Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nasib Tanaman Singkong Dulu dan Kini

Nasib Tanaman Singkong Dulu dan Kini Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Bandar Lampung -

Sebuah festival kreasi makanan berbahan baku singkong atau ubi kayu berlangsung di Kabupaten Lampung Tengah, daerah yang menjadi sentra utama produksi singkong di Provinsi Lampung.

Festival bertajuk "Festival Kreasi Olahan Singkong" ini diikuti 50 kelompok wanita tani (KWT) dari 27 kecamatan yang ada di kabupaten itu. Berbagai makanan ditampilkan dalam festival ini, mulai dari kue, jajanan pasar, makanan kering hingga tepung yang bahan dasarnya singkong.

Kalau ada pertanyaan mengapa ada festival ini? Jawabannya sederhana,yaitu karena singkong adalah komoditas yang paling banyak dihasilkan masyarakat di Lampung, khususnya Lampung Tengah, setelah beras. Bahkan singkong bisa dikatakan sebagai komoditas unggulan.

Persoalannya, jika beras produksinya telah terbukti menjadi bahan pokok untuk suplai kebutuhan bagi masyarakat di Jabotabek dan daerah lain di Sumatera sehingga Lampung menjadi daerah penyangga (buffer zone) untuk daerah lain yang artinya surplus, namun belum demikian dengan singkong.

Kenyataan menggambarkan betapa merananya petani singkong karena produksinya selalu anjlok di tengah melimpahnya produksi.

Padahal saat ini untuk menanam singkong berbeda dengan beberapa tahun lalu yang tidak membutuhkan pupuk. Artinya, tinggal tancapkan bibit (bongol) dengan pendangiran (penyiangan) maka dalam beberapa bulan mendatang sudah ada panen. Sekarang petani-petani membutuhkan biaya besar untuk menanam singkong karena dari bibit saja sudah harus beli.

Itu belum seberapa kalau berbicara mengenai.tanaman agar bisa tumbuh dan berbuah yang membutuhkan pupuk. Bahkan untuk pupuk kandang sekalipun membutuhkan biaya kecuali petani memiliki ternak ayam, kambing, sapi atau kerbau. Tidak ada yang gratis lagi menanam singkong di era sekarang.

Namun harapan untuk mendapatkan penghasilan dari singkong sering harus sirna karena anjloknya harga komoditas itu di musim panen. Biasanya panen raya berlangsung pada musim kemarau. Saat ini, di musim hujan, tanaman singkong mulai tumbuh dan mulai ditanam.

Yang kemudian sering terjadi di musim panen raya adalah elegi (nyanyian sedih) para petani singkong. Apalagi tahun lalu, di tengah musim panen raya justru ada "serbuan" singkong impor dari Thailand dan Vietnam.

Produksi ubi kayu atau singkong atau "bonggol" Lampung berdasarkan angka ramalan I tahun 2016 Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirakan sebanyak 7,82 juta ton. Produksi tersebut menempati peringkat pertama nasional dengan luas panen 298.299 hektare dengan melibatkan 497.165 petani.

Dari produksi sebanyak itu, Lampung Tengah menyumbang lebih 30 persen, bahkan berkisar 2,4 juta ton per tahun. Jumlah sebanyak itu semakin tersisih dengan adanya singkong impor. Suatu kenyataan yang ironis di tengah melimpahnya produksi, justru singkong impor masuk daerah itu.

Inikah era perdagangan bebas itu? Tidak ada singkong impor saja harga anjlok di setiap musim panen raya, apalagi ditambah adanya pasokan produk yang sama dari negara lain. Petani merasa seperti "sudah jatuh tertimpa tangga" pula. Mereka hanya bisa mengeluh dan merasakan kefrustrasian hidup.

Jangan tanya saat ini, ketika tanaman baru tumbuh, yang sekilogramnya bisa Rp1000. Namun bayangkan ketika musim panen raya yang semestinya petani gembira, namun justru sedih karena hasilnya tidak laku.

Tahun lalu harga singkong di musim panen raya jatuh hingga titik nadir. Seorang karyawan di Jakarta yang keluarganya di Lampung menanami lahannya dengan singkong pernah cerita harga tahun lalu hanya Rp500, bahkan kemudian Rp300 rupiah per kilogram (kg). Padahal harga keekomiannya minimal sekitar Rp1.000 per kg.

Ternyata hanya Rp300 hingga Rp500 sekilogram masih memberi harapan bagi petani untuk sedikit mendapatkan uang di tengah besarnya kerugian.

Yang lebih menyesakkan dada adalah pabrik-pabrik tidak mau menerima atau menolak hasil petani karena stok melimpah. Pabrik tepung tapioka kelebihan suplai, apalagi umumnya pabrik olahan singkong juga memiliki lahan sendiri.

Kiriman singkong dengan truk-truk antre di pintu pabrik. Kapasitas pabrik tak bertambah untuk bisa menyerap suplai dengan menjadikan stok karena singkong mentah termasuk komoditas yang mudah busuk.

Dengan kondisi itu, tampaknya sudah ditebak bagaimana nasib singkong petani. Tak sedikit petani mengaku membiarkan singkongnya tidak dipanen atau membiarkan hasil panennya tak punya nilai tambah apapun.

Solusi Di tengah situasi dan kondisi seperti itu, harus diakui bahwa pemerintah daerah bukan tidak berbuat. Berbagai upaya dilakukan, termasuk melakukan pembicaraan dengan Kementerian Perdagangan. Bahkan masalah ini sampai diadukan ke Presiden Joko Widodo.

Solusi-solusi kebijakan telah disampaikan dan dilaksanakan. Karena itu, harapan agar harga singkong lebih tinggi merupakan asa petani yang kini menjadi tantangan. Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, misalnya, meminta petani tak hanya mengandalkan singkong, tetapi juga melakukan tumpang sari dengan tanaman lain yang memilki nilai jual lebih baik.

Selain sistem tumpang sari, pemerintah daerah setempat juga meminta petani mengurangi tanaman singkong dengan menanam komoditas lain, seperti pisang. Beragam jenis pisang kemudian ditanam petani.

Mengapa pisang? Karena industri kecil keripik pisang di Lampung berkembang pesat sehingga membutuhkan pasokan. Bahkan keripik pisang Lampung yang diproduksi pabrikan maupun usaha-usaha skala rumah tangga telah mampu merambah berbagai daerah.

Di samping itu wilayah Jabotabek juga membutuhkan pasokan pisang mentah. Karena itu, mengurangi tanaman singkong dan menambah tanaman pisang akan memiliki prospek bagus.

Sedikit beda dengan Lampung Timur, Pemerintah Kabupaten Lampung juga tidak bisa mengelak ketika banyak petani yang menanam singkong. Namun dengan pengalaman pahit harga singkong di musim panen raya menjadi landasan bagi pemerintah kabupaten ini mencari terobosan agar ada prospek lebih baik dari tanaman singkong.

Misalnya, meminta kalangan petani mengolah singkongnya sendiri. Di samping itu juga memacu tumbuhnya industri-industri pengolah singkong. Hal itu penting karena kalau masih mengandalkan pabrik maka hasilnya akan seperti selama ini mengingat kapasitas pabrik "segitu-segitu" saja, sementara produksi bahan baku ditaksir terus meningkat.

Lampung Tengah adalah wilayah dengan komoditas penghasil singkong terbesar dengan luas 79.805 hektare dan total produksi 2,4 juta ton. Penurunan harga singkong dari semula Rp1.200 menjadi Rp560 di tingkat pabrik atau Rp450 per kg tingkat petani, sangat memukul perasaan petani.

Bahkan Bupati Lampung Tengah Mustafa menyebutkan sedikitnya petani telah kehilangan pendapatan Rp1,2 triliun per tahun dari anjloknya harga singkong.

Jika diasumsikan dengan jumlah petani 100.000 kepala keluarga, maka masing-masing kepala keluarga telah kehilangan penghasilan Rp12 juta per musim tanam atau setahun sekali.

Ke depan diharapkan singkong yang telah jadi komoditas unggulan--di samping beras--ini tidak hanya dijual mentah, namun juga dijual dengan olahan yang variatif agar nilai jualnya terdongkrak. Secara tidak langsung langkah ini juga menjaga stabilitas harga ubi kayu terutama di saat panen raya.

Hal itu karena sebagian besar petani menanam singkong. Karena itu nilai jual singkong harus naik--setidaknya--stabil waktu panen agar kesejahteraan petani meningkat. Tentunya tidak bisa mengandalkan penjualan produk mentahnya, harus ada inovasi olahan singkong agar nilai jualnya naik.

Pemkab Lampung Tengah telah membuat beberapa inovasi berbahan dasar singkong, mulai dari beras singkong, nasi tiwul, tepung singkong dan produk lainnya yang telah dipasarkan ke beberapa daerah. Dengan demikian Lampung Tengah bisa menjadi sentra penghasil singkong, termasuk dalam hal olahannya.

Ke depan, sasarannya jelas, yaitu sebagai komoditas unggulan yang tidak lagi merana di tengah panen raya. Itulah sebabnya, melalui festival ini juga diharapkan bisa mendorong para petani untuk lebih kreatif dalam mengelola hasil panen singkong. Jika nilai jual singkong menjadi naik, berdampak pada perekonomian masyarakat khususnya petani..

Selanjutnya, melalui "Festival Olahan Singkong" ini para peserta dituntut mampu menciptakan olahan atau resep makanan dari singkong. Festival ini merupakan tindak lanjut dari program menjaga stabilitas harga pertanian. Tak hanya mencanangkan 'one zone one product', tetapi juga berupaya meningkatkan nilai jual tiap komoditas..

Dalam kaitan tujuan untuk memasuki industri kecil olahan singkong, diserahkan 267 izin usaha gratis kepada para pelaku usaha di Kecamatan Kalirejo. Program izin usaha gratis merupakan salah satu dukungan pemerintah dalam menyukseskan program kampung ekonomi kreatif (KECE).

Komitmen serius Kini di saat "bonggol" baru ditanam dan baru tumbuh tunas-tunas yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi agar harga singkong tidak anjlok hingga Rp300 sekilo pada saat panen mula pertengahan tahun atau saat memasuki musim kemarau mendatang. Dengan persiapan mengantisipasi dengan waktu panjang, maka harapan warga petani sebenarnya sederhana, yaitu jangan lagi masalah yang sama muncul dan kebijakannya juga stagnan.

Artinya tidak ada kemajuan dan tidak ada prospek terhadap komoditas ini. Karena itu, dibutuhkan komitmen serius untuk mengatasinya. Bukan lagi wacana dan rencana sehingga ketika musim panen raya tiba persoalan sudah bisa diantisipasi penyelesaiannya.

Satu hal yang perlu menjadi komitmen serius adalah membina petani singkong untuk mengolah sendiri hasil produksinya agar menjadi produk yang lebih bernilai. Walaupun hal itu tidak mudah karena rumit, namun perlu digugah atau dimotivasi.

Lampung Tengah pada era tahun 1970-an hingga 1980-an juga memproduksi banyak singkong. Hal itu karena kemudahannya menanam singkong. Tanah dicangkul, tinggalkan bibit ditancapkan dan dengan disiangi, maka tinggal tunggu hasil beberapa bulan mendatang.

Namun harga singkong tidak terlalu anjlok karena sebagian besar petani mengolahnya menjadi gaplek dan tiwul. Walaupun waku itu banyak yang menjual singkong mentah di pasaran, namun banyak juga yang menjual tiwul dan gaplek. Dengan variasi produk, maka panen akan terserap dan harga bisa relatif stabil.

Petani dihadapkan alternatif saat akan menjual hasil panennya. Jika ingin cepat dapat uang, maka jual mentah tetapi pendapatan relatif sedikit. Jika ingin harganya lebih baik maka harus diolah terlebih dahulu menjadi gaplek atau tiwul, namun butuh tenaga tambahan dan kesabaran untuk menangani tahap membuat olahan singkong.

Kini di tengah semakin banyak penduduk dan produksi singkong melimpah setiap tahun, justru olahan singkong belum berkembang signifikan. Tidak mudah menemukan warung dengan menu tiwul. Misalnya,sebuah restoran yang pernah dikenal menyediakan menu nasi tiwul di dekat lampu merah 16C sulit mendapatkan pasokan.

Kalaupun ada pasokan tiwul harganya mahal sehingga lebih memilih beras. Di masa lalu, makan nasi tiwul identik dengan kemiskinan karena harganya murah. Sekarang harga tiwul hampir saa dengan beras, kadang sama, tak jarang lebih mahal dari beras.

Artinya, nilai tiwul sudah terangkat lebih baik, bahkan tak jarang bisa melebihi beras. Karena itu tampaknya perlu ditumbuhkan industri-industri rumah tangga pembuat tiwul karena tiwul mulai menunjukan gengsi. (ANT)

Baca Juga: Pemerintah Komitmen Lindungi dan Lestarikan Bahasa Bali

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Gito Adiputro Wiratno

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: