Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Di Tengah Krisis Rohingya, Bagaimana Kabar Pariwisata Myanmar?

Di Tengah Krisis Rohingya, Bagaimana Kabar Pariwisata Myanmar? Kredit Foto: Reuters/Mohammad Ponir Hossain
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketakutan tumbuh seiring turunnya rangkaian pembatalan melalui industri pariwisata Myanmar yang notabene masih muda, dengan gambaran mengejutkan dari desa-desa yang terbakar dan Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan yang dipimpin militer Myanmar di negara bagian Rakhine barat yang memicu kemarahan global.

Dengan lebih dari setengah juta Rohingya terpaksa melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh dalam kurun waktu hanya dua bulan, mereka juga membawa kesaksian tentang pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran di tangan tentara dan massa Budhis, sektor pariwisata Myanmar yang baru tumbuh bisa runtuh kembali ke ?hari-hari gelapnya? di bawah kekuasaan militer.

Sejak pertumpahan darah meletus pada akhir Agustus, operator pariwisata menyaksikan adanya pembatalan pembatalan di industri baru yang sedang bersiap menghadapi musim liburan di bulan Oktober.

"Hampir semua perjalanan yang dijadwalkan pada bulan Oktober dan November telah dibatalkan karena ketidakstabilan di negara ini, karena situasi di negara bagian Rakhine," ungkap Tun Tun Naing dari New Fantastic Asia Travels and Tour, sebuah agen yang mengarahkan perjalanan ke pantai yang masih asli. dan danau yang diselimuti kabut yang menandai negara yang subur itu.

"Sebagian besar kelompok di Jepang, Australia dan negara-negara Asia lainnya menyebutkan alasan keamanan dan beberapa orang Eropa dengan jelas mengatakan bahwa mereka memboikot karena situasi kemanusiaan," tambahnya, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Kamis (9/11/2017).

Pemimpin dari Inggris, AS, Prancis, Kanada dan Australia telah mendesak pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi untuk mendorong diakhirinya kekerasan terhadap Rohingya, namun sejauh ini, Suu Kyi telah gagal untuk secara eksplisit mengecam pembunuhan tersebut, dimana Direktur Human Rights Watch PBB Louis Charbonneau menyebut "kampanye pembersihan etnis".

Ada kebutuhan untuk sebuah "tindakan PBB yang kuat untuk memaksa dinas keamanan Myanmar mengakhiri kampanye pembersihan etnis mereka," Charbonneau mengatakan.

Di Yangon, sebuah kota yang ramai dan notabene terkenal dengan arsitektur kolonialnya yang runtuh, beberapa turis asing masih dapat melihat sekeliling Pagoda Shwedagon yang disepuh emas yang menjulang di atas bekas ibu kota tersebut.

Tapi mereka mengakui bahwa krisis yang sedang berlangsung di Myanmar merupakan latar belakang canggung untuk hari liburan mereka.

"Sangat menyedihkan melihat apa negara ini, pemandu kami mengatakan bahwa Muslim berbahaya dan mereka bukan orang Burma," ungkap turis Prancis Christine, yang menolak memberikan nama keluarganya.

Beberapa tamu terhormat juga menjaga jarak, seperti contohnya Pangeran Charles, pewaris takhta Inggris, dan istrinya Camilla memutuskan untuk berhenti di bekas koloni tersebut selama tur musim gugur di Asia.

Krisis pengungsi dapat membawa sektor pariwisata Myanmar yang baru kembali ke masa kegelapan di bawah kekuasaan militer, ketika banyak pelancong melewati negara konflik tersebut untuk menghindari rezim militer yang secara brutal menekan hak asasi manusia.

Semua itu mulai berubah setelah tentara memulai transisi menuju demokrasi parsial pada tahun 2011. Langkah tersebut membuat sanksi Barat terangkat, karena turis asing berbondong-bondong ke lanskap yang belum terjamah oleh orang banyak dan membaiknya infrastruktur perjalanan yang telah menjamur di tempat lain di wilayah ini.

Semester pertama 2017 dimulai dengan baik dengan kenaikan pengunjung sebesar 22 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menurut angka dari Kementerian Pariwisata, yang berharap dapat melipatgandakan jumlah kunjungan tahunan menjadi 7,5 juta pada tahun 2020.

Tapi pada akhir Agustus, negara bagian Rakhine bagian barat terbakar. Beberapa jam di selatan zona konflik di negara bagian Rakhine terletak Mrauk-U, sebuah ibukota kuno dan situs arkeologi yang suci.

Dua bulan memasuki krisis, penduduk setempat mengatakan bahwa situs tersebut kosong dari turis yang biasanya berdengung di sekitar reruntuhannya.

"Semua orang yang hidup di bidang pariwisata sudah tidak beroperasi sekarang," pungkas pemandu Aung Soe Myint.

Baca Juga: Meningkat 21 Persen, Bandara Ngurah Rai Layani 3,5 Juta Penumpang Hingga Februari 2024

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Hafit Yudi Suprobo
Editor: Hafit Yudi Suprobo

Advertisement

Bagikan Artikel: