Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Diplomasi Sawit: Menampik Tuduhan Diskriminatif oleh UE

Diplomasi Sawit: Menampik Tuduhan Diskriminatif oleh UE Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnnas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tudingan Parlemen Uni Eropa bahwa produk minyak sawit asal Indonesia bersumber dari tindakan deforestasi yang merusak lingkungan, jelas membuat pihak Indonesia meradang. Tudingan itu masih diimbuhi lagi adanya pelanggaran HAM, seperti mempekerjakan buruh anak dengan upah di luar kewajaran. Apabila resolusi parlemen UE itu diterima, produk sawit Indonesia akan dikenakan pajak bea masuk (BM) progresif yang terus naik dari 300 euro per ton sampai ke 900 euro per ton hingga 2020. 

Merujuk hasil kajian Uni Eropa 2013, dari total 239 juta ha, lahan yang mengalami deforestasi secara global sepanjang 20 tahun terakhir, 58 juta ha sektor peternakan, 13 juta ha dari kedelai, 8 juta ha dari jagung, dan 6 juta ha dari minyak sawit. Kalau dihitung secara persentase, deforestasi dari sektor kelapa sawit hanyalah 2,5%. Jika diperhatikan, deforestasi sawit terbilang paling kecil dibanding yang lain. Data inilah yang dirujuk parlemen UE dalam melayangkan resolusi pengenaan pajak BM progresif sebagai “sin tax” atau pajak penebus dosa.

Atas tuduhan tersebut, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, mengatakan resolusi itu sebagai tindakan diskriminasi dan bertentangan dengan sikap UE yang mengedepankan sikap champion of open, rules based free, and free trade. Menteri Perdagangan, Engartiasto Lukita, melayangkan surat protes ke Menteri Perekonomian UE. Usulan resolusi parlemen UE tersebut dianggap sebagai tindakan diskriminatif. “Dan ini sama saja Uni Eropa memantik perang dagang,” ujar Enggartiastio Lukita di pertemuan IPOC ke-13 di Bali, 2—4 November 2017.

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, pun melakukan diplomasi sejumlah negara anggota UE, seperti Jerman, Spanyol, dan Denmark. Pada intinya, sama seperti Menlu dan Mendag, bahwa Indonesia keberatan dengan tindakan UE yang diskriminatif atas produk CPO Indonesia. Presiden Jokowi dalam berbagai forum internasional, seperti forum G-20, membuka pertemuan bilateral dengan sejumlah negara anggota UE. Begitu pula ketika Presiden Perancis, Francois Hollande, berkunjung ke Indonesia pada Maret 2017. Presiden menyampaikan harapan dan pandangannya agar UE menghormati prinsip fair trade.

Indonesia pun mengajak Malaysia selaku produsen sawit yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk melawan resolusi Parlemen UE. CPOPC akan meminta menteri di kedua negara untuk bertolak ke UE guna melakukan pembicaraan terkait hal ini. Bagi kedua negara, resolusi itu tidak adil dan berdasar. Pelaku industri minyak sawit di kedua negara sudah memberlakukan manajemen produksi sawit merujuk standar-standar international seperti RSPO. Indonesia mempunyai standar sendiri, yakni ISPO. Sertifikasi standar itu menjamin produksi minyak sawit jauh dari tindakan yang tak ramah lingkungan.

Memadaikah semua upaya diplomasi sawit tersebut? Terbilang masih belum. Pasalnya, sebuah diplomasi dikatakan berhasil apabila sudah mencapai kata sepakat yang menguntungkan kedua belah pihak. Kalau sampai produk minyak sawit dikenakan BM tinggi di UE dan negara lainnya, bisa dipastikan harga minyak sawit Indonesia dan Malaysia agak berat bersaing dengan produk minyak nabati (rapeseed) produksi petani UE, baik untuk keperluan konsumsi maupun biofuel. Di atas kertas, minyak nabati UE hanya menghasilkan 0,60 ton per ha per tahun, sedangkan minyak sawit menghasilkan 4,27 ton per ha per tahun. Tidak mengherankan apabila Mendag Enggartiasto Lukita mencium aroma persaingan dagang tidak adil di balik keluarnya resolusi Parlemen UE tersebut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: