Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Siasati Bisnis Perhotelan yang Over Supply

Oleh: Hariyadi BS Sukamdani, Ketua Umum Persatuan Hotel, Restoran Indonesia (PHRI) dan Presiden Direktur Hotel Sahid Jaya International

Siasati Bisnis Perhotelan yang Over Supply Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Industri perhotelan di Indonesia secara agregat mengalami pertumbuhan. Apabila dilihat dari room night occupied, memang ada pertumbuhan. Namun, bila kita lihat dalam konteks hotel per hotel, mayoritas mengalami penurunan karena over supply. Okupansinya rata-rata turun sekitar 5%. 

Over supply terjadi karena adanya penurunan permintaan terhadap jasa perhotelan. Salah satu penyebab penurunan tersebut adalah pemangkasan anggaran dari pemerintah (penghematan anggaran). Oleh sebab itu, banyak hotel di daerah yang okupansinya langsung turun.

Penyebab kedua adalah daya beli masyarakat atau korporasi. Korporasi melihat kondisi market tidak terlalu menggembirakan, otomatis mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian anggaran. Jadi, anggaran akomodasinya dikalkulasi ulang. Ketiga, pengaruh banyaknya hari libur di semester satu. Pada saat libur di “hari kejepit” awal-awal tahun, memang tempat wisata ramai dikunjungi, tapi sesudah itu tidak. Penyebab keempat, kita mensinyalir penambahan kamar itu tidak hanya terjadi pada hotel-hotel nasional, tapi Airbnb kemungkinan juga menyedot banyak market.

Saat ini, tantangan perhotelan sama halnya dengan tantangan yang dialami taksi, yaitu keberadaan Airbnb dan kos-kosan yang diubah menjadi perhotelan. Kita tidak pernah tahu persis datanya. Kita tidak tahu bagaimana supply dan demand bertemu. Fenomenanya seperti ini. Kalau berbicara kos-kosan, harusnya pembayaran dilakukan per bulan seperti apartemen. Sekarang, banyak kos-kosan yang dialihfungsikan menjadi seperti hotel. Hal ini sebenarnya sudah menyalahi aturan, begitu juga dengan apartemen yang disewakan harian. Jadi, saat ini kita kesulitan menganalisis supply dan demand. Oleh sebab itu, jalan satu-satunya yang sekarang bisa ditempuh adalah menggenjot promosi dan menciptakan pasar-pasar baru.

Kita betul-betul dalam situasi kompetisi yang sudah berubah. Sekarang lihat, apakah semua orang yang membeli apartemen benar-benar untuk ditinggali? Rasanya, setiap orang bisa beli lebih dari satu apartemen. Terus kelebihannya untuk apa? Itu semualah yang akhirnya diubah menjadi persewaan. Sekarang aplikasi-aplikasi baru bisa muncul setiap saat, kita tidak tahu setelah Airbnb akan ada lagi atau tidak. Saat ini, orang dengan sangat mudah menerapkan sharing economy seperti itu. Pemilik kos saja bisa menggunakan sistem penjualan seperti Airbnb.

Kondisi tersebut tentu tidak fair bagi perhotelan konvensional. Hotel harus melengkapi semua kewajiban, perizinan, maupun pajaknya. sedangkan, yang online ini tidak jelas. Inilah yang sebetulnya menjadikan kompetisi ini menjadi tidak fair. Harapannya, pemerintah bisa menertibkan hal ini.

Perhotelan juga sedang mengalami tantangan perpajakan, yakni kena kewajiban membayar PPh atas komisi yang dibayarkan kepada online travel agent (OTA). Padahal, OTA tersebut belum tentu berada di Indonesia. perhotelan juga tidak mungkin memotong dari komisi mereka.

Meskipun demikian, perhotelan di Indonesia harus berupaya menggeliatkan pasar. Selain promosi besar-besaran, upaya lain yang diinisiasi adalah program Visit Wonderful Indonesia 2018. Program ini merupakan kerja sama antarpelaku pariwisata dengan Kementerian Pariwisata. Pada satu season, kita akan berikan harga termurah dan mengombinasikannya dengan event, contohnya di Banyuwangi. Di Banyuwangi, perhotelan mengalami kenaikan demand dan jumlah hotelnya sudah cukup memadai

Upaya lain yang dilakukan oleh hotel-hotel di Indonesia adalah bersama-sama menghidupkan website pemerintah, Indonesia.travel. Website diaktifkan menjadi channel untuk pemasaran. Jadi, saat orang masuk ke web untuk mencari hotel, mereka dapat langsung mencarinya. Hanya saja, booking-nya terhubung langsung ke hotel, berbeda dengan OTA. Dari segi harga, tidak ada perbedaan dengan OTA, tapi lebih menguntungkan karena hotel dapat memanfaatkan komisi yang harusnya dibayarkan kepada OTA untuk diberikan kepada pelanggan dalam bentuk servis. 

Di sisi lain, Hotel Sahid tetap melakukan investasi untuk perhotelan, meski ada pengurangan pada porsi investasinya. Saat ini, kami lebih fokus pada pengembangan jaringan atau mendorong sebagai operator hotel. Kami melihat jumlah hotel yang ada sekarang ini lebih baik dioptimalkan. Jadi, langkah yang dilakukan adalah melakukan pendekatan kepada pemilik hotel untuk menawarkan jasa sebagai operator atau pengelola hotel. Hotel terakhir yang dikelola Hotel Sahid di Maumere, kenaikannya sudah mencapai 171%. Sebelumnya lagi, di Wakatobi, naiknya sudah mencapai 200%. Jadi, sasarannya adalah hotel-hotel yang memiliki potensi dioptimalkan kinerjanya.

Pengelolaan semacam ini tidak mengharuskan adanya penggantian nama hotel yang berhubungan dengan Sahid. Apabila hotel tidak memenuhi persyaratan dari kami, kami tidak akan memasang nama kami. Seperti yang dikelola di Maumere dan Wakatobi, hotelnya tetap menggunakan nama lama, tapi disebutkan pengelolanya. Kalau mau menggunakan brand Sahid, ada aturan-aturan lain yang harus diikuti. Ini pula yang membedakan Sahid dengan operator hotel lain. Operator hotel lain kadang terlalu memaksakan keinginannya, sedangkan kami lebih melihat potensinya. Dalam menawarkan diri sebagai operator, kami juga pilih-pilih. Kalau terlalu low dari standard, tentu tidak kami ambil. Contohnya di Maumere, kalau tidak salah, hotelnya hanya mempunyai 40 kamar, tapi mereka punya potensi yang luar biasa, relatif belum terlalu lama, dan di sana juga mulai berkembang kunjungan asingnya. Akhirnya, mereka kita push, bahkan jikalau berkembang dengan bagus, kami akan merekomendasikan pemiliknya untuk menambah kapasitas kamar.

Singkat kata, tahun ini kita sudah melakukan pengelolaan hotel di Maumere, sebentar lagi akan masuk ke wilayah Banyuwangi. Adapun investasi baru yang kami lakukan sekarang ini ialah di Bangka dan Timika. Hanya saja, kita masih harus melihat situasi di Timika

(Disarikan dari wawancara 23 Agustus 2017 di kantor Apindo)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: