Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peta Keuangan Syariah di Indonesia

Peta Keuangan Syariah di Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Industri keuangan syariah berkembang tidak secepat industri keuangan konvensional. Sejumlah langkah untuk menggemukkan industri keuangan syariah telah ditempuh oleh regulator dan pelaku industri. Salah satunya melalui spin off UUS. 

Keuangan berbasis syariah telah dikenal mendunia, bahkan telah tumbuh dan berkembang di negara dengan masyarakat mayoritas muslim maupun non muslim. Di Indonesia, keuangan berbasis syariah dimulai pada tahun 1991 dan semakin berkembang setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan aset keuangan syariah tahun 2016 yang meningkat sebesar 29,84% dibandingkan tahun 2015. Hingga bulan April, total aset keuangan syariah pun telah mencapai Rp983,4 triliun atau US$76,02 miliar.

Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) mengalami penambahan 1 BUS menjadi 13 BUS pada tahun 2016, dari 12 BUS pada tahun 2015. Sebaliknya, jumlah UUS (Unit Usaha Syariah) mengalami penurunan dari 22 UUS pada tahun 2015 menjadi 21 pada tahun 2016 sejak bergabungnya UUS BPD Aceh menjadi Bank Aceh Syariah. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh adanya dorongan OJK untuk mentransformasikan UUS menjadi BUS sesuai dengan amanat Undang-Undang Perbankan Syariah. Pemisahan UUS dari Bank Umum Konvensional (BUK) menjadi BUS tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2008 tanggal 16 Juli 2008 tentang Perbankan Syariah yang berbunyi: “Dalam hal Bank Umum Konvensional (BUK) memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, maka BUK dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah (BUS)”. OJK pun menetapkan target bahwa pada tahun 2023 semua UUS telah berubah menjadi BUS.

Pertumbuhan perbankan syariah sering kali dinilai tidak cepat. Market share perbankan ini hanya sebesar 5,36% sampai dengan April 2017. Dari persentase tersebut, kehadiran Bank Umum Syariah memberikan kontribusi sebesar 70,36%, Unit Usaha Syariah sebesar 27,07%, dan BPR Syariah sebesar 2,57%. Oleh karena itu, kebijakan dari OJK yang mendorong perbankan melakukan spin off UUS menjadi satu harapan untuk mendongkrak pertumbuhan perbankan syariah secara signifikan. Alasan tersebut tentunya berdasarkan fenomena BUS yang memberikan kontribusi terbesar terhadap market share perbankan syariah.

Selain perbankan syariah, pasar modal syariah juga berkembang. Jumlah produk saham syariah berhasil mencapai persentase 55,01% dari total saham. Namun, kontribusi reksadana dan suku korporasi masih tergolong relatif rendah.

Industri Keuangan Non Bank (IKNB) pun masih tergolong rendah. Market share IKNB Syariah terhadap seluruh IKNB hanya mencapai 4,67%. IKNB Syariah yang berkontribusi besar meliputi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sebesar 23,70%, lembaga jasa keuangan khusus (Pegadaian, LPEI, Penjaminan) sebesar 9,99%, lembaga pembiayaan sebesar 7,30%, dan asuransi sebesar 4,97%. Jumlah entitas IKNB Syariah di Indonesia yang tercatat sebanyak 39 berstatus full syariah dan 89 Unit Usaha Syariah hingga April 2017.

Perbankan syariah telah hadir selama 15 tahun di Indonesia, tapi pertumbuhannya dinilai kurang greget dibandingkan dengan perbankan konvensional. Kepala Departemen Perbankan Syariah Ahmad Soekro menjelaskan bahwa perbankan syariah tumbuh dengan baik, hanya saja tidak terasa karena perbankan konvensional juga tumbuh.

Oleh karena itu penting bagi industri keuangan syariah untuk terus membumikan produk-produknya. Masyarakat yang sudah terbiasa dengan produk-produk keuangan syariah harus secara terus menerus dekat dengan produk-produk syariah.

Ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi selanjutnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dari sisi kuantitasnya, jumlah dan market share dari lembaga keuangan syariah perlu ditingkatkan. Begitu pula dengan variasi produk yang ditawarkan sehingga dapat memberikan pilihan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dari sisi kualitas, diperlukan perbaikan infrastruktur penunjang layanan keuangan syariah, seperti penggunaan informasi teknologi yang lebih optimal, dan kemudahan akses produk keuangan syariah di daerah-daerah sehingga fitur layanan keuangan syariah semakin sepadan dengan fitur yang ditawarkan oleh bank konvensional pada umumnya. Selain itu, diperlukan pula tenaga-tenaga profesional yang memiliki kompetensi keuangan dan Fiqih Muamalah untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip syariah yang sesuai.

Disamping perbaikan yang dilakukan dari internal lembaga keuangan syariah, diperlukan pula sosialisasi kepada masyarakat mengenai layanan keuangan syariah. Sosialisasi kepada masyarakat dinilai cukup penting mengingat masih adanya anggapan bahwa label syariah hanya dapat dimanfaatkan oleh kaum muslim saja, padahal kaum nonmuslim dapat pula memanfaatkannya. 

Dalam menghadapi tantangan tersebut, harus ada sinergi antara pemerintah dan lembaga keuangan. Apalagi, Indonesia merupakan pasar yang potensial bagi keuangan syariah dengan jumlah penduduk muslim yang sangat besar dan jumlah penduduk terbesar di dunia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tiffany Roma Ulliasi
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: