Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diaspora Indonesia dan FDI

Oleh: Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif INBRA

Diaspora Indonesia dan FDI Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Laporan UNCTAD (7/6/2017) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan tempat investasi ke-4 paling menarik bagi investor asing setelah AS, RRC, dan India. Ditambah dengan naiknya investment grade (layak investasi dan prospektif) dari sejumlah rating company, tentu makin memperkuat kondisi ekonomi nasional dalam konteks global. Ini menjadikan Indonesia paling menarik di ASEAN dalam survei tentang prospek negara tujuan investasi 20172019.

Hal ini juga menjadi satu momen penting, khususnya bagi diaspora Indonesia di seluruh dunia yang tergabung dalam Indonesian Diaspora Global Network. Dengan begitu, diaspora Indonesia diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai ujung tombak dalam menyukseskan masuknya arus FDI (foreign direct investment) ataupun FPI (foreign portfolio investment) ke Indonesia, tanah kelahirannya. Maka dari itu, Presiden Joko Widodo menyerukan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia oleh para diaspora Indonesia merupakan sebuah sikap yang positif.

Jadi, ajang kongres ke-4 oleh Indonesian Diaspora Global Network (Jakarta, 1—4 Juli 2017) tidak sekadar seremonial global bagi 6.000 lebih peserta atau hanya mendengarkan pidato Barack Obama, Mantan Presiden AS ke-44 yang bicara tentang toleransi, global warming, dan topik lainnya. Namun, kongres tersebut juga bermakna bagaimana para diaspora nasional yang bermukim di 65 kota di dunia terus meningkatkan kontribusi bagi perekonomian nasional.

Seruan serupa juga dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Kongres Diaspora ke-3 di Jakarta, (12 Agustus 2015). Beliau meminta diaspora Indonesia meniru diaspora India dan Tiongkok yang dapat menempati posisi penting di dunia, selain berkontribusi dalam pembangunan ekonomi negara. Kiprah mereka, baik di perusahaan maupun lembaga global saat ini, membuktikannya.

Tentu tidak tepat jika kita berasumsi bahwa mayoritas diaspora adalah pengusaha besar berskala global. Namun, mereka juga pengusaha kelas menengah kecil atau kelas pop and mom store atau para pengusaha muda dan baru mengembangkan usaha. Katakanlah mereka baru tergolong startup company. Meski tergolong kecil dan menengah, justru latar belakang, pengalaman, dan jaringan mereka yang luas menjadi salah satu poin penting dalam menarik investor, baik untuk foreign direct investment, bentuk foreign portfolio investment, atau mitra dagang global demi neraca perdagangan Indonesia. Dari kecil, berkembang menengah, hingga mengglobal bukan arah yang baru.

Sebagaimana dikatakan oleh Robin Cohen bahwa diaspora berasal dari bahasa Yunani, dia ‘over’, danspeiro ‘to sow’, yang diartikan ‘migrasi, kolonisasi, atau menyebar’ (Global Diasporas: An Introduction, 1997). Maka dari itu, diaspora Indonesia merujuk pada semua orang Indonesia atau WNI yang berada di luar negeri, menjadi pengelana atau merantau. Menurut Jaringan Kerja Diaspora Indonesia, kini jumlah diaspora Indonesia 7 juta orang, terdiri atas tiga kategori. Pertama, 4,6 juta WNI yang bekerja di luar negeri. Kedua, keturunan Indonesia berstatus WNA atau mantan WNI yang pindah status karena berbagai sebab berjumlah 2 juta. Ketiga, bukan orang Indonesia, tetapi cinta dan suka budaya Indonesia berjumlah sedikit.

Ada apa dengan diaspora Tiongkok atau India sehingga perlu ditiru? Dua diaspora ini rupanya penyumbang remitansi terbesar pada 2009. India sebesar US$49 miliar (1), Tiongkok US$48 miliar (2), Meksiko US$22 miliar (3), Filipina US$20 miliar (4), dan Indonesia US$ 7 miliar (peringkat ke-17). Di sisi lain, banyak negara berpenduduk kecil justru sangat bergantung pada kiriman uang para perantau ini. 

Kisah negara memanfaatkan potensi diaspora dapat dilihat dari contoh berikut. Min Ye, asisten profesor di Universitas Boston (2014) menyatakan pengusaha diaspora Tiongkok ikut membangunTiongkok jadi kekuatan ekonomi dunia dan demikian pula diaspora India membawa Mumbai jadi pusat industri teknologi informasi. Di Tiongkok, tidak kurang 40 juta diaspora Tiongkok yang terlibat dalam reformasi dan restrukturisasi BUMN ketika bangkrut di dasawarsa 1990-an. Sebanyak 93% BUMD Pemda Quangzhou diakuisisi diaspora Tiongkok. Selama 25 tahun, dari 1985 sampai 2010, kontribusi mereka dalam investasi asing langsung (FDI) Tiongkok meningkat dari 50% (1985) ke 70% (1995), 45%(2007), dan 66% (2010). 

Diaspora India memainkan peranan penting ketika Rajiv Gandhi mereformasi ekonomi. Para diaspora ini berpendidikan tinggi, alumnus universitas terkenal luar negeri, bekerja di perusahaan multinasional besar dengan banyak pengalaman. Meera Nanda dalam buku The God Market (2015) melihat tren religiusitas yang tinggi pada diaspora India, yakni makin mengglobal dan makin religius. Kemana pun melanglang buana sebagai musafir, mereka tetap memiliki rasa cinta pada tanah leluhurnya.

Sebagai contoh, justru diaspora global memberikan sumbangsih besar bagi ekonomi AS. Seperti kata Herman dan Smith (dalam Immigrant, Inc. 2010) bahwa pada tahun 2007 terdapat 38 juta imigran di AS, 12,6% penduduk dan menyerap 15,7% tenaga kerja. Ada 600.000 pelajar internasional membelanjakan US $15,5 miliar uangnya untuk biaya pendidikan, konsumsi, dan akomodasi. Setengah perusahaan di Silicon Valley didirikan imigran yang mengisi dua pertiga calon doktor di universitas AS. Mereka justru menjadi motor ekonomi bagi pembangunan AS dari dulu sampai kini.

Kita tidak perlu melihat diaspora hanya dari aspek negatif, justru harus mendayagunakan aset mereka saat ini sehingga tidak heran jika usaha atau para diaspora ini naik kontribusinya ke negara. Kini, saatnya Kementerian Luar Negeri atau pihak terkait IDNG bersinergi untuk membuat sebuah database induk guna mengumpulkan potensi diaspora Indonesia di seluruh dunia.

Dengan adanya sebuah database yang lebih kuat dan menyeluruh ini, Indonesia tidak perlu memperdebatkan berapa besar potensi diaspora ini. Jadi, bukan lagi bicara tentang dwi kewarganegaraan bagi mereka atau kartu diaspora saja seperti tahun 2016, ketika soal dwi warga negara muncul. Jadi, melalui database yang terkontrol ini, kita bukan hanya bicara 8 atau 10 juta diaspora yang tersebar di puluhan negara, tapi lebih dari itu, yakni meningkatkan potensi dan kontribusinya bagi perekonomian negara.

Oleh karena itu, kekuatan dan sikap besar seperti inilah yang selayaknya juga ditiru dan dikembangkan diaspora Indonesia untuk membangun ekonomi negara. Ini berlaku pada semua diaspora Indonesia di delapan penjuru mata angin yang merupakan satu kekuatan besar, tetapi masih menyebar. Pemerintah perlu lebih aktif mengembangkan dan menyatukan aset secara global. Maka dari itu, para diaspora Indonesia ini tidak hanya ramai sebatas menyambut Presiden Jokowi saat berkunjung. Dengan demikian, kisah sejumlah negara mendayagunakan potensi diaspora mereka secara global hanya contoh saja.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: