Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bicara 'Pribumi', Pakar Retorika: Anies Lalai dan Munculkan Dampak Negatif

Bicara 'Pribumi', Pakar Retorika: Anies Lalai dan Munculkan Dampak Negatif Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Gurbernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan dinilai lalai dalam melakukan proses rekonsiliasi dengan menyebut kata pribumi. Hal ini diyakini bakal berdampak negatif bagi perjalanan demokrasi di Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Retorika dan Media dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Desideria Murti yang menyikapi pidato Anies Baswedan di Balai Kota Jakarta.

"Melihat perjalanan pemilukada DKI Jakarta yang penuh gejolak, maraknya ujaran kebencian dan isu SARA, Anies Baswedan perlu memilih dengan bijak penggunaan kata yang bisa menimbulkan polemik," ujarnya.

Menurutnya, pidato Anies Baswedan yang dikutip di berbagai media menyinggung kolonialisme zaman ini dan membangkitkan istilah lawas mengenai pribumi atau inlander. Istilah ini digunakan untuk menjadi pembeda dengan Belanda maupun Vremde Osterlingen atau nonpribumi, lainnya misalnya keturunan Tionghoa, Arab, dan India.?

Seharusnya, lanjutnya, Anies berfokus dengan mengedepankan program kerja, data-data mengenai hal yang belum dikerjakan oleh pendahulunya, dan visi-misinya. Tujuannya agar masyarakat kembali fokus pada rasionalitas kerja seorang Gubernur.

"Bukan lagi dengan bunga-bunga kata yang menimbulkan ambiguitas dan dapat membuka kembali wacana SARA dalam konteks diskusi politik masyarakat. Sehingga masyarakat dapat segera membahas hal-hal yang penting dan rasional untuk kemaslahatan banyak orang," jelasnya.

Desideria menyebutkan penggunaan kata pribumi memang kadang diucapkan oleh beberapa elit. Misalnya, seperti kata yang diucapkan Susi Pudjiastuti yang juga beredar sebagai pembanding pidato Anies Baswedan. Tetapi, bukan berarti kata-kata tersebut tidak berdampak karena siapa yang mengucapkan dan bagaimana istilah itu dipakai memiliki kekuatan makna yang berbeda.?

"Ada proses komunikasi politik menurut Lasswell yang perlu diperhitungkan, yakni who atau siapa yang mengatakan dan to whom kepada siapa itu dikatakan. Dalam proses ini, Anies Baswedan sedang disorot soal kampanye SARA yang dituduhkan padanya. Menjadi kontraproduktif ketika kata pribumi dieksploitasi dalam pidatonya. Ini justru mengafirmasi tuduhan SARA kepada Anies," ujar Desideria.??

Di Indonesia, tambahnya, orang dengan mudah mengatakan tidak ada isu SARA dalam pilkada DKI. Orang cenderung ignorance atau tidak peduli dan menutup mata hanya karena takut melihat kenyataan. Tetapi, jika ini dibiarkan maka akan membentuk budaya dan metakognisi masyarakat yang impulsif untuk menjustifikasi kekerasan verbal SARA.

"Kasus beredarnya ujaran kebencian melalui SARACEN, juga penggunaan politik identitas dalam pilkada itu nyata. Oleh karena semua pihak perlu belajar untuk mengendalikan pusaran informasi dan menghindari eksploitasi kata-kata yang provokatif dan menimbulkan trauma," ungkap Desideria.

Ia mencontohkan, di negara maju, misalnya di Amerika Serikat, ada kata-kata yang cenderung dihindari orang, apalagi dalam politik. Misalnya, kata 'nigga' yang merujuk pada panggilan kepada orang Afrika-Amerika yang diasosiasikan pada kenangan pahit perbudakan orang kulit hitam.?

"Sebenarnya ada unsur penting yang digunakan Anies dalam pidatonya, yakni menggunakan berbagai pepatah atau kalimat kearifan lokal yang digunakan Anies Baswedan. Setidaknya, ada 5 pepatah dari beberapa suku yang diambil dan sapaan Anies kepada semua agama. Itu hal yang bagus, tetapi kalah dengan kata 'pribumi' yang membedakan persepsi etnis lokal dengan Tionghoa misalnya. Apalagi sentimen itu sangat dirasakan pada periode Gubernur sebelumnya," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Advertisement

Bagikan Artikel: