Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Beberapa Tantangan dan Terobosan Dirut Elia Massa Manik di Pertamina

Beberapa Tantangan dan Terobosan Dirut Elia Massa Manik di Pertamina Kredit Foto: Muhamad Ihsan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tantangan yang dihadapi Elia Massa Manik, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), ternyata luar biasa banyak. Pada semester pertama tahun 2017 saja ia harus menghadapi fakta penurunan?laba Pertamina. Bayangkan, dengan kenaikan revenue sekitar 19% seharusnya laba bersih menjadi US$2,4 miliar, tapi karena dilarang menaikkan harga jual BBM oleh pemerintah sampai akhir 2017 maka labanya hanya US$1,4 miliar.

"Dengan kata lain, kami menyubsidi masyarakat Indonesia sebesar US$1 miliar," curhat Massa dalam kegiatan Forum Pemred yang digelar di Jakarta, belum lama ini.

Jelasnya begini. Dalam periode tersebut terjadi kenaikan harga minyak mentah (Indonesian Crude Oil) sekitar 30% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Logikanya, kenaikan biaya produksi diikuti oleh kenaikan harga jual. Tapi, sebagai BUMN, ia harus tunduk kepada perintah negara. Alhasil, Pertamina tak bisa menaikkan harga, sementara biaya produksi meningkat maka laba pun harus rela menurun.

Ini hanya salah satu persoalan yang harus dihadapi Massa. Tantangan berikutnya adalah soal mindset. Menurut Massa, industri minyak adalah industri yang high risk, high capital intensive, dan high technological exposure.

"Karena itu menghadapinya dibutuhkan strategi yang benar, pengelolaan risiko dan pengembangan sumber daya manusia yang tangguh," ujarnya.

Menjadi pemain di industri ini, kata Massa, harus menjadi pemain global karena level playing field-nya di seluruh dunia. Walaupun Pertamina mempunyai laba terbesar di kalangan BUMN, tapi Massa justru melihatnya sebagai pemain kecil di lingkungan global.

Salah satu jalan keluar yang diimpikan Massa adalah memperbaiki sektor upstream, yaitu dengan cara menguasai asset di berbagai penjuru dunia. Hal ini dapat dilakukan dengan equity share di berbagai penjuru dunia. "Untuk menguasai aset, kami tidak selalu harus menjadi operator," ujar Massa.

Yang penting, bisa mendapatkan crude oil sesuai dengan kilang pengolahan di Indonesia. Menurut Massa, penguasaan Petronas juga sekitar 60%-nya bersifat non-operator.

Hal yang sama dilakukan terhadap aset-aset Pertamina di dalam negeri. Dia berharap perusahaan-perusahaan asing juga diberi kemudahan berusaha di Indonesia. Dalam hal ini termasuk penyederhanaan proses kerja sama.

"Misalnya, untuk perusahaan-perusahaan global yang sudah punya reputasi internasional, tidak perlu lagi mengikuti proses beauty contest," ujarnya.

Massa juga menyebutkan soal tantangan kebutuhan investasi migas dalam 10 tahun ke depan. Menurut dia, setidaknya diperlukan US$115 miliar.

Untuk sektor hulu migas dibutuhkan sekitar US$54 miliar di mana US$22 miliar untuk program merger dan akuisisi; sekitar US$17,7 miliar untuk pengembangan organik; dan sekitar US$14,2 miliar untuk non-business development organic.

Untuk BBM hilir diperlukan investasi sebesar US$46 miliar di mana US$40 miliar untuk pembangunan kilang baru dan upgrade kilang yang ada. Berikutnya sebesar US$6 miliar untuk pengembangan distribusi pemasaran dan infrastruktur.

Sedangkan untuk hilir gas diperlukan investasi sebesar US$15 miliar yang mana sekitar US$4,5 miliar untuk pipa; sekitar US$1 miliar liquefraction and regas;?sekitar US$2,5 miliar untuk MP; dan sekitar US$7 miliar untuk lain-lain.

Semua cita-citanya tentu tidak akan mudah dilaksanakan. Maklum, stakeholder BUMN begitu banyak macamnya. Nuansa keputusannya juga tidak semata bisnis dan ekonomi. Sebagian, seperti halnya harga BBM, adalah keputusan politis. Kita lihat bagaimana alumni ITB ini berkiprah mencapai cita-citanya menjadikan Pertamina sebagai perusahaan energi global yang tangguh.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhamad Ihsan
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: