Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

8 Industri yang Terpuruk Karena Digitalisasi

8 Industri yang Terpuruk Karena Digitalisasi Kredit Foto: Antara/M Agung Rajasa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perkembangan dunia digital yang sulit dicegah membuat sebagian besar industri offline mengalami penurunan dan bahkan kematian. Banyak industri offline mulai tumbang karena tidak mampu bersaing dengan arus bisnis online yang sangat pesat dan cepat.

Penutupan?toko seolah menjadi pilihan satu-satunya ketimbang merugi lebih besar karena tidak adanya income, namun sewa toko harus selalu dibayar. Hal ini menjadi fakta di era digitalisasi seperti saat ini. Berikut adalah delapan industri yang terpuruk karena era digitalisasi atau bisnis online menurut Exabytes.co.id

1. Supermarket

Belum lama ini, kita dikejutkan dengan berita kebangkrutan salah satu pioneer supermarket yang mengusung konsep supermarket dan coffee shop, yaitu Seven Eleven. Hal ini menjadi salah satu bukti akan ketatnya persaingan bisnis di area tersebut.

Belum lagi gebrakan yang dilakukan Amazon melalui AmazonGo (supermarket yang terintegrasi dengan aplikasi smartphone) yang bisa jadi akan masuk ke pasar Indonesia. Dengan mengusung konsep No ines, No checkout?atau Tanpa antre, Tanpa bayar di kasir, AmazonGo bisa jadi akan menjadi saingan berat untuk brand-brand supermarket ternama seperti Carrefour, Hypermart, dan lain-lain.

2. Elektronik

Pasar elektronik Glodok menjadi salah satu pusat perdagangan elektronik terbesar di Indonesia pada tahun 1990-an yang berlokasi di Jakarta Barat. Sejak 2-3 tahun belakangan, Glodok menjadi sepi pembeli salah satu penyebabnya karena berkembangnya toko online.

Kebanyakan pedagang yang masih bertahan di Glodok karena memiliki toko online, sedangkan pedagang yang tidak menjual online sudah bisa dipastikan tidak dapat bertahan di Glodok.

3. Handphone

Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar telpon genggam. Roxy Square menjadi salah satu saksi bisu geliat di tahun 2000an di Jakarta.

Pembangunan fly over dilakukan sebagai solusi untuk mengurai kemacetan di daerah Roxy Square dan maraknya penjualan melalui online disinyalir menjadi dua alasan terbesar sepinya pembeli di Roxy Square saat ini. Belum lagi biaya sewa ruko Rp20 juta/tahun.

4. Transportasi

Siapa yang tidak kenal GoJek, Grab, atau Uber? Tiga brand transportasi terbesar yang saat ini ada di Indonesia. Anehnya, meski berpenghasilan ratusan juta setiap harinya, perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki aset transportasi sebagaimana layaknya bisnis transportasi sebelumnya atau lebih dikenal sebagai share economy?atau peer economy.

Model bisnis tersebut, berdampak sangat besar bahkan hingga menimbulkan gejolak sosial yang sebelumnya menggantungkan hidupnya pada jasa transportasi seperti ojek pangkalan dan taksi.

5. Hotel

Hampir serupa dengan nasib transportasi offline, industri perhotelan terus berusaha keras bertahan agar tingkat hunian (occupancy) tetap di angka yang menguntungkan. Salah satu faktor penyebab menurunnya pendapatan pada industri ini yaitu online marketplace (seperti: AirBnB) atau aplikasi budget hotel (seperti: Reddoorz dan Airy Room), perusahaan website/aplikasi yang memungkinkan pemilih rumah, villa, apartemen, bahkan kamar kos, agar dapat menyewakan propertinya kepada orang lain.

Tingkat hunian beberapa hotel dan villa di Bali kurang dari 50% bahkan 0% occupancy selama berhari-hari, sesuatu yang jarang sekali terjadi di beberapa tahun sebelumnya.

6. Koran

Sinar Harapan, Harian Bola, Koran Tempo Minggu, dan Jakarta Globe adalah hanya sebagian dari banyak media cetak yang terpaksa harus menutup bisnisnya karena tingginya biaya cetak koran dan tidak mampu bersaing dengan media online (seperti detik.com, okezone), meskipun sebagian media offline sudah beralih ke online.

Kejadian serupa juga terjadi di media-media cetak di Amerika Serikat, sebut saja The Washington Post dan The New York Times.

7. Tekstil

Pasar Tanah Abang atau dulunya bernama Pasar Sabtu telah ada sejak tahun 1.735 yang menjadi salah satu pusat penjualan tekstil terbesar se-Asia Tenggara yang berlokasi di Jakarta Pusat. Menurut beberapa sumber, penurunan penjualan hingga mencapai lebih dari 50% dirasakan oleh penjual jika dibandingkan dengan tahun lalu hal ini dikarenakan berkurangnya daya beli masyarakat dan persaingan dengan e-commerce (toko online) besar yang semakin digandrungi masyarakat.

Untungnya, sebagian pemilik toko di Tanah Abang masih terbantu dengan adanya pembeli reseller yang menjual kembali barang dagangan mereka melalui online.

8. Ritel

PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk mengakui penutupan delapan gerai dilakukan untuk menyesuaikan penurunan pendapatan yang telah terjadi yang disebabkan salah satunya karena maraknya marketplace?sehingga renovasi dilakukan untuk menyesuaikan tren yang ada saat ini dengan mengubah layout dan format supermarketnya.

Beberapa bulan setelah pernyataan tersebut, sekitar 30 supplier Hypermart melakukan mediasi dengan perwakilan MPPA yang diwadahi Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan. Mereka mengeluh karena masih ada tunggakan yang belum dibayarkan oleh manajemen Hypermart.

Menanggapi isu yang beredar, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan saat ini penjualan ritel mengalami penurunan karena daya beli masyarakat yang melemah. Penjualan retail di luar belanja lewat online, hanya naik 5-6% dibandingkan bulan lainnya. Padahal pada momen yang sama tahun lalu, naik hingga 16,3%.

Baca Juga: Pemprov Bali Bakal Sediakan Loket Pungutan Wisman di Terminal Domestik Bandara

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: