Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPPU: Persaingan Tidak Sehat Terjadi di Industri Beras

KPPU: Persaingan Tidak Sehat Terjadi di Industri Beras Kredit Foto: Suara.com
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengawasan terhadap komoditas pangan kembali dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kali ini komoditi beras yang menjadi sorotan. Di bawah koordinasi Kapolri, KPPU beserta Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan menggelar sidak di Karawang Kamis (20/7/2017).

Ketua KPPU Syarkawi Rauf menjelaskan bahwa sidak ini merupakan bagian dari upaya menghindarkan eksploitasi konsumen oleh kekuatan pasar yang menguasai jejaring distribusi beras di Indonesia. "KPPU dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang dipimpin Polri berkomitmen penuh mengawal amanah bapak Presiden Joko Widodo untuk menjaga stabilitas harga pangan," ungkap Syarkawi.

Menurutnya, Ia?telah melakukan melakukan pemetaan jejaring distribusi dan pemetaan titik simpul distribusi yang terdapat potensi persaingan usaha tidak sehat terjadi, serta telah mengidentifikasi pelaku-pelaku usaha yang menjadi penguasanya.

?Struktur industri beras cenderung kompetitif di tingkat petani dan pengecer, tetapi cenderung oligopoli di pusat-pusat distribusi (Midlemen). Perlindungan petani telah dilakukan pemerintah, melalui penetapan harga dasar pembelian gabah dan harga eceran tertinggi beras. Tetapi di hilir diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga penguasa jejaring distribusi leluasa mengeksploitasi konsumen melalui kenaikan harga,? papar dia.

Disparitas harga memberikan gambaran tersebut. Harga dasar gabah petani untuk kering panen sekitar Rp3.700/kg dan gabah kering giling Rp4.600/kg. Sementara Harga pembelian beras petani ditetapkan Rp7.300/Kg. Harga pasar riil saat ini berada di kisaran Rp10.500/Kg.

Meskipun ada sejumlah pelaku usaha yang mejual pada harga lebih tinggi. Biaya produksi petani diperkirakan Rp3.150/Kg. Dengan perkiraan produksi gabah 79.6 juta ton atau 46.5 juta ton beras, dan dengan mempertimbangkan harga-harga sebelumnya marjin (keuntungan) yang dinikmati petani (56 juta orang) Rp65.7 triliun, sementara marjin keuntungan perantara petani dengan konsumen (middle men) mencapai Rp186 trilyun. Keuntungan ini dinikmati oleh jumlah pelaku usaha yang lebih kecil.

?Tinggi nya disparitas harga ini yang menjadi masalah, karena ada pedagang perantara yang mendapat keuntungan lebih besar dan membuat harga beras di tingkat pengecer juga tinggi, sementara itu ironisnya petani justru tidak dapat memperoleh peningkatan kesejahteraan,? jelas Syarkawi.

Oleh karena itu, salah satu upaya yang akan kita lakukan ke depan adalah mengurangi margin keuntungan di middle men (rantai pasok). Margin tersebut kita geser ke petani, sehingga harga pembelian beras petani bisa mencapai sekitar Rp7.500 - Rp8.000,-/kg.

Kami pun mendukung langkah pemerintah menerbitkan kebijakan penetapan harga tertinggi beras di tingkat konsumen akhir sebesar Rp9.000/kg. Pengaturan ini HET tertuang Dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 47/M-DAG/PER/7/2017.

"Kebijakan penetapan harga acuan pembelian dan penjualan beras di hulu dan hilir ini dapat dijadikan mekanisne kontrol pemerintah untuk mengurangi disparitas harga di sisi petani, pelaku usaha dalam jejaring distribusi beras, dan konsumen," pungkas Syarkawi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi

Advertisement

Bagikan Artikel: