Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Beta Mentality

Oleh: Yuswohady, Managing Partner, Inventure

Beta Mentality Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beta mentality merupakan sebuah kepercayaan dari seorang inovator atau entrepreneur bahwa produk dan bisnis yang mereka luncurkan di pasar tidak akan pernah sempurna sehingga harus terus-menerus disempurnakan. Beta mentality juga cermin dari sikap kerendahan hati seorang inovator atau entrepreneur yang dengan legawa mengakui bahwa “Produk atau bisnis kami masih jauh dari sempurna dan karena itu kami akan terus berjuang habis-habisan untuk memperbaikinya.” 

Penggunaan istilah mentalitas bukan sekadar satu mata rantai dari serentetan proses inovasi, tapi sudah menjadi way of life bahwa sebagai inovator atau entrepreneur kita tidak boleh gampang berpuas diri, gampang silau oleh “kesuksesan besar”, gampang terjebak dalam comfort zone, dan malas memperbaiki diri. Banyak pemain yang mengalami kegagalan fatal karena tak cukup memiliki beta mentality. Segelintir contohnya adalah Yahoo! (diungguli Google yang terus improve all the time), Friendster (diungguli Facebook yang terus bertransformasi), dan yang terakhir 7Eleven. Kebanyakan dari mereka menikmati kesuksesan awal yang fenomenal, dipuji habis-habisan oleh konsumen dan pengamat, mendapat pemberitaan media yang menghebohkan, tapi kemudian gagal karena lupa memperbaiki diri. 

Always in Beta Mode

Apakah Anda seorang inovator yang baru saja meluncurkan produk baru yang new to the world? Apakah Anda seorang entrepreneur yang baru saja meluncurkan startup warung kopi? Dalam menjalankan operasi bisnis tersebut, Anda harus selalu berada dalam kondisi beta, always in beta mode.

Ketika ide dan model bisnis Anda sukses dan mendapatkan sambutan luar biasa di pasar, Anda tidak boleh terlalu cepat “mendeklarasikan kemenangan.” Don’t declare victory too soon. Kenapa? Karena di situlah pergulatan untuk menyempurnakan product-market fit justru dimulai. Jangan sampai Anda menjadi the next Yahoo!, Friendster, atau bahkan 7Eleven. Ingat, success is a never-ending journey. Sukses itu sebuah perjalanan yang tak pernah mengenal akhir dan harus diperjuangkan melalui perbaikan secara terus-menerus. Di sinilah beta mentality wajib menjadi way of life bagi setiap orang sukses.

Kenapa beta mentality harus dimiliki oleh setiap inovator dan entrepreneur? Karena needs dan wants konsumen adalah moving target yang terus-menerus berubah. Needs dan wants konsumen bisa jadi berubah drastis tiga bulan atau setahun setelah peluncuran produk. Oleh karena itu, Anda harus melakukan continuous dialogues dengan konsumen sehingga tahu perubahan needs dan wants konsumen

Karena tinggal di Kelapa Gading, kasus ini banyak saya temui di bisnis warung atau restoran. Selama 3—6 peluncuran, resto dengan menu dan konsep baru biasanya ramai luar biasa sampai antreannya mengular jauh. Namun, setelah itu, pelan tapi pasti, pengunjung mulai menghilang dan restoran sepi. Di tahun kedua atau ketiga, biasanya restoran itu tutup. Dalam kasus ini, kebanyakan si entrepreneur terjangkit sindrom “declare victory too soon” sehingga silau dan takabur. Kesuksesan awal selama 3—6 bulan pertama membuat mereka lupa pada PR terbesar yang harus dikerjakan, yaitu memperbaikinya secara terus-menerus.

Menurut terminologi Lean Innovation dan Growth-Hacking, Anda harus menyikapi setiap langkah bisnis sebagai sebuah eksperimen dan pengetesan: measure, analyze, learn, adapt, and repeat the cycle over and over and over again. Konsep tersebut menyebutkan bahwa bisnis adalah melakukan “eksperimen tiada henti” untuk mewujudkan product-market fit seperti yang diinginkan konsumen. Eksperimen itu dilakukan bukan di R&D lab atau innovation center perusahaan, tapi dilakukan di pasar.

Google mengenal istilah beta version. Ini merupakan prinsip beta mentality yang diyakini dan menjadi kunci kesuksesan Google. “You don’t have to wait for the next version to be on the shelf or an update to become available. Improvements are rolled out as they’re developed.” 

Big Win vs Small Win

Celakanya, perbaikan secara terus-menerus itu tidak seksi, tidak glamor, tidak riuh-rendah dengan pujian, dan tidak heboh diliput media. Perbaikan terus-menerus menghasilkan small win yang “sepi”, tidak hiruk-pikuk dengan pemberitaan media. Hanya si inovator dan entrepreneur saja yang tahu, orang lain tidak. Berbeda halnya dengan big win. Kesuksesan 7Eleven, AirBnB, dan Pokemon Go adalah contohnya. Begitu tercipta big win, semua orang membicarakannya dan memberi pujian. CEO-nya menjadi selebriti yang diwawancarai TV dan majalah. Perjalanan si entrepreneur merintis bisnis menjadi kisah sukses yang viral di media sosial.

Sukses itu kumpulan dari sedikit big win dan amat banyak small win. Perbandingannya mungkin satu banding seribu (satu big win, seribu small win), atau bahkan satu banding sejuta. Ironisnya, penentu kesuksesan yang sesungguhnya adalah small win yang amat banyak itu, bukan sedikit big win. Sukses adalah mencapai small win dalam jumlah buanyak banget dan luama banget, bukan hanya pencapaian big win sekali atau dua kali. Tidak sedikit pula kesuksesan kita terwujud hanya dari sekumpulan small win dalam kurun waktu yang sangat lama dan sangat melelahkan. Itu yang saya sebut “kesuksesan yang sepi.” Itu sebabnya saya mengatakan sukses itu menyangkut adu lari maraton, bukan adu lari cepat. Success is a marathon game, not a sprinter game

Sukses Awal: Madu Sekaligus Racun 

Perjalanan 7Eleven dan Go-Jek sangat pas menunjukkan pentingnya beta mentality. 

Apa bedanya sukses awal Go-Jek dan 7Eleven? Kalau kita amati dengan jeli, sukses awal 7Eleven adalah sukses sempurna, sukses tanpa cela. Sebaliknya, sukses Go-Jek adalah sukses yang diwarnai “kerikil-kerikil tajam”. 

Sukses model bisnis 7Eleven pada saat peluncuran tahun 2009 adalah instant hit success yang mendapat sambutan luar biasa dari konsumen serta dipuji habis-habisan oleh pengamat dan media. Sukses yang mulus tanpa hambatan apa pun. Sukses Go-Jek sebaliknya, penuh dengan cobaan. Memang sambutan konsumen luar biasa, tapi di samping itu peluncurannya sarat kontroversi. Boikot dan demo tukang ojek pangkalan, langkah blunder regulator yang gamang, kritik pedas dari pengamat mengenai model bisnisnya yang ganjil, aksi mogok karyawan, dan masih banyak yang lainnya.

Sukses awal adalah MADU sekaligus RACUN. Bagi 7Eleven, sukses awal yang tanpa cela menjadikannya mabuk kepayang. Sukses besar itu menjadikannya silau sehingga kurang peka mengenali dan menyelesaikan persoalan di depan mata, yaitu model bisnisnya yang tidak viable. Ibarat kata pepatah: kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak

Kesuksesan besar 7Eleven justru menjadi racun mematikan. Racun ini meredupkan semangat beta mentality. Setelah menikmati big win di awal, 7Eleven capek berinovasi dan memperbaiki diri. Berbeda halnya dengan Go-jek, sukses awal yang penuh onak dan duri menjadikannya stay alert, tak gampang puas, dan memiliki sense of crisis untuk terus memperbaiki diri. Kesuksesan awal yang penuh cobaan seperti ini menjadi “vitamin” untuk berupaya lebih keras

Sukses awal Go-Jek menjadi madu yang menumbuhsuburkan semangat beta mentality dan menjadikan Go-Jek terus berjuang mewujudkan small win secara terus-menerus. Beta mentality yang tumbuh subur inilah yang membuat Go-Jek terus berinovasi dan memperbaiki diri. Awalnya, hanya berupa layanan transportasi ojek, kemudian masuk ke layanan lain, seperti Go-Car, Go-Box, Go-Massage, Go-Clean, GoGlam, Go-Med, hingga terakhir layanan payment Go-Pay. Itu sebabnya Go-jek sekarang amat berbeda dengan saat diluncurkan, evolving all the time

Pengalaman Sevel dan Go-Jek memperkuat keyakinan saya bahwa every business is beta business. Where we run our business (always) in beta mode. Improve all the time. Evolve all the time.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: