Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bisnis Olahraga Itu Menguntungkan

Bisnis Olahraga Itu Menguntungkan Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak ditunjuk menjadi Ketua Indonesia Asian Games Organizing Committee pada akhir 2015, hari-hari Erick Thohir banyak dihabiskan untuk urusan rapat internal I. Maklum saja, persiapan penyelenggaraan Asian Games pada 18 Agustus2 September 2018 di Jakarta dan Palembang terbilang mepet. Pendeknya waktu penyelenggaraan AG dampak dari mundurnya Hanoi, Vietnam sebagai tuan rumah Asian Games karena kesulitan dana.

Pada akhir 2014, Olympic Committee of Asia (OCA) mempercayakan penyelenggaraan AG pada Indonesia. Setahun kemudian, pria kelahiran Jakarta, 30 Mei 1970 tersebut baru diamanahi menjadi Ketua INASGOC. Tantangan menyukseskan AG ini tidaklah ringan. Pasalnya, pemerintah yang semula komit mengucurkan dana Rp8,7 triliun memangkas jadi Rp4,5triliun. Disinilah, Erick mesti putar otak bagaimana menutup kekurangan dana tersebut. “Tantangan lain bagaimana memakai anggaran APBN dengan benar tanpa ada masalah di belakang hari,” ujar Erick Thohir kepada wartawan Warta Ekonomi, Arif Hatta, M. Januar Rizki T, dan Heri Lingga usai rapat INASGOC, Selasa, 25 Juli 2017, pukul 22.30 di Jakarta. Berikut petikan perbincangannya. 

Waktu Anda habis untuk urusan rapat Asian Games?

Ya, itu sudah komitmen. Makanya, saya juga mengundurkan diri sementara waktu dari Grup Mahaka. Sedangkan di bisnis yang masih berpartner, ya, mau tidak mau, saya mesti mengurangi beban. Untungnya, para partner men-support, seperti di ANTV, Inter Milan, dan DC United. Pada 2013, Erick Thohir menjadi Presiden FC Internazionale Milano dengan menjadi pemegang saham mayoritas di klub sepak bola liga utama Italia. Selang tiga tahun kemudian, persisnya 30 Juni 2016, saham Inter Milan beralih tangan ke Suning Group—sebuah raksasa retail asal China yang memboyong 70 persen saham dan menyisakan 30% ke Erick Thohir.

Meski saat ini menjadi pemegang saham minoritas, Suning Group tetap menunjuk Erick sebagai Presiden Inter Milan. Tangan dingin Erick masih dibutuhkan guna mengolah klub bola yang sempat menuai prestasi kurang memuaskan tersebut. Ketika Inter Milan bertarung melawan Bayern Munchen di Turnamen ICC Singapura, 27 Juli 2017, Erick menyempatkan diri untuk terbang ke negeri Jiran demi memberi sokongan moril ke pasukannya. Sehari kemudian, ia kembali ke Jakarta untuk melanjutkan tugas rutin menyiapkan pelaksanaan Asian Games dengan agenda rapat dari pagi sampai malam. Bagi dia, kesuksesan AG menjadi prioritas utama.

Ada yang menarik dari penyelenggaraan turnamen ICC di Singapura yang dikelola Singapore Tourism Board yang mem-blending antara event olahraga, bisnis, dan investasi tertentu. Sepertinya hal ini bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia?

Begini. Indonesia itu masuk hitungan sebagai negara besar dengan menjadi anggota G-20, bahkan ditargetkan akan masuk G-13. Penduduk Indonesia terbilang besar, yakni 260 juta dengan komposisi sebagian besar usia muda di level 28 tahun. Jadi, kalau kita melihat info tersebut, ini potensi bagus. Nah, sekarang tinggal bagaimana pemerintah mengolahnya bersama swasta. Sekarang, kalau kita bicara industri olahraga, sudah banyak negara yang memakai atau memanfaatkan momentum penyelenggaraan olahraga sebagai bagian dari turisme. 

Kenapa begitu?

Sekarang ini, kalau kita lihat, kegiatan (event) olahraga di dunia mesti diberitakan. Dan kalau mau pasang iklan, harganya lebih mahal dari pemberitaan. Ambil contoh penyelenggaraan Wimbledon di Inggris, olimpiade, balapan Formula One sampai ICC Cup di Singapura pasti akan ada peran pemerintah, BUMN, dan swasta. Kalau ada peran pemerintah, tentu ada keuangan negara yang keluar, misalnya, untuk hosting fee. Tapi, kalau kita tengok penyelenggaraan Formula One, kan, sponsornya kebanyakan BUMN seperti Singapore Airline dan sebagainya. Pasalnya, kalau mau pakai uang negara jelas akan sulit meski di acara itu akan ada peran swasta.

Lantas, apa yang bisa dipetik dari model penyelenggaraan yang Anda sampaikan dengan penyelenggaraan Asian Games dan event olahraga lainnya di dalam negeri?

Kita mesti mencari benang merahnya. Rumusannya, sih, sama. Maksud saya begini. Dalam penyelenggaraan Asian Games, kami di INASGOC menggandeng KPK. Untuk mencari formula penyelenggaraan event besar olahraga bertaraf internasional, kita perlu duduk bersama untuk merumuskan model bisnis yang baik dan disepakati banyak pihak. Untuk itu, kita perlu memetakan kembali kalau ada multi-event olahraga besar yang mana menjadi tugas pemerintah, mana yang bisa dari sponsor. Walaupun ujung-ujungnya, sponsor masih BUMN juga seperti di banyak negara.

Kalau saat ini, apa tantangan terberat yang Anda hadapi dalam mengelola Asian Games?

Event Asian Games ini sangat besar. Tetapi bisa lebih baik kalau dari awal secara structure dan lainnya sudah dipersiapkan. Nah, ini, kan, kita masuk di tengah-tengah sebuah kegiatan Asian Games yang sempat tidak berjalan 14 bulan, ya. Jadi, ada tantangan dalam hal waktu yang tersisa untuk mempersiapkan penyelenggaraan event besar ini.

Selain itu, kami memakai uang negara maka ada administrasi negara dan birokrasi panjang yang harus dilewati. Ambil contoh, SDM di INASGOC baru tersedia pada Juni, padahal kami harus sudah bergerak sebelum itu. Belum lagi ketika kami harus mencari calon sponsor. Kan tidak boleh INASGOC mencari dana, nanti uangnya mesti disetor ke kas negara. Untuk itu, perlu dibentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang butuh waktu dua sampai tiga bulan lagi. Kalau melihat situasi seperti ini, bukan salah siapa. Ya, begitulah birokrasi. Yang sedang kami usahakan yakni percepatan dari hal-hal tersebut agar berjalan lancar. Inilah yang menjadi tantangan kami.

Dengan tenggat waktu yang sudah mepet dan anggaran dikurangi, Anda masih optimis sanggup mencapai kesuksesan?

Ya, harus bisa. Kalau nggak, apa solusinya? Apa kita mau gagal sebagai negara? Apa kita mau gagal sebagai panitia? Kan kita nggak mau. Ini misi negara. Misi negara, ya, harus sukses.

Lalu, sumber pendanaan INASGOC setelah ada pemotongan akan dari mana saja?

Setelah dihitung, kami masih ada kekurangan dana Rp1 triliun. Rencananya, akan kami tutup dengan dua cara, yakni mencari sponsor, tetapi sponsor itu dengan positive contract, sponsor yang kita dapatkan itu 50% buat OCA dan 50% lagi buat kita. Bahkan kalau mengikut positive contract tadi, semua dana mesti masuk ke OCA sampai pada pembukaan 2018, baru dana itu cair ke Indonesia.

Kok, aliran dana mesti ke OCA dulu?

Kami mau menegosiasikan hal positive contract ini ke OCA agar dana bisa langsung dibagi. Jadi, dalam hal mencari sponsorship, ada dua hal yang akan kita lakukan, yaitu BLU agar semua dana bisa dipakai INASGOC. Setelah INASGOC selesai menyelenggarakan Asian Games, BLU akan dikelola oleh Kementerian Olah Raga.

Anda dikenal sebagai pengusaha yang banyak berkiprah di bisnis olahraga dan media, value apa yang Anda dapat dengan menjadi Ketua INASGOC ?

Itu sih semata karena tugas negara. Tapi, kalau di dunia internasional, saya rasa ini tidak berkaitan dengan takabur atau riya. Mayoritas di negara lain sudah kenal saya karena investasi saya di luar negeri, seperti di Inter Milan, DC United, atau keterlibatan saya di bola basket dunia. Kalau buat Asian Games saya rasa, ya, silahkan search atau lihat Instagram. Saya masih banyak bolanya daripada Asian Games.

Sebagai seorang pengusaha, apa yang Anda inject agar penyelenggaraan Asian Games ini bukan hanya berjalan sukses, tapi juga bisa meraih laba?

Saya rasa banyak, ya, bahwa kalau kita lihat sekarang manajemen yang ada di Asian Games ini tentu sangat transparan dan terbuka. Dalam pertemuan dengan cabang-cabang olahraga, kami terbuka dalam hal kondisi keuangan. Ibarat sebuah perusahaan terbuka (public company), cabang-cabang olahraga itu seperti pemegang saham bersama pemerintah. Nah, INASGOC memberlakukan manajemen terbuka seperti public company tadi.

Jadi, Anda mengelola INASGOC seperti sebuah public company yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas?

Kira-kira seperti itulah. Namanya public company, kan. Pemegang saham ada yang setuju atau tidak ketika akan mengambil keputusan melalui mekanisme voting. Tentu berbeda kalau kita mengelola perusahaan sendiri, seperti Mahaka Group yang karena perusahan itu milik saya tentu seratus persen solid. Yang penting jangan ada agenda tersembunyi (hidden agenda). Kalau saya punya hidden agenda, akan ada “titipan” ini dan itu.

Dalam berbagai acara, saya sudah sampaikan bahwa tidak ada satu pun perusahaan saya yang ikut dalam menangani proyek di Asian Games. Bahkan, lapangan olahraga basket yang saya miliki di Mahaka Square pun tidak boleh dipakai agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Di Jakarta, lapangan basket yang paling memadai ya punya klub basket saya (klub basket Satria Muda-red).

Tapi, lapangan basket dengan kualitas internasional di Jakarta ini, kan, terbatas. Lalu, mesti bangun baru, begitu, yang menguras dana besar?

Ya, kalau mau diakalin bisa, tapi lebih baik, kan, tidak. Saya juga nggak mau. Ini bagian dari etika dan prinsip leadership. Saya mengkhawatirkan persoalan administrasi penunjukan pemakaian tempat bertanding basket yang memakai lapangan basket milik saya ini bakal jadi soal di masa depan. Katakanlah 10 tahun lagi ada pemerintahan baru atau ada yang nggak suka sama saya tiba-tiba mempersoalkan masalah ini. Ya, sudah kami putuskan untuk mencari tempat lain.

Kalau melihat reputasi Anda yang sudah mendunia, apa iya urusan memakai tempat bertanding saja bakal jadi persoalan? Padahal kita tidak punya lapangan basket yang memadai.

Begini. Betul misi utama saya adalah menyukseskan penyelenggaraan Asian Games ini. Tapi, saya juga mau bukan hanya sukses penyelenggaraannya saja, tapi juga sukses administrasi. Sebab kalau tidak, akan merugikan buat saya karena bisa masuk ke badan saya. Tapi tentu saja, saya sudah punya track record sendiri yang sudah bisa dipertanggungjawabkan. Dengan rekam jejak itu, saya bisa mencari dana dengan jerih payah sendiri. Banyak investasi saya ada di luar negeri, yang tidak ada hubungan dengan uang di Indonesia.

Bahkan banker-banker asing pun percaya dengan investasi saya di luar negeri. Jadi, kalau kita bicara misalnya kemarin di awal-awal, ada temuan BPK kerugian negara dari pemakaian dana penyelenggaraan Asian Games (oleh oknum tertentu) sebesar Rp2,3 miliar, jelas tidak mungkin saya yang melakukannya. Nilainya nggak sebanding dengan reputasi dan kredibilitas saya di dunia bisnis. Tidak mungkin juga saya melakukan hal itu.

Saya tidak mau terjebak dalam hal-hal manajemen seperti itu. Makanya saya mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Saya hanya ingin fokus dan segera kembali ke habitat saya di bisnis olahraga dan media.  Pak Boy Thohir, dia punya track record sendiri. Dia terkenal dengan bisnis energi. Dan alhamdulillah, kami akrab. Silakan saja cek Pak Boy. Uang itu bukan segalanya, tetapi yang namanya reputasi, yang namanya nama baik itu penting. Itu filosofi dari almarhum bapak saya. Dan keluarga mesti rukun, jangan ribut gara-gara uang.

Jadi, Anda bermimpi menjadi pengusaha olahraga yang sukses mendunia dan kalau bisa memborong kepemilikan klub-klub sepak bola ternama di Eropa dan Amerika Serikat, atau masih ada mimpi lain yang ingin diraih?

Kalau itu yang ditanya, saya, kan, sudah mencapainya. Dan lagi, dalam kepemilikan sebuah klub sepak bola, nggak boleh loncat-loncat. Saat ini, mimpi saya adalah bagaimana agar penyelenggaraan Asian Games ini berjalan sukses tanpa ada masalah administrasi keuangan di belakang hari. Setelah itu, saya mau kembali ke habitat saya untuk mengurus klub dan bisnis media.

Jadi, olahraga menjadi ikon bisnis Anda?

Ya, karena memang saya menjalankan bisnis selalu sesuai dengan passion saya. Di Indonesia, ada Satria Muda yang punya lapangan basket sendiri dengan kualitas yang bagus.

Apa sih yang Anda lakukan ketika membeli satu klub olahraga agar kinerjanya membaik dan mengasilkan uang juga?

Jadi apa yang saya lakukan di DC United atau Inter Milan itu sama. Klub yang kurang bagus dijadikan bagus. Bagus, kan, macam-macam. Bisa keuangan, bisa prestasi. Yang kurang bagus diperbaiki. Lalu apa? Infrastrukturnya diperbaiki, contoh? Klub Satria Muda punya lapangan basket, loh. Klub yang lain mana. Jadi, apa yang sudah dibangun di DC, sudah kejadian di sini. Nah, kalau orang-orang nanya, loh, kok, Pak Erick nggak kontribusi di olahraga Indonesia. 

Loh, sudah kontribusi banget, di basket, di Asian Games, di Piala Presiden, semua kontribusi saya banyak di event olahraga. 

Tapi, kenapa di klub bola di dalam negeri, Anda tidak menjadi pemegang saham mayoritas seperti di luar negeri? Kurang menguntungkan, begitu?

Hahahaha….. di Persib, saya ikutan diajak Pak Glen Sugita. Begini, dalam bermitra bisnis, termasuk di olahraga, kan, ada saatnya saya yang leading atau orang lain. Tidaklah di semua bisnis, saya ini pemegang saham mayoritas. Di Persib, yang leading itu Pak Glenn, saya hanya ikutan. Saya tidak mencampuri keputusan ganti pelatih atau apa begitu, pokoknya ikut saja karena dia yang memimpin.

Iya, yang jadi pertanyaan, kenapa Anda tidak masuk sebagai pemegang saham pengendali seperti yang Anda lakukan di luar negeri? Apakah hal ini terkait dengan ekosistem olahraga di Indonesia yang belum siap dan memadai begitu?

Iya, belum siap. Karena apa? GDP kita itu belum mencapai kira-kira US$12.000 per kapita. Kalau kita sudah mencapai angka segitu, baru industri olahraga berkembang. Sebab saat ini, fokus di Indonesia masih masalah sandang, pangan, papan, dan entertainment-nya belum. Bukankah baru belakangan ini saja, industri perfilman naik dan bioskop jadi hidup? Begitu juga di industri musik sedang naik daun. Ya, mudah-mudahan, nanti olahraga naik di satu titiknya. Tapi, ini, kan, mesti dalam proses. Bagaimana proses ini mesti dipercepat, ya, tadi mesti ada jiwa berupa campur tangan pemerintah, seperti yang banyak dilakukan di banyak negara.

Bisa dijelaskan kompleksitasnya seperti apa?

Begini. Kita harus memperlakukan olahraga seperti sebuah produk. Produk itu punya merek dan punya pangsa pasar. Lalu, produk tadi dibantu oleh sebuah manajemen yang baik. Ambil contoh DC United. Dia secara produk adanya di Washington DC, ibukota Amerika Serikat. Secara produk, bola sedang naik daun di Amerika. Secara produk dia juga punya merek yang cukup bagus karena pernah juara empat kali di Liga Amerika. Kan, sudah ada produknya. Tapi, produk ini bisa menjadi tua. Bagaimana kita mudakan? Salah satunya, kita ganti logo. DC United juga membetulkan infrastruktur tim sepak bola. Itu juga salah satu memetaformosis salah satu produk.

Jadi, ibarat seperti sebuah produk permen lama agar terlihat lebih fresh perlu ganti bungkus. Ini sama dengan olahraga. Tetapi juga, saat bersamaan mesti didampingi manajemen yang baik. Sama apa yang kita lakukan di ANTV, sekarang seperti apa, kok, bisa nomor satu ratingnya. Itu karena kami melakukan product positioning. ANTV lebih ke segmen perempuan. Dulu, kalau kita nonton ANTV, kan, bikin bingung, ada sepak bola, ada ini, semua ada. Nah, sekarang nggak ada lagi seperti itu. Semua wanita, makanya nomor satu. Sama juga di Gen FM, kita lebih banyak lagu Indonesia. Tapi bagaimana cara penyampaiannya? Terhibur dan bercanda. Semua itu product packaging.

Setelah DC United Anda repositioning, kondisinya membaik?

Secara income, naik donk. Sekarang, DC United stadiumnya sudah punya sponsor, di bajunya ada sponsor. Minuman dapat sponsor. Banyak. Ya itulah kalau kita bisa memperbaiki produk, tentu akan dilirik orang.

Anda ini ingin dikenal sebagai sportpreneur atau raja media?

Ya, tapi kalau saya bilang saya mau dikenal di keluarga saya, ya, tentu bapak yang baik atau suami yang baik. Kalau di perusahaan saya, ya, saya juga mau dianggap sebagai bos atau pemilik yang baik. Kalau di teman-teman saya, ya, simple saja saya mau dikenal sebagai sahabat yang baik. Kalau di dunia usaha saya ya simple, saya mau dikenal jadi businessman yang baik. Bukan businessman yang suka nipu partner gitu. Alhamdulillah sampai sekarang, apalagi dari track record Bapak saya sendiri, Muhammad Thohir, insya Allah baik. Begitu pula Boy Thohir sekarang tidak ada track record yang kurang baik. Jadi, itu merupakan satu filosofi.

Kalau di dunia olahraga, saya juga sudah membuktikan dan saya berusaha membuktikan tadi, sebagai entrepreneur olahraga, yang diakui baik atau tentu di organisasi olahraga seperti di bola basket, ya, saya menjadi salah satu pemimpin yang baik. Tapi, saya belum kepikiran apakah yang penting selesai tugas dulu. Dan ingat, loh, track record saya di bola basket saja jadi ketua basket cuma 2 tahun. Habis itu, saya kembali. Yang saya masih belum bisa melepas adalah basket Asia Tenggara yang setiap pemilihan belum ada yang menggantikan. Ya, mudah-mudahan dua tahun lagi cukuplah, sudah ada pengganti lain.

Apa pesan Anda kepada komunitas olahraga di dalam negeri?

Ya, kalau sepak bola itu mau jadi baik, harus mempunyai manajemen yang baik. Harus mempunyai liga yang baik dikelola secara transparan. Karena kalau liganya meledak, itu efeknya akan besar. Dan sudah seyogianya, Liga Indonesia menjadi liga terbesar di Asia Tenggara, tetapi, ya, mesti diisi manajemen dan produk yang baik.

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Moch Januar Rizki
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: