Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Atas Nama NKRI dan Agama Apa Boleh Hukum Diintervensi?

Atas Nama NKRI dan Agama Apa Boleh Hukum Diintervensi? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jember -

Sejumlah pengamat tergabung dalam Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Human Rights Law Studies (HRLS) Unair Surabaya, dan Centre for Human Rights, Multiculturalism & Migration (CHRM2) Universitas Jember mengkritisi peran negara dalam melindungi dan memenuhi HAM.

"Sepanjang 2017, telah ditandai dengan sejumlah peristiwa politik dan ekonomi yang berdampak pada meluas pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia," kata Ketua HRLS Unair Herlambang P Wiratraman dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, di Gedung CDAST Universitas Jember, Jawa Timur, Minggu (10/12/2017).

Menurutnya, setidaknya ada empat situasi yang dinilai bertahan dalam politik pelemahan HAM di Indonesia, yakni pertama, kebuntuan hukum dan politik dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

"Stigmatisasi komunisme dan menguatnya eskalasi kekerasan dalam bentuk teror masyarakat sipil yang dibiarkan negara, memperlihatkan reproduksi politik kekerasan sipil atas warga sipil lainnya," ujar aktivis HAM itu.

Sementara di sisi lain, lanjut dia, kebijakan hukum dan politik hukum yang ada dalam konteks tahun ketiga Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda serius mengungkap dan menyelesaikan kasus yang berakibat pada pembiaran dan bahkan tindakan rezim itu menguatkan sirkuit impunitas dalam penyelesaiannya.?Kedua, ekses politik berkembang menjadi tekanan kebebasan warga atas nama NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) atau pun pemaksaan dan kekerasan atas nama agama tertentu dalam mengintervensi penegakan hukum alias main hakim sendiri.

"Kami mencatat keterlibatan sejumlah penyelenggara negara, institusi militer yang menekan kebebasan akademik, kebebasan berpendapat dan berserikat/berkumpul. Kasus marak persekusi, pembubaran diskusi di kampus, dan aktivitas ilmiah, memperlihatkan situasi itu," ujarnya pula.

Ketiga, lanjut dia, bekerjanya kekuatan oligarki yang ditopang dengan kebijakan hukum negara disertai penundukan kaum cendekia kampus yang menjadi pelumasnya melahirkan penghancuran sumber daya alam oleh korporasi dan penyingkiran komunitas masyarakat adat dan petani secara luas.

"Misalnya kasus eksploitasi tambang, perampasan tanah dan ekspansi perkebunan kelapa sawit, menunjukkan bekerjanya kekuatan itu. Hukum administrasi dan mekanisme peradilan TUN, melegitimasi secara efektif digunakan untuk menangguk keuntungan bagi kekuatan oligarki tersebut, sementara jajaran Pemerintahan Jokowi-JK seakan lumpuh dalam realitas politik tersebut," katanya.

Ia menyebutkan kasus Kendeng (melawan industri tambang), kasus Kulon Progo (untuk infrastruktur bandara), kasus Tumpang Pitu (tambang emas Banyuwangi) merupakan sederet kasus contoh ilustrasi tersebut dan hukum pada akhirnya berkhidmat semata pada kekuatan ekonomi politik modal besar, dan secara langsung menyingkirkan keadilan eko-sosial.

Kemudian keempat, tren ancaman terhadap kebebasan ekspresi, berkumpul dan berserikat kembali menguat, apalagi dengan lahir Perppu Ormas dan situasi itu diperjelas dengan pembubaran HTI, sementara ormas-ormas radikal dan kerap melakukan kekerasan justru dibiarkan atau cenderung "dirawat" negara.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: