Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lipsus - Kekerasan Terhadap Jurnalis Harus Dihentikan

Lipsus - Kekerasan Terhadap Jurnalis Harus Dihentikan Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pernyataan itu sepertinya menjadi salah satu poin penting yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (FPFD) 2017.

Dalam perhelatan yang diselenggarakan selama empat hari, 1-4 Mei di Jakarta itu, hampir setiap hari terdapat panel diskusi yang membahas tentang kekerasan terhadap jurnalis. Salah satu pembicara dalam WPFD, Duta Besar Hak Asasi Manusia (HAM) Belanda Kees van Baar menyatakan selama ini tidak sedikit kabar jurnalis terbunuh saat menjalankan tugas di wilayah konflik.

Namun, dia menekankan kekerasan terhadap jurnalis dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan atas berbagai alasan.

Menurut dia, tekanan-tekanan ataupun ancaman yang dapat mengganggu atau mempengaruhi jurnalis saat menggali informasi di lapangan, termasuk bentuk kekerasan terhadap jurnalis.

Kekerasan terhadap jurnalis, kata dia, berkaitan dengan kebebasan pers itu sendiri. Di negara demokrasi kebebasan pers merupakan elemen penting yang bertujuan menghadirkan informasi terbuka kepada masyarakat.

Di era demokrasi, masyarakat memperoleh informasi dari pers yang bebas. Informasi itu menjadi sarana untuk mengontrol kebijakan pemerintah, ujar Kees.

Kees memandang isu kebebasan pers dan keselamatan jurnalis perlu untuk terus disampaikan di berbagai kesempatan guna memberikan pendidikan kepada masyarakat.

Hal itu menjadi salah satu cara memitigasi terjadinya kekerasan terhadap jurnalis, disamping perlunya peran dari pemerintah dan elemen lain. Program manajer Komite Keamanan Jurnalis Afganistan (Afghan Journalist Safety Committee) Ilias Alami mengatakan kekerasan terhadap jurnalis marak terjadi di Afghanistan.

Ilias menyampaikan salah satu cara jurnalis Afganistan melawan kekerasan adalah dengan cara memboikot pemberitaan kelompok-kelompok pelaku kekerasan. Cara tersebut dapat diterapkan jurnalis di seluruh dunia dalam menyikapi kekerasan yang dilakukan kelompok atau institusi tertentu.

Jurnalis Turki Erol Onderoglu mengatakan isu keselamatan jurnalis, khususnya di wilayah konflik hendaknya menjadi salah satu prioritas isu negara-negara yang tergabung dalam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara PBB dapat memiliki andil menjaga keselamatan jurnalis melalui pasukan perdamaian PBB. Proteksi terhadap jurnalis harus direpresentasikan juga melalui pasukan perdamaian PBB, kata Erol.

Berdasarkan data UNESCO, sepanjang 10 tahun terakhir, 827 wartawan tewas ketika melakukan tugas di lokasi-lokasi yang berbahaya, seperti wilayah Timur Tengah seperti Suriah, Irak, Yaman dan Libya. Jurnalis Indonesia, kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi di Indonesia yang menganut paham negara demokrasi. Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sedikitnya ada delapan kasus pembunuhan terhadap jurnalis sejak 1996 yang tidak pernah diusut tuntas.

Sementara itu, sepanjang 2016, tercatat 71 jurnalis Tanah Air mengalami kekerasan karena pemberitaan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai perkembangan kebebasan pers di Indonesia saat ini masih perlu dipertanyakan. Kebebasan itu tampak ada namun juga tiada.

"Kebebasan pers di Indonesia kadang ada, kadang juga tidak ada," kata Program Manajer LBH Pers Ambon Insany Shaybarwaty.

Dia menekankan peringkat kebebasan pers di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir beranjak naik dari posisi 134 ke posisi 126.

Namun demikian, ada sejumlah hal yang menunjukkan kebebasan pers Indonesia masih terhambat, salah satunya dalam hal ancaman atau kekerasan terhadap jurnalis.

Kurangnya pelatihan dari industri media terhadap wartawan hanya merupakan salah satu faktor. Faktor lainnya adalah persoalan yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia itu sendiri. Indonesia memiliki wilayah konflik dan wilayah bencana. Selain itu Indonesia juga terkadang memiliki persoalan tentang antikeberagaman yang kadang serta merta dapat berkembang.

Dia mencontohkan belum lama ini, ada sejumlah jurnalis meliput demonstrasi mengalami kekerasan di luar dugaan. Mereka dihalangi, diusir bahkan dipukuli massa.

Menurut Insany, jurnalis yang mengalami kekerasan dalam peristiwa itu merupakan korban dari industri media yang partisan dan fanatisme agama dari kelompok masyarakat.

"Penduduk Indonesia mayoritas Muslim. Fanatisme agama menjadi persoalan yang sangat mengganggu selain juga media partisan yang menjadi persoalan mendasar bagi jurnalis " ujar dia.

Industri media yang partisan atau memihak, menyebabkan jurnalis terancam dalam melakukan tugas di lapangan. Ketika pemilihan umum tiba, eskalasi ancaman terhadap jurnalis yang bekerja dalam media partisan pun meningkat. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis pun memudar.

Ancaman terhadap jurnalis juga terjadi di daerah. Di Maluku, tercatat dua jurnalis investigasi tewas terbunuh saat meliput konflik. Sedangkan di Papua, dipukuli saat perhelatan Hari Kebebasan Pers Sedunia.

"Kita tentu bertanya-tamya disaat jurnalis dari 190 negara datang ke Indonesia membicarakan kebebasan pers, ada jurnalis di Papua dipukuli," kata dia.

Menurut Insany, kekerasan terhadap jurnalis berkairan erat dengan tempat di mana jurnalis itu menjalankan tugasnya. Di Indonesia, selama undang-undang yang mengatur ancaman kekerasan terhadap jurnalis tidak mampu dijalankan guna menjamin keamanan jurnalis dalam bertugas, maka seorang jurnalis harus memiliki kemampuan memproteksi dirinya sendiri. (HYS/Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Hafit Yudi Suprobo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: