Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Langkah Transformasi Taklukkan Perubahan Bisnis

Langkah Transformasi Taklukkan Perubahan Bisnis Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebagai bagian dari grup Astra, Astra Agro Lestari (AAL) tidak ingin menjadi perusahaan yang biasa-biasa saja. Dalam berbisnis, mencari untung memang hal yang wajar. Tetapi, Astra Agro Lestari tidak hanya mengejar itu. Perusahaan ini ingin memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, AAL tidak ingin sekadar menjadi pekebun, menghasilkan sawit dan turunannya, lalu mendapatkan untung dari bisnis ini. 

AAL memikirkan hal yang lebih besar dari itu. Perusahaan didorong untuk mampu terus berinovasi, mencetak ide-ide baru yang bisa memberikan manfaat yang lebih panjang. Salah satu amunisinya adalah riset bioteknologi. AAL sudah melakukan riset bioteknologi sekitar 10 tahun untuk kelapa sawit. Sepanjang waktu itu, sudah ada tiga generasi bibit sawit yang terus menuju kesempurnaan. Bibit-bibit tersebut sudah melewati fase adaptasi dan terus diperbaiki agar dapat menjadi bibit yang kuat dan produktif.

Riset bioteknologi lainnya yang belum lama ini dilakukan adalah pembibitan dan penggemukan sapi. Langkah merambah ke sapi bukanlah langkah untuk meninggalkan kelapa sawit yang sudah menjadi bisnis inti AAL. Namun, langkah tersebut sebagai respons korporat dalam melihat peluang lainnya untuk menjadi portofolio tambahan. Ini pula yang menjadikan AAL berbeda dan bisa menjadi kebanggaan bangsa sebagai pencetak sapi berkualitas.

Di bawah kepemimpinan Santosa, Astra Agro Lestari akan melakukan sejumlah langkah modernisasi dan mekanisasi yang berujung pada efisiensi dan produktivitas perkebunan sawit. Di mata Santosa, bukanlah hal mustahil melakukan digitalisasi perkebunan sawit. Ia sudah memikirkan banyak langkah mekanisasi perkebunan sawit agar kompetitif.

Dalam kesempatan berbincang dengan CEO Astra Agro Lestari, Warta Ekonomi membedah langkah-langkah transformasi AAL di bawah kepemimpinan Santosa. Berikut ini petikan wawancara reporter Arif Hatta dengan CEO Astra Agro Lestari pada Selasa (28/11/2017) di Jakarta.

Bagaimana peluang industri kelapa sawit dan turunannya saat ini, baik di dalam negeri maupun luar negeri? 

Kalau di dalam negeri saat ini sudah positif dan mulai konsisten, mulai dari presiden hingga ke teknisnya, sehingga bisa dikatakan sudah lumayan bagus. Tantangannya memang di luar, terutama di Eropa. Kalau di Amerika, sampai saat ini, pasarnya hampir tidak ada, terakhir yang agak lumayan di biofuel. 

Saat ini, kuncinya adalah bagaimana agar pertumbuhan sawit di Indonesia bisa lebih menopang. Kalau kita lihat, perusahaan besar praktis sudah tidak bisa tumbuh karena terus menerus dihajar. Ke depannya, kita melihat pertumbuhan akan lebih banyak dari kebun-kebun (plasma). Perusahaan besar mau tidak mau lebih bermain di pengolahan dan memberi nilai tambah, bukan lagi sekadar memperluas lahan karena itu hampir mustahil dilakukan. 

Bagaimana perdagangan sawit dan turunannya dalam jangka panjang?

Tidak ada komoditas lain yang produktivitasnya seperti sawit. Mereka benar-benar ketakutan karena ke depannya yang bisa tumbuh hanya sawit. Kembali lagi, kalau secara negara, saya melihatnya ini sebagai nilai positif, yang penting ada pemerataan penghasilannya di masyarakat sehingga pengentasan kemiskinan dapat dilakukan.

Perusahaan besar seperti kita pasti memiliki jalannya sendiri, sudah dari sananya dididik seperti itu. Apakah nanti menghasilkan nilai tambah atau produk turunan, saat ini yang terpenting adalah kelapa sawit sudah direkognisi oleh pemerintah. Kalau di luar negeri, suka tidak suka kebutuhannya pasti bertambah, mau kampanye seperti apa pun mereka tetap membutuhkannya karena tidak ada pengganti kelapa sawit. Sampai sekarang, saya belum melihat ada yang bisa menjadi kompetitor produk sawit, mulai dari pengeluaran, penggunaan lahan, hingga penggunaan pupuknya. 

Apa visi Anda untuk Astra Agro Lestari?

Saya merasa, dalam jangka panjang, kelapa sawit itu masih bagus. Mumpung Indonesia dan kami masih bagus maka untuk mengantisipasi jangka yang sangat panjang, kita menciptakan kompetensi di tempat yang lain, yaitu pembibitan sapi. Fokus itu dulu. Harapan saya, kalau riset ini bisa berhasil, portofolionya sudah ada dulu. 

Anda bayangkan kalau hanya jualan 100 ribu sapi, mungkin tidak terasa. Berbeda kalau ada produk turunannya, misalnya daging beku dan turunan lainnya. Atau, kita nanti punya bisnis produksi makanan untuk ternak. Semuanya ada di kepala, tetapi masih belum saya seriusi. 

Bisnis itu, kan, tidak bisa langsung dilakukan, kita mesti punya sesuatu agar bisa merembet. Sama seperti di sawit. Dulu mulai dengan punya kebun sendiri, setelah itu barulah mulai membuat pabriknya.

Lalu, apa yang dilakukan oleh Astra Agro Lestari?

Sebenarnya, AAL masih boleh melakukan ekspansi. Sebagai perusahaan dari kelas Astra, kita tidak mau bermasalah dengan LSM internasional dan di dalam negeri. Kita sudah punya komitmen untuk tidak melakukan deforestasi. Artinya, kalau lahannya masih bukan kawasan hutan, ada pohon dengan ukuran tertentu, kita tidak boleh menyentuhnya. Definisi deforestasi kita bukan mengikuti undang-undang, tetapi mengikuti LSM internasional. Begitu juga dengan gambut. Jadi, praktis kita tidak bisa ekspansi. Kalau tidak bisa ekspansi, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah intensifikasi kebun yang sudah ada, itu yang pertama. 

Kedua, saat pemerintah melakukan penanaman kembali plasma. Itu juga merupakan suatu kesempatan. Jika kita mau membantu dalam hal pendanaan dan membangun kebun untuk masyarakat, kita menjadi bapak angkat para petani plasma. Dengan membangun plasma, artinya, kita masih bisa ekspansi, tetapi marginnya tidak seperti dulu. Saya lihat pertumbuhannya ada di kemitraan. Ketika kita memberikan pendanaan, di situlah kita bisa mendapat bagian. Apalagi, hampir tidak ada bank yang memberikan pendanaan untuk petani plasma. Kenapa? Pengalaman kita sebelumnya, 7 sampai 9 tahun masih belum bisa bayar, produksi yang sudah di atas 7 tahun yang baru bisa membayar. Dengan begitu, bank tidak mungkin mau memberikan pendanaan, kecuali perusahaan perkebunan seperti kami. 

Kita mendapat spread, mendapat buahnya untuk diolah sehingga mendapat margin dari sana. Margin pengolahan bisa diolah menjadi produk-produk turunan. Ke sanalah arah natural growth AAL. Itu untuk yang organik. Untuk yang anorganik, saat ini sedang kami kembangkan. Kami sedang mencoba pretrial untuk ternak, baik penggemukan atau pun pembibitan.

Seberapa besar kapabilitas Astra Agro Lestari di situ?

Kita sudah 30 tahun bekerja di bisnis ini, sudah seharusnya natural growth kita ke depan adalah ke arah sana. Harapannya, dengan kerja sama ini, produktivitas petani yang tadinya dikendalikan sekadar apa adanya, sekarang bisa menjadi industrial. 

Sejak kapan itu dilakukan?

Kalau plasma sudah dari dulu. Dulunya hanya sekadar menuhin syarat. Kalau sekarang tidak, itu jadi benar-benar bisnis. Kalau untuk pendanaan, sebenarnya saat ini saya baru merencanakannya karena masih harus membicarakan kriteria-kriteria pendanaan dan skalanya seperti apa. Kita mesti petakan dulu, penyaringannya harus lebih ketat, begitu juga dengan pilihan model bisnisnya. 

Mengapa baru dilakukan sekarang?

Satu-satunya cara AAL untuk tumbuh harus ke arah sana. Jadi, AAL masih akan tumbuh. Saya bilang kepada teman-teman, kita harus kreatif dalam mencari peluang untuk bertumbuh.

Saya sampaikan kepada teman-teman bahwa itulah yang harus dipikirkan karena selama ini AAL benar-benar berkebun. Saat ini, dengan tidak bisa ekspan di inti, mau tidak mau kita harus berperilaku seperti bisnis-bisnis Astra lainnya karena market share akan menentukan bargaining position kita dalam pasar, baik terhadap suplyer atau pun pelanggan. 

Ke arah sanalah transformasi bisnis perkebunan ini dilakukan dan perilakunya sangat berbeda. Dulu kalau dengan inti, margin kita paling tidak mencapai 20%—25%. Saat ini, dengan konsep bisnis yang baru, margin kita menjadi normal seperti berdagang biasa, hanya 5%—10%.

Artinya, harus memiliki skala yang besar?

Manajemen harus mengubah pola pikir, mengubah perilaku, which is di Astra, di dunia Astra yang lain itu biasa. Margin mobil paling 3%—5%, tapi kan skalanya harus gede. Yang menjadi tantangan di sini adalah kalau di otomotif atau bisnis lain, meski kita tidak bisa mengontrol harga dan volume hingga 100%, tetap masih ada hal lain yang kita kontrol, seperti menciptakan program pemasaran. Kalau di sawit ini tidak ada, harga dan volume komoditi ini tidak bisa dikontrol. Margin akan bermain cukup tipis, ini cukup menantang. Oleh sebab itu, saat ini saya sedang mengajak teman-teman untuk memanfaatkan berbagai macam alat. Makanya saya bilang, kita mesti canggih seperti yang lain, harus melindungi nilainya. 

Apa tantangan melakukan transformasi di Astra Agro Lestari?

Mengubah pola pikir. 

Apa saja transformasi yang dilakukan Astra Agro Lestari?

Pertama, yang sedang kami bangun adalah pola pikir bahwa perkebunan biasa tidak boleh dilupakan. Saya ingin memfokuskan pada inti bisnis. Strategi sebuah inti bisnis haruslah memiliki operasional yang unggul, menghasilkan, dan berkualitas. Jadi, begitu penanaman ulang, inti akan melakukan intensifikasi untuk menghasilkan, mekanisasi untuk efisiensi biaya, serta proses yang unggul untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas. Tiga itulah strateginya. 

Kedua, pendanaan untuk petani mitra. Kita dapat bagian, selisih antara bunga bank dengan bunga kita. Kalau kita unggul di sini, pembiayaan akan menjadi lebih murah sehingga saya bisa mendanai plasma sebanyak mungkin karena biayanya lebih murah.

Ketiga, bisnis baru. Kami serius dalam penggemukan dan pembibitan sapi.

Bagaimana hubungan antara bisnis baru dengan bisnis inti? 

Benar-benar baru. Awalnya, hanya direspons sekitar 7 tahun yang lalu, saat pemerintah berencana mengintegrasikan sapi dan sawit untuk ketahanan pangan. Saya lihat ini sudah jalan. Lebih jauh lagi, AAL harus mulai keluar dari bisnis sawitnya juga, bukan meninggalkan, tetapi menambah portfolio yang lebih besar.

Apa yang memotivasi Anda memilih sapi?

Kalau sapi, saya melihatnya begini. Kalau hanya melakukan penggemukan, itu sudah banyak. Penggemukan itu dagang biasa, impor, lalu dijual. Saya ingin sesuatu yang milik sendiri, lebih besar. Tentu akan lebih sulit, tetapi menciptakan sesuatu, tidak sekadar dagang. Kalau hanya berdagang, tidak perlu di Astra, semua orang juga bisa. Kami juga dagang, tetapi harus ada nilai yang dibawa. Kalau menciptakan kompetensi kan berbeda, seperti apa pun regulasinya, kami sudah punya sendiri.

Apakah Anda pesimistis terhadap sawit?

Oh, tidak. Sawit tetap akan tumbuh, hanya model bisnisnya tidak bisa lagi seperti dulu, tidak bisa lagi hanya inti, harus mengembangkan kemitraan. AAL sendiri harus punya narasi. Kalau tidak berubah, susah mendapatkan karyawan yang bagus. Kita berebut orang bagus, kalau semua lari ke startup, bisnis bisa mati. Namun, dengan menciptakan narasi yang arahnya lebih modern, banyak anak-anak baru yang bagus akan tertarik dengan bisnis kita. AAL juga harus ke sana. Kalau dulu saya lihat, orang yang masuk Astra pasti maunya otomotif, layanan keuangan, atau united tractor. United tractor mulai kelihatan narasinya. Makanya, saya sampaikan kepada direksi yang lain bahwa kita harus menciptakan narasi sehingga AAL juga punya eksposur dan gaya. Kita harus punya sesuatu. Kalau sekadar dagang, itu hanya menarik untuk pemegang saham, tidak untuk karyawan. Harus ada hal yang dicapai oleh karyawan, tidak sekadar cari duit.

AAL sudah mulai dengan riset dan mekanisasi. Kita lihat ada kesempatan karena bioteknologi itu bidang yang sekarang sedang berkembang. Tidak semua perusahaan bisa riset bioteknologi, sedangkan kita memiliki kemampuan seperti itu, meski tidak banyak orang yang masuk ke bidang riset nantinya. Saya lihat potensi itu bisa terjadi di ternak karena bermain di bioteknologi. 

Bioteknologi merupakan sebuah sexy story. Bila benar-benar berhasil, hal ini bagus untuk karyawan dan reputasi perusahaan. Kalau ditanya kontribusinya berapa, saya tidak tahu. Yang paling penting adalah mimpinya ada di situ. Kalau kita bisa menciptakan pemuliaan bibit sapi dengan bioteknologi yang benar-benar milik kita sendiri hak ciptanya, mau 100 ribu atau 1 juta ekor itu adalah masalah investasi. Saat ini yang terpenting adalah mempunyainya dulu. Kita kerjakan dalam 3 tahun. Kita punya 10 ribu ekor, segitu saja dulu, yang penting menghasilkan sesuatu. Istilahnya, kita bisa jadi kebanggaan nasional.

Apakah riset bioteknologi ini termasuk untuk sawit?

Riset untuk sawit sudah dilakukan dari 10 tahun yang lalu. Sekarang kita sudah generasi ketiga. Ke depannya kita ingin, misalkan di Sulawesi, memiliki gen yang lebih tahan terhadap ganoderma. Kedua, membuat masing-masing wilayah untuk pertumbuhan pohon yang lebih rendah. Tidak terlalu tinggi, tetapi pertumbuhannya menyamping sehingga memanennya lebih mudah dan hasilnya lebih tinggi. Lalu, pelepah daunnya tidak sepanjang yang sebelumnya, pendek, tetapi lebih lebar sehingga fotosintesisnya tetap. Jadi, satu hektarenya bisa lebih padat. Itu yang sedang dicari. Harapannya di 2024 atau 2025 sudah bisa dilakukan

Kalau sapi, saya bilang generasi pertamanya bisa keluar pada 2020. Kalau ada riset-riset seperti ini, berpikirnya harus jangka panjang, misalnya 20 tahun, tidak bisa jangka pendek.

Bagaimana kesiapan organisasi dalam menghadapi transformasi ini?

Nah, ini proses. Menurut saya, dalam tiga tahun bisa selesai. Sekarang masih adaptasi. Secara struktur belum saya ubah. Pasalnya, organisasi tidak bisa main perintah begitu saja, nanti hatinya tidak masuk. Direksi sudah klop. Mungkin tahun depan sesudah RUPS baru dirapikan. Kita menyesuaikan dengan yang di atas dulu.

Apakah Anda tertarik untuk merambah ke produk konsumer?

Untuk sapi, saya baru fokus untuk menciptakan pembibitan. Sebenarnya, yang banyak ditanyakan orang-orang adalah apakah di kelapa sawit kita mau masuk jauh sampai konsumer? Itu yang masih saya lihat. Sampai sekarang, sebenarnya pada level kilang minyak. Kalau ke konsumer, bukan saya menutup kemungkinan, tetapi sampai 5 tahun ke depan saya masih merasa belum, kecuali akuisisi. Kalau akuisisi tidak pernah saya rencanakan karena itu seperti “jodoh-jodohan”.

Kenapa Astra Agro Lestari belum mau bermain di produk konsumer?

Kalau kita punya kelapa sawit, kita bisa membuat sampo. Tetapi kalau sudah membuat sampo, memang bisa jualan? Itu dunia yang berbeda. Sama halnya dengan punya tambang silikon, lalu membuat ponsel untuk lawan Apple, itu kan berbeda. Ini sudah berbicara distribusi dan branding. Itu benar-benar dua bisnis yang berbeda. 

Apa lagi kesempatan yang coba digali Astra Agro Lestari?

Saya selalu membuka kesempatan, khususnya terkait dengan bisnis makanan dan konsumer, yang intinya mirip-mirip karena satu grup dengan kelapa sawit. Tetapi balik lagi, saya tidak main ambil saja. Kita lihat terus, siapa tahu nanti ada.

Seperti apa digitalisasi yang dilakukan di sawit?

Saya harapkan ke depannya, seorang mandor bisa langsung melihat kebun dan langsung memasukkan laporan. Mandor-mandor itu nanti sudah menggunakan handset sehingga mengontrol berdasarkan analitiknya. Kualitasnya juga bisa terkontrol. Kemudian, begitu buah datang, langsung masuk ke pengangkutan. Saya ingin Wintor memiliki pengukur berat sehingga sejak begitu buahnya jatuh, kita sudah tahu produksinya akan jadi berapa. Saya juga membayangkan, jalur kita itu tidak seperti di Jakarta, jalur di kebun lintasannya begitu-begitu saja, self driving itu bisa dilakukan.

Saya ingin produksinya seperti di pabrik otomotif. Pagi jam berapa mulai, kapan selesai itu bisa diatur, sinkron dan terukur semua sehingga buah tidak ada yang sampai busuk atau rusak karena begitu segar langsung masuk pabrik. Ada yang tidak bisa digantikan, tetapi yang bisa digantikan dengan peralatan harus diganti untuk meningkatkan kualitas dan menghasilkan produktivitas tinggi. Di kemudian hari, secara perusahaan maupun industri akan kompetitif. Kompetisi kita tidak bisa terus diatur secara manual. Saya lebih takut pada hal-hal seperti ini daripada hal yang lain. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: