus dikembangkan untuk Ujian Nasional dengan tingkat kesulitan yang sama dengan UN tertulis. UNBK Tahun 2016 merupakan perluasan dari UNBK rintisan pada Tahun 2015.

Tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menargetkan 60 persen pelaksanaan ujian nasional 2017 berbasis komputer dengan variasi soal yang akan dihadapi tiap siswa akan terdiri atas lebih banyak variasi sehingga bisa jadi setiap siswa memegang soal yang berbeda satu sama lain.

Mendikbud Muhadjir Effendi meyakini UNBK mengakibatkan integritas siswa tak perlu lagi dipertanyakan. Sebab, peserta ujian harus mengerjakan sendiri, sehingga bisa dipastikan mereka lebih jujur, meski soal-soal UNBK nantinya hanya berupa pilihan ganda.

Dengan menggunakan UNBK, Muhadjir berharap akan ada dua kecakapan yang didapat oleh para siswa. Mereka tidak hanya mendapatkan kecakapan mengenai materi bahan ujian, tapi juga kemampuan menggunakan alat teknologi informasi.

Keputusan Pemerintah untuk terus menyelenggarakan UN 2017 dengan beberapa perbaikan perlu diapresiasi di tengah kerinduan masyarakat akan pelaksanaan ujian nasional yang mapan tanpa harus diwarnai insiden-insiden yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas. (Ant)

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Dewi Ispurwanti

Advertisement

Bagikan Artikel: