Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Listen the Customer

Oleh: Ishak Chandra, CEO Strategic Development & Services Sinar Mas Land

Listen the Customer Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pasar properti di Indonesia secara umum pada tahun 2016 maupun 2017 tidak lebih baik, juga tidak lebih buruk. Orang mempunyai asumsi bahwa properti akan bounce back lagi pada tahun 2017. Sementara itu, pada tahun 2016 banyak kejadian politik yang membuat semua orang ragu sehingga memutuskan untuk wait and see. Lantas, bagaimana dengan tahun 2018? Satu tahun sebelum Pemilu, saat orang sudah mulai kampanye dan lain sebagainya. Pada saat itu, biasanya index property growth selalu turun 30%—40%. Saya berkecimpung di bisnis properti sejak tahun 1990-an, dan index growth selalu turun 30%—40% jelang Pemilu. Bounce back kembali terjadi enam bulan setelah pemilihan. Namun, saat tahun 2014 saja yang tidak seperti itu.

Index property growth pasca-Pemilu 2014 seharusnya naik lagi, tapi ternyata tidak. Banyak faktor yang memengaruhi, salah satunya adalah pemerintah yang mengeluarkan aturan yang tidak favourable. Contohnya, aturan loan to value (LTV), aturan masalah inden, PPN-BM, dan lain-lain. Bila melihat siklusnya, seharusnya property cycle itu naik pada tahun 2016, meski nyatanya tidak. Ekspektasi saya, sampai akhir tahun 2019, properti bisa bounce back lagi. 

Kita harus tetap optimistis. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dilakukan untuk mengangkat pasar properti lebih tinggi. Kita harus memiliki program berdasarkan kondisi pasar yang ada. Ada sejumlah langkah yang harus dilakukan untuk memenangkan kondisi pasar yang seperti ini. Kita harus listen the customer. Sekarang itu, konsumen wait and see karena melihat pasar. Konsumen sekarang mempunyai kecenderungan menunggu, padahal mereka mempunyai uang. Konsumen itu mempunyai kemampuan, tetapi kemauannya tidak ada karena faktor confidence level. Jadi, strateginya adalah kita harus listen the customer. 

Kita harus mendengar kemauan dan keinginan konsumen. Jadi, kalau pun kita membuat program seperti Price Amnesty, kita kasih diskon 15%—20% sehingga risiko akan tetap 80%. Apakah konsumen mau membayar dengan harga 80%? Belum tentu, karena risikonya 80% at the money. That is the market. So, we have to listen the market. Pasar seperti itu, konsumen juga seperti itu. Oleh sebab itu, kita harus kreatif. Kita harus membuat terobosan agar diterima oleh pasar.

Pada kondisi masyarakat yang memiliki kemampuan, tetapi kemauannya kecil, kita harus menggelitik masyarakat untuk memiliki kemauan. Dengan demikian, akan terdorong pembelian properti. Kunci rancangan tersebut adalah minimize the risk.

Adapun meminimalisasi risiko yang dimaksud adalah skema dalam pembayaran, yakni pembayaran down payment (DP). Konsumen diberikan kemudahan cara bayar dengan DP 15% yang dicicil selama 24 kali dan pelunasan 85%-nya dilakukan pada Januari 2020. Namun, ada tawaran yang akan menarik konsumen bila pelunasan dilakukan sebelum 31 Desember 2018. Konsumen akan mendapatkan diskon tambahan sebesar 5%. Konsumen akan diberikan potongan langsung untuk program barang ready stock sebesar 20% dengan cara bayar hardcash atau lewat KPR Ekspres. Itulah yang kita buat melalui program Price Lock.

Adapun yang menyangkut produk, kami tetap harus memegang prinsip understanding the market dan listen the customer. Misalnya, dulu konsumen mau membeli properti dengan harga Rp3 miliaran, tetapi sekarang mungkin konsumen mau membelinya dengan harga Rp1 miliaran atau di bawah Rp1 miliaran. Kenyataan tersebut mendorong kami untuk membuat produk seperti itu. Kami harus membuat produk yang konsumen inginkan. Sekarang, banyak sekali produk di BSD yang harganya Rp1 miliaran hingga Rp800 jutaan. 

Konsumen properti itu terdiri atas end user dan investor. Sekitar 50% adalah end user dan 50% lainnya adalah investor. Di dalam investor, terdapat short term investor dan long term investor. Mungkin, sekitar 30% dari investor itu adalah investor jangka pendek, sedangkan sisanya adalah yang bermain jangka panjang.

Nah, dalam tiga tahun terakhir ini, investor punya kecenderungan untuk menyebar risikonya. Saya selalu analogikan seperti ini. Investor punya uang Rp5 miliar, sekitar tahun 2010—2014, investor membelanjakannya sebanyak Rp4 miliar untuk properti. Namun, semenjak 2014 sampai sekarang, ada perubahan pola, mungkin mereka hanya membelanjakan sekitar Rp3 miliar. Itu pun dibagi menjadi beberapa properti yang masing-masing mungkin dengan harga sekitar Rp800 jutaan. Mereka melakukan ini untuk mengelola risiko atau split the risk. Mereka juga berpikir bahwa properti yang lebih murah akan lebih likuid.

Oleh sebab itu, pengembang juga harus membuat produk yang memiliki alasan kuat untuk dipilih para pembeli. Kita harus create the reason. Kita harus membuat alasan agar orang membeli produk properti, baik dari metode pembayarannya, spesifikasi propertinya, atau lainnya. Terkadang, saya mengetes diri saya sendiri karena saya juga seorang investor. Apabila saya sendiri saja tidak tertarik, bagaimana dengan orang lain? Selain itu, faktor yang tak kalah penting juga adalah packaging. Pengemasan produk atau program harus dibuat secara menarik. Hal ini pula yang saat ini kami lakukan, membuat kemasan-kemasan program yang menarik.

(Disarikan dari wawancara pada 26 Oktober 2017)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: