Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Konsep Single Mux Operator Dinilai Ciptakan Monopoli dan Tidak Demokratis

Konsep Single Mux Operator Dinilai Ciptakan Monopoli dan Tidak Demokratis Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pembahasan Rancangan Undang Undang Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI. Jika kesepakatan dalam rapat tersebut tercapai, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang nantinya Komisi I akan membawa draft RUU Penyiaran ke Sidang Paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.

Meskipun demikian, melihat hasil rapat harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan pada 20 September lalu, konsep RUU Penyiaran tersebut dinilai masih jauh dari harapan dalam menciptakan industri penyiaran yang sehat dikarenakan masih ada sejumlah poin yang secara substansi belum menemukan titik temu.

Sepertinya Komisi 1 DPR masih tetap ngotot bahwa Baleg tidak memiliki kewenangan dalam melakukan perubahan substasnsi atas konse RUU Penyiaran versi Komisi 1, sedangkan di lain pihak Baleg berpendapat bahwa kewenangan tersebut diberikan kepada Baleg berdasarkan UU No 12/2011 dan UU MD3. Salah satu dari perubahan substansi yang dilakukan oleh Baleg adalah tentang model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terresterial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.

Intinya Komisi 1 tidak bersedia untuk mengubah konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ishadi SK menilai penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran. Dalam konsep tersebut dimana frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI, justru menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

?Kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dlakukan oleh lembaga uyang dimiliki oleh Pemerintah? jelas Ishadi SK dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta.

Ishadi menegaskan bahwa konsep single mux bukan merupakan solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux operator akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja, terjadinya pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.

?Solusinya dengan memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal dengan model bisnis hybrid. Konsep hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux),? imbuh Ishadi.

Ishadi mengatakan, saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, market share TV FTA hanya 10% dan 30% sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH. Sedangkan di Indonesia justru market shares TV FTA sebesar 90% sedangkan sisanya 10% adalah TV Kabel.

?Kita harus melihat bahwa konsep single mux yang ditetapkan di Malaysia justru tidak berjalan mulus dan banyak masalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh Pemerintah tidak mau membayar biaya sewa kanal. Dan ini tidak sehat bagi industri penyiaran,? kata Ishadi.

Lebih lanjut Ishadi mengatakan, berbagai upaya sudah dilakukan oleh ATVSI, salah satunya dengan melakukan road show ke sejumlah partai politik yang ada di DPR, dengan menjelaskan konsep dan juga poin penting usulan alternative ATVSI kepada para ketua partai politik.

?Road show ke sejumlah partai politik sudah kita lakukan. Para ketua partai politik juga menyatakan tidak sepakat dengan konsep single mux itu karena berpotensi menciptakan situasi yang tidak demokratis seperti di jaman Orde Baru. Mereka juga memahami serta mengapresiasi masukkan dari kami,? imbuh Ishadi.

Dalam road show itu, ATVSI kembali menegaskan pentingnya pelayanan kepada masyarakat baik secara teknis dan juga konten program dimana keduannya akan terus ditingkatkan dan diperbaiki. Ishadi menambahkan, pemerintah dan DPR RI harus menetapkan bisnis model migrasi digital yang tepat, sehingga dapat menciptakan industri penyiaran yang sehat, kuat dan memiliki daya saing di kancah internasional.

Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Palita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, untuk menjamin kebebasan berpendapat maka sejatinya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran untuk mengelola aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses produksi program acara.

Menurut Emrus, pandangan bahwa pengelolaan frekuensi dan infrastruktur secara sentralistik atau tunggal membuat lembaga penyiaran termajinalisasi. Dengan skema itu tentu berpotensi menimbulkan praktik monopoli yang mendorong terciptanya persaingan usaha yang kurang sehat. ?Selain itu, bisa terjadi dominasi operator terhadap lembaga penyiaran. Sebab operator menguasai frekuensi dan infrastruktur yang dapat membatasi gerak langkah lembaga penyiarn memproduksi program acara yang secepat mungkin disampaikan kepada publik dan bermutu,? ujar Emrus.

Senada dengan Emrus, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), Kamilov mengatakan bahwa penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau lebih dikenal dengan Single Mux, bertentangan dengan semangat demokrasi yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Kamilov Sagala juga menilai, isi RUU Penyiaran 2017 tidak sejalan dengan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Misalnya, Pasal 2 yang menyebutkan jika pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Pasal 17 ayat (1) berbunyi, pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, ayat (2) berbunyi, Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

"Melihat pada isi Pasal-pasal yang disebutkan diatas jika dihubungkan dengan RUU Penyiaran yang akan menetapkan LPP RTRI sebagai Multiplexer Tunggal tentu sudah jelas tidak sesuai dengan semangat UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," tegas Kamilov Sagala.

Menurut Kamilov, Komisi 1 tidak memperhatikan betul keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Penetapan LPP RTRI menjadi Multiplexer Tunggal juga akan berakibat pada menurunnya iklim usaha yang kondusif serta jaminan kepastian dan kesempatan berusaha tidak ada karena sudah terjadi praktek monopoli oleh LPP RTRI melalui RUU Penyiaran ini.

Kamilov menambahkan, Komisi 1 seharusnya menjadi pihak yang menjamin tumbuhnya iklim kompetisi yang sehat dalam industri penyiaran. Namun disesalkan, Komisi 1 malah menjadi pihak yang merusak iklim kompetisi dengan hanya mendengar masukan-masukan pihak yang tidak sepenuhnya mengerti proses penyelenggaraan TV FTA di Indonesia. Komisi 1 sebaiknya mendengar masukan dari pelaku industri secara komprehensif, bukan malah mengabaikan prinsip demokrasi dalam industri penyiaran.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rizka Kasila Ariyanthi

Advertisement

Bagikan Artikel: