Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Seribu Langkah Menuju Positif

Oleh: Iswandi Said, Presiden Direktur Hotel Indonesia Natour (Persero)

Seribu Langkah Menuju Positif Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Masuk ke perusahaan yang kurang sehat bisa jadi adalah pilihan yang sangat berisiko sekaligus menantang. Bagi tipe orang tertentu, masuk ke perusahaan seperti itu akan menjadi ruang aktualisasi kemampuannya dalam berbisnis. Siapa yang tidak bangga bila berhasil memutarbalikkan kondisi perusahaan, dari negatif menjadi positif, dari pesimis menjadi optimis, dan dari rugi menjadi laba.

Sejak 16 November 2015, saya diberikan amanat untuk memimpin Hotel Indonesia Natour (Persero). Misi utamanya adalah mengembalikan kejayaan Hotel Indonesia Natour (HIN) di tengah belantara persaingan bisnis perhotelan. Oleh karena itu, langkah menghentikan kerugian yang berdarah-darah pada HIN mutlak harus dilakukan. HIN adalah bagian yang erat kaitannya dengan sejarah panjang Indonesia. Berbagai zaman sudah dilalui oleh perusahaan, pernah mengalami masa kejayaan, tapi pernah pula terjerembab di arena persaingan perhotelan

Sewaktu ditunjuk untuk memimpin HIN pada tahun 2015, memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Kala itu hanya ada waktu tersisa sekitar 1,5 tahun sebelum masuk ke tahun 2016. Yang bisa dilakukan saat itu adalah konsolidasi ke dalam, memotret semua unit, setiap hari keliling, mendengarkan keluhan karyawan unit hotel yang satu dengan yang lainnya dan memperjelas posisi kantor pusat HIN yang berperan sebagai induk perusahaan atau sekadar menjalankan fungsi administratif. 

Pembenahan lainnya yang dilakukan adalah menambal bagian yang bolong-bolong, seperti pemetaan sumber daya manusia (SDM). Kita harus memikirkan kebutuhan SDM saat ini hingga lima tahun ke depan. Selain itu, kami melakukan pula pembenahan training dan konsep layanan.

Dalam melakukan percepatan-percepatan bisnis, level-level jabatan tertentu diisi SDM-SDM dari luar. Dan kebetulan, tidak ada penggantian, justru ada penambahan sumber daya. Dulu, kegiatan dipegang oleh unit bisnis masing-masing. Tidak pernah ada pemandu dari pusat. 

Lantas, saya merekrut Vice President Marketing yang membawahi kerja sama dengan semua marketing yang ada. Jadi, strateginya adalah bagaimana secara korporat dilakukan untuk 14 unit, sekarang bertambah lagi 3 unit, memasarkan bersama-sama dengan alat dan portal yang ada, kegiatan travel fair, marketing, sales call, dll. Artinya, ada sinergi dan kolaborasi pemasaran antara hotel yang satu dengan yang lainnya di bawah payung HIN. Inilah salah satu cara yang efektif untuk mempercepat pemasaran karena melibatkan banyak tenaga penjual dari lintas area.

Yang baru saya bangun di sini adalah hotel operating management. Dulu, tidak ada. Dulu klaimnya sebagai holding, tapi tidak ada yang dari pusat, semua sendiri-sendiri. HIN memiliki visi dan misi mengelola hotel yang mempersembahkan keramahtamahan Indonesia bertaraf internasional. Nah, inilah yang akan kita seragamkan sehingga bisa menjadikan jaringan hotel yang kuat.

Kita ingin mempertahankan dan terus melestarikan kearifan lokal dalam bentuk pelayanan perhotelan HIN. Jadi, HIN memiliki suatu kekhasan yang ada nilai tambahnya dalam bidang pelayanan.

Inilah salah satu yang kita jadikan sebagai kekuatan untuk hadir di tengah-tengah jasa perhotelan lainnya. Kita akan terus mempertahankan budaya lokal ini ada di dalam pelayanan dunia perhotelan jaringan HIN. Muatan kearifan lokal ini yang kita jadikan suatu kekuatan dalam men-deliver servis dan produk kita di perhotelan. Dengan demikian, konsumen dapat membedakan antara jaringan hotel internasional dengan hotel milik bangsa. Konsumen akan dengan mudah merasakan perbedaan yang menyolok dari jaringan HIN.

Banyak hal yang bisa dikreasikan dari bisnis perhotelan. Durasi untuk berinteraksi bisnis perhotelan dengan customer itu jauh lebih panjang daripada bisnis lainnya, seperti maskapai penerbangan. Banyak prosesnya yang bisa dipakai dan diisi dengan servis-servis yang bernilai tambah untuk perhotelan. Bayangkan saja, mulai dari pre-stay-nya, in-stay-nya, sampai post-stay-nya. Setiap tahap tersebut bisa dimasuki budaya-budaya lokal yang menjadi identitas layanan grup HIN.

Dalam berbisnis, sangat penting kita melihat dari sisi konsumen. Kita harus berada di posisi customer. Kita harus tahu yang mereka cari dan apakah kita punya. Mindset semua orang mungkin berpikir jaringan hotel HIN itu tua, spooky, dan karyawannnya tidak sevice oriented. Jadi, yang bisa dilakukan adalah kembali memetakan customer di luar sana sedang mencari atau suka produk yang seperti apa untuk saat ini. Kemudian, kita bandingkan dengan yang kita punya. Namun, tidak serta merta bisa kita ubah karena persoalannya mungkin sudah berpuluh-puluh tahun tidak pernah diadakan renovasi, karyawannya tidak ada regenerasi, dan teknologinya tertinggal.

Nah, mengubah mindset sangat penting. Kita harus bangga dikaruniai hotel yang punya lokasi bagus dan pernah jaya karena memang dulu pertama di Indonesia. Kita harus mengembalikan kepercayaan orang lagi untuk merekomendasikan atau tinggal di tempat kita. Hal-hal yang tadinya membuat mereka tidak mau tinggal harus segera kita perbaiki. Hotel boleh tua dan tidak menjadi soal, asalkan bersih. Hotel boleh saja tua, asalkan jangan terkesan spooky. Hal simpel yang bisa dilakukan misalnya memperbaiki penerangan.

Jadi, kami tegaskan kembali visi dan misi HIN adalah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Artinya, perusahaan harus untung terlebih dahulu. Lantas, yang kedua adalah kita harus bisa memberikan dan mempertahankan kearifan lokalnya. Artinya, lingkungan harus merasakan kehadiran kita. Misalnya, barang-barang pengrajin daerah dipakai untuk aksesoris di kamar. Hal ini akan mengangkat budaya lokal dan kehidupan perekonomian masyarakat lokal.

Semua hotel yang ada di daerah-daerah tertentu sudah sepakat untuk mengangkat potensi lokal, termasuk makanan, minuman, aroma wewangian lokal, dan tentunya SDM yang berinteraksi dengan customer mempunyai standardisasi ke-Indonesiaannya, mulai dari tutur katanya dan lain sebagainya. Kita memang ingin mengubah citra sehingga orang melihat hotel kita sebagai sesuatu hal yang unik, menarik, dan bisa dijadikan rekomendasi untuk tinggal.

Tak lupa, HIN harus break even point (BEP) tahun ini. Tidak boleh rugi lagi. Kita secara bottom line masih rugi pada semester satu, tapi melihat trennya, semester kedua akan membaik. Saya waktu awal memimpin, perusahaan ini rugi sekitar Rp138 miliar pada tahun 2015. Kemudian, kerugian turun menjadi Rp89 miliar pada tahun 2016. Sampai Juni kemarin, tinggal Rp20 miliar negatifnya. Itu semester pertama, biasanya di semester kedua bisa lebih baik. Mudah-mudahan seluruh tim HIN bisa mengoptimalkan semua momentum yang ada.

(Disarikan dari wawancara 21 Agustus 2017 di kantor Hotel Indonesia Natour)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: