Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Penetapan Tinggi Muka Air Gambut 0,4 Meter Perlu Dikaji Bersama

Penetapan Tinggi Muka Air Gambut 0,4 Meter Perlu Dikaji Bersama Kredit Foto: Vicky Fadil
Warta Ekonomi, Palangka Raya -

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, Badan Restorasi Gambut (BRG), perguruan tinggi, Himpunan Gambut Indonesia (HGI), korporasi, serta para pemangku kepentingan lain akan melakukan penelitian bersama terkait penetapan tinggi muka air tanah (TMA) sebesar 0,4 meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan sebagai batas kriteria baku kerusakan gambut.

"Pro dan kontra masih terjadi. Banyak pihak mempertanyakan karena hasil penelitian dilakukan pada hutan primer dan bukan kawasan gambut budidaya. Padahal, penetapan TMA 0,4 m sebagai kriteria kerusakan gambut yang tertuang pada PP 57/2016 ditetapkan pada kawasan budidaya gambut," kata Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham di Palangka Raya, Jumat (8/9/2017).

Supiandi berpendapat kajian yang tidak apple to apple tersebut seharusnya tak menjadi dasar penetapan regulasi gambut.

"Para pemangku kepentingan sepakat untuk melakukan penelitian bersama tinggi muka air di kawasan budidaya yang hasilnya bisa lebih relevan sebagai dasar penetapan TMA," kata Supiandi.

Pernyataan senada dikemukakan pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Palangkaraya Nina Yulianti. Menurut dia, hasil penelitian bersama sejumlah pihak termasuk pakar gambut Takashi Kohyama dari Universitas Hokkaido Jepang seharusnya tidak menjadi dasar penetapan kriteria kerusakan gambut.

"Tinggi muka air 0,4 meter seharusnya hanya menjadi indikator peringatan dini (early warning) adanya hotspot dan bukan sebagai dasar penetapan kriteria kerusakan gambut," kata Nina.

Pakar gambut IPB Basuki Sumawinata mengatakan penelitian Universitas Hokkaido terkait titik penaatan 0,4 meter tidak bisa menjadi dasar penetapan kriteria kerusakan gambut karena dilakukan pada dua tempat berbeda.

Pengukuran 0,4 meter dilakukan pada hutan alam di Centrop UPR di Sabangau, Kalteng. Sedangkan penentuan hotspot dilakukan di Dadahup. Korelasi saja sudah janggal sehingga ada kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Penelitian ini tidak bisa menjadi dasar untuk penetapan peraturan pemerintah (PP).

"Ketika TMA di Sabangau turun lebih 0,4 meter maka hotspot di Dadahup kemungkinan bisa mencapai satu meter dan mengakibatkan gambut kering dan mudah terbakar," paparnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: