Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketika PKI di Jadikan Komoditas

Ketika PKI di Jadikan Komoditas Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Akhir-akhir ini embusan terkait dengan sinyalemen kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) makin nyaring disuarakan. Bahkan, tokoh reformasi Amin Rais mengajak para pejuang Islam untuk melawannya.

Dalam orasinya pada "Aksi 299" di Gedung DPR/DPD/MPR RI, Jakarta, Jumat (29/9), Amin Rais pun beranggapan pemerintahan Jokowi-JK memberikan angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya PKI (Tribunnews, 29 September 2017).

Selain itu, ada pula elite lainnya yang memberikan pernyataan serupa melalui berbagai media.

Namun, sayangnya apa yang disampaikan tersebut tidak sesuai dengan hasil survei Saiful Mujani Research & Consultan (SMRC) yang justru menunjukkan sebaliknya bahwa hanya sekitar 12,6 persen yang percaya PKI mungkin akan bangkit, sedangkan 86,8 persen tidak percaya, sisanya 0,6 persen menyatakan tidak tahu.

Hasil survei SMRC lainnya menunjukkan 75,1 persen menyatakan tidak setuju pada opini tersebut. Hasil survei yang dilakukan terhadap 1.220 responden yang dipilih secara random dengan "margin of error" 3,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen tersebut setidaknya memberikan gambaran yang lebih komprehensif karena menggunakan metode penelitian ilmiah sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Membandingkan pernyataan elite politik dengan hasil survei yang terpublikasi melalui berbagai media tersebut, kita pantas merenung dan bertanya, sudahkah para elite memperhitungkan dampak pernyataannya tersebut? Tidakkah akan lebih bermanfaat serta simpatik bila mereka mengubahnya dengan gaya komunikasi empati yang mengedepankan data akurat yang berdampak langsung terhadap akar rumput? Seorang pakar bernama Yale mengatakan bahwa kredibilitas seseorang di mata publik itu setidaknya dipengaruhi oleh "expertness" dan "character". Terkait dengan kepiawaian atau keahlian, para elite tentu memenuhi syarat. Namun, terkait dengan karakter, para elite perlu saling melakukan introspeksi.

Kita bisa mengambil contoh konkret terkait dengan Aksi 299 yang menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta kebangkitan PKI. Dua isu yang seolah paralel. Namun, sebenarnya belum tentu. Menolak Perpu Ormas, sebenarnya telah mereka lakukan melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan Ketua MUI pun menyarankan tidak perlu demo karena dianggap mubazir. Terlebih lagi, Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang belum dicabut.

Dilihat dari pengaruh media yang makin berkembang pesat teknologinya, demikian pula dengan isi serta karakternya menyebabkan saat ini masyarakat makin cerdas. Terlebih, media sosial (medsos) yang sangat mobile menyebabkan dengan mudah masyarakat mencari berbagai informasi pembanding.

Oleh karena itu, sudah saatnya para elite mulai mengubah gaya komunikasi politiknya, dari menyampaikan pesan yang bersifat "fear arousing" (menimbulkan kekhawatiran) dengan menyampaikan pesan sesuai dengan filosofi utamanya, yaitu kejujuran dan menarik perhatian yang tetap menjaga etika.

Menyampaiakan pesan politik yang akan makin tinggi frekuensinya menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilu raya yang akan datang sebaiknya disesuaikan dengan kenyataan yang dirasakan masyarakat, bukan sebaliknya kenyataan berdasarkan persepsi elite (perceived needs elite).

Menjadi sangat merugikan karakter mereka manakala apa yang mereka sampaikan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada pada masyarakat. Hasil survei SMRC dengan metodologi penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan setidaknya menunjukkan hal tersebut.

Masyarakat yang makin cerdas akan dapat menilai apakah pernyataan para elite itu benar atau sekadar mengikuti tren aktualitas alias memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, bahkan terkesan hanya demi kepentingan sesaat.

Kebutuhan Masyarakat Melakukan komunikasi politik yang persuasif, cerdas, dan empati sebenarnya merupakan kata kuncinya. Dengan mengetahui "actual needs" (kebutuhan aktual) masyarakat, atau dalam bahasa iklan disebut "consumers insight" (wawasan konsumen), pesan politik yang disampaikan akan bak gayung bersambut dan akan memperoleh dukungan luas.

Sebaliknya, melakukan komunikasi politik yang provokatif dan berbau politik identitas yang sangat tradisional paternalistis justru akan menjadi rintangan komunikasi (communication struggle) yang sulit untuk diulang serta diperbaiki, seperti kata Towne dan Alder bahwa komunikasi tidak dapat diubah dan diulang (communication is irreversible and unrepeatable).

Dalam melakukan komunikasi politik persuasif, menyampaikan "negative campaign" (kampanye negatif) dengan mengkritik program lawan politik bukanlah hal yang tabu. Justru dengan menyampaikan kritik dan menyampaikan program yang lebih baik, masyarakat akan dapat memilih calon mana yang programnya lebih baik. Itulah sebenarnya pendidikan politik yang sehat.

Tanpa harus malu-malu para elite bisa mencontoh iklan merek sepeda motor beberapa waktu lalu yang antara lain berbunyi "lebih baik naik Vespa", "Yamaha nomor satu di dunia", "Honda lebih unggul", dan "Suzuki inovasi tiada henti".

Dalam pesan iklan tersebut, masing-masing merek kendaraan saling menyampaikan keunggulannya, tanpa menjatuhkan merek lain pesaingnya. Tidak pernah kita jumpai misalnya "lebih baik naik Vespa daripada Honda" dan sejenisnya.

Memang, dari sisi komunikasi, petahana seolah memperoleh keuntungan karena kinerjanya akan berkata lebih nyaring dibanding wacana dari para penantangnya. Namun, pengetahuan para penantang terhadap keinginan aktual masyarakat, sebenarnya bisa menjadi peluang untuk menyampaikan pesan menarik yang sedang mereka cari, bahkan tidak jarang sang penantang dapat memenangkannya.

Para elite tentu ingat pesan para leluhur yang sangat adiluhung, seperti "ngluruk tanpo bolo" dan "menang tanpo ngasorake". Pesan luhur tersebut mengingatkan kita semua bahwa dalam kompetisi itu (termasuk pilkada/pemilu), ada yang menang dan ada yang kalah. Yang penting adalah menjaga agar yang kalah tidak merasa terzalimi sehingga sakit hati atau dendam.

Ke depan, alangkah indahnya bila komunikasi politik antarelite itu terjadi bak pertandingan olahraga yang dengan semangat persatuan akhirnya menghasilkan pemenang kompetisi yang merupakan yang terbaik dengan diiringi saling peluk, saling rangkul, dan bahu-membahu mewujudkan cita-cita bersama.(ANT)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Gito Adiputro Wiratno

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: