Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menanti Sokongan Kredit Perbankan bagi Perekonomian

Menanti Sokongan Kredit Perbankan bagi Perekonomian Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menyisakan dua bulan hingga akhir 2017, penyaluran kredit perbankan masih saja lesu. Padahal, perbankan melalui kreditnya berfungsi sebagai kanal intermediasi yang mengalirkan modal untuk menggerakkan sektor-sektor perekonomian.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Oktober 2017 industri perbankan baru mendongkrak pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 8,18 persen (year on year/yoy). Angka itu memang lebih baik dibandingkan dengan September 2017 yang hanya naik 7,8 persen (yoy). Namun, jika melihat target pertumbuhan kredit di Rencana Bisnis Bank (RBB) yang sebesar 11 persen (yoy) pada tahun ini, industri tampak harus bergerilya untuk mencapai target.

Dalam dua bulan terakhir, jalan untuk mengakselerasi kredit juga tidak mudah. Tantangannya adalah potensi kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) industri perbankan yang masih relatif tinggi di 2,9 persen (gross). Kemudian, beberapa sektor penyaluran kredit juga masih menghadapi tantangan untuk pulih, seperti sektor pertambangan dan penggalian.

Namun, di sisi lain lamanya perbankan berkutat pada konsolidasi internal juga menimbulkan pertanyaan. Kenyataannya, hingga kuartal III 2017 perbankan meraih pertumbuhan laba yang signifikan, terutama untuk bank-bank umum kegiatan usaha IV (BUKU IV).

Misalnya, PT. Bank Mandiri Tbk mencatat kenaikan laba sebesar 25,4 persen menjadi menjadi Rp15,07 triliun. Begitu juga laba PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) tumbuh lebih tinggi lagi mencapai 31,6 persen menjadi Rp10,16 triliun. Ironisnya, ketika bank meraup laba yang mengkilap, fungsi intermediasi perbankan tidak terlalu menggeliat.

Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK Imansyah mengakui meskipun industri perbankan meraup pertumbuhan laba yang cukup tinggi pada kuartal III 2017, perbankan belum optimal dalam menyalurkan kredit. Namun, dia menampik jika perbankan hanya semata-mata mengejar laba tanpa mengendepankan fungsi intermediasi.

Menurut dia, perbankan memang masih harus hati-hati dalam menyalurkan kredit karena ancaman NPL yang masih membayangi. Terhitung per Oktober 2017, meskipun NPL sudah turun ke bawah tiga persen, namun menunjukkan peningkatan dari 2,93 persen menjadi 2,96 persen pada Oktober 2017.

Selain itu, perbankan juga masih dihantui biaya operasional yang tinggi. Namun alasan tingginya biaya operasional tersebut sangat klasik, yakni karena wilayah Indonesia yang terdiri dari kepulauan. Oleh karena biaya oprasional yang tinggi itu pula, kata Imansyah, perbankan masih belum optimal menurunkan bunga kredit. Padahal, bunga kredit yang rendah dapat mendorong permintaan kredit dari masyarakat.

"Negara kepulauan di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Singapura, Thailand, Malaysia. Kita dari wilayah Aceh sampai Papua memiliki biaya yang tinggi maka harus ditutup overhead cost?(biaya operasional)," ujar dia pada Jumat (24/11/2017).

Namun, Imansyah menjamin perbankan tidak bakal lama lagi menuntaskan konsolidasi internalnya. Dia memperkirakan pada kuartal II 2018, perbankan sudah dapat ekspansif menyalurkan kredit.

Turunkan Proyeksi

Dengan penyaluran kredit yang masih lesu hingga Oktober 2017, Bank Indonesia (BI) akhirnya menurunkan proyeksi pertumbuhan kredit dari dua digit menjadi delapan persen. BI juga menyoroti masih lambannya penurunan bunga kredit. Padahal sejak awal 2016 suku bunga kebijakan moneter sudah turun sebesar 200 basis poin. Namun suku bunga kredit perbankan baru turun 128 basis poin. Hal tersebut membuat rata-rata suku bunga kredit industri perbankan masih bertengger di dua digit.

Terkait dengan hal itu, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityswara menyindir industri perbankan, terutama bank-bank besar, yang belum efisien dalam mengejar target perolehan laba sehingga turut berimbas pada lambannya perbankan menurunkan bunga kredit. Seharusnya, menurut Mirza, para pemegang saham perbankan memberi target kepada direksi perbankan untuk mampu memangkas biaya operasional.

Dengan menurunnya biaya operasional maka perbankan tetap dapat mengejar target laba. Dengan biaya operasional yang turun pula, perbankan tidak perlu selalu mengandalkan keuntungan dari pendapatan bunga yang dipungut dari penyaluran kredit ke masyarakat.

"Biaya dana sudah turun, nah biaya operasional juga seharusnya turun. Ini harus ditargetkan pemegang saham. Jadi, laba yang sama bisa dicapai dengan biaya operasional yang turun bukan dengan (selalu) margin bunga bersih," ujarnya.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara saja, biaya operasi perbankan di Indonesia tergolong yang tertinggi. Mirza mengatakan biaya operasi perbankan Indonesia bisa mencapai tiga persen hingga 3,5 persen terhadap total aset maka perbankan di kawasan Asia Tenggara hanya berkisar satu hingga dua persen terhadap total aset.

Artinya, ucapnya, perbankan di Indonesia tidak efisien, sekitar 100 basis poin sampai 150 basis poin. Jadi yang harus bisa diturunkan itu biaya operasinya.

Menderita

Jika melihat pertumbuhan kredit pada Oktober 2017 yang sebesar 8,18 persen (yoy), terlihat sektor kredit investasi menderita pertumbuhan paling rendah yakni 5,39 persen. Kemudian kredit modal kerja yang tumbuh lumayan moncer sebesar 8,44 persen dan kredit konsumsi yang tumbuh menggeliat hingga 10,28 persen.

Sedangkan secara sektoral, pertumbuhan kredit untuk penggalian dan pertambangan masih melambat 5,15 persen. Pertumbuhan kredit paling pesat dibukukan kredit konstruksi yang naik 19,7 persen dan rumah tangga 11,26 persen.

Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menilai lambannya penyaluran kredit karena permintaan kredit yang masih lemah. Meskipun baru tumbuh 8,18 persen, Heru optimistis target dalam RBB bisa tercapai. Dalam dua bulan terakhir, Heru sesumbar pertumbuhan kredit bisa sesuai RBB Bank yang mencapai 11,8 persen.

Pasalnya, menurut Heru, lesunya penyaluran kredit sepanjang tahun berjalan karena lemahnya permintaan. Pada kuartal terakhir, dia optimistis bahwa permintaan akan menggeliat karena konsumsi swasta, baik di sektor besar, menengah dan kecil meningkat.

Sektor yang paling diandalkan mendongkrak kredit adalah sektor infrastruktur. Melejitnya kredit infrastruktur juga terlihat dari kredit konstruksi yang naik 19 persen.

"Maka itu saya optimistis akan mendekati rencana bisnis sebesar 11,8 persen," ujar dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: