Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bak Jamur di Musim Hujan, Fintech Bertumbuh

Bak Jamur di Musim Hujan, Fintech Bertumbuh Kredit Foto: Dina Kusumaningrum
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perusahaan teknologi digital penyedia jasa keuangan atau akrab disebut fintech bermunculan bak jamur di musim hujan. Bertebarannya fintech tersebut dipandang akan memengaruhi industri jasa keuangan konvensional, dalam artian kompetitor dan pada sisi yang lain dipandang sebagai pelengkap industri jasa keuangan. 

Jika dibedah, fintech dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, crowdfunding dan peer to peer lending sebagai platform yang mempertemukan para pencari modal dan investor. Kedua, market aggregator yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dan mengoleksi data finansial untuk disajikan kepada pengguna. Ketiga, risk and investment management yang konsepnya seperti financial planner, tapi berbentuk digital. Dan keempat, fintech yang bergerak di bidang payment, settlement, dan clearing untuk pembayaran, seperti e-wallet dan payment gateway.

Crowdfunding dan peer to peer lending masuk dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara itu, payment, settlement, dan clearing masuk dalam ranah pengawasan Bank Indonesia (BI). Untuk dua jenis fintech lainnya, akan  masuk ke ranah OJK atau BI jika sudah berubah menjadi perusahaan pendana atau alat pembayaran.

Dari empat kelompok fintech tersebut, crowdfunding dan peer to peer lending paling mendapat sorotan sebab model bisnisnya seperti perbankan. Setidaknya, telah ada 22 perusahaan yang terdaftar secara resmi di OJK. Untuk mengatur perusahaan seperti ini, OJK mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016. 

Ada empat poin penting dalam peraturan tersebut. Pertama, kepemilikan saham asing maksimal 85%. Kedua, modal minimal Rp2,5 miliar. Ketiga, batas maksimal pinjaman Rp2 miliar dan suku bunga tujuh kali lipat dari BI 7-day Repo Rate per tahun, saat ini sekitar 15%. Keempat, adanya keharusan pembuatan escrow account, yang dalam bisnis P2P Lending mengharuskan seorang penyelenggara untuk tidak menyentuh sepeser pun dana pinjaman yang mengalir dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman, dan sebaliknya. Perusahaan hanya boleh menerima komisi dari setiap transaksi pinjaman yang terjadi di platform mereka.

Yang membuat perusahaan startup berlomba-lomba membuat fintech jenis ini karena masih banyaknya masyarakat yang belum tersentuh akses perbankan atau unbankable. Survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2016 yang dilakukan oleh OJK menyebutkan, tingkat literasi keuangan hanya 29,66%, sedangkan inklusi keuangan sebesar 67,82%. Kalangan itulah yang ingin coba disasar oleh perusahaan fintech, atau bahkan masyarakat yang sudah bankable sekalipun karena kemudahan yang ditawarkan oleh fintech. 

Terdapat perbedaan antara crowdfunding dan peer to peer lending. Crowdfunding adalah metode penggalangan dana lewat daring. Crowdfunding melibatkan tiga pihak, yakni mereka yang memiliki ide atau proyek yang butuh pendanaan, pihak yang tertarik dan mendukung proyek tersebut, dan organisasi yang berfungsi sebagai penengah sebagai pendana. 

Sementara itu, P2P Lending merupakan sistem yang mempertemukan pemberi pinjaman dengan peminjam. Platform ini lebih sesuai dikatakan sebagai marketplace khusus finansial. Kemudahan yang ditawarkan adalah pemberi pinjaman dan peminjam tidak perlu bertemu satu sama lain. Pinjaman juga dapat diberikan tanpa ada jaminan. Namun, setelah pinjaman disetujui, peminjam akan terikat perjanjian mengenai kewajiban untuk mengembalikan dana kepada pemberi pinjaman.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: