Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Otomotif Semakin Irit, Otomatis, dan Cerdas

Otomotif Semakin Irit, Otomatis, dan Cerdas Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wajah mobil pada masa mendatang dipastikan akan jauh lebih ramah lingkungan dengan mobil listrik sebagai andalannya. Namun, permintaan pasar lebih condong ke arah intimasi pelanggan. Dengan begitu, connected cars akan menjadi segmen pasar mobil ke depan. 

Pada tahun 2040, negara-negara Uni Eropa akan melarang mobil memakai bahan bakar bensin dan solar. Arah kebijakan ini tentu memberi gambaran mengenai jenis mobil yang akan dikembangkan produsen otomotif dunia ke depannya. Benar, mobil listrik akan menjadi pilihan untuk pengembangan. 

Apakah hanya sebatas pada mobil listrik? Tentu saja tidak. Para futuris, desainer mobil, orang-orang industri teknologi informasi (TI), serta para peneliti dan pengembang industri otomotif tentu sudah membuat gambaran (mock up) mengenai mobil masa depan. Selain bertenaga listrik, mobil di masa depan akan menggunakan perangkat artificial intelligent (AI) sehingga kendaraan memiliki kemampuan yang luar biasa.

Mobil masa depan di era 2040 ke atas menggunakan sumber energi tenaga listrik; automasi sepenuhnya; mampu berkomunikasi dengan pemilik kendaraan; memiliki ruang kabin yang sangat mewah, seperti kursi yang saling berhadapan antarpenumpang; dan bertaburan fitur multimedia yang interaktif, seperti layar tiga dimensi.

Semua gambaran mobil seperti itu sejatinya sudah terwujud pada mobil konsep Mercedes dan Toyota. Pada ajang Consumer Electronics Show (CES) 2016 di Las Vegas, Amerika Serikat, Mercedes memperkenalkan mobil konsep masa depan F015 Luxury in Motion. Mobil ini memiliki empat kursi penumpang yang saling berhadapan, bertenaga listrik, automasi sepenuhnya, black box, pemindai sidik jari dan retina mata, serta sistem biometrik yang mengidentifikasi pemilik.

Gambaran tidak jauh berbeda juga disodorkan pabrikan Toyota dengan mobil konsep Concept-I. Mobil konsep ini diperkenalkan pada CES 2017 di Las Vegas dan menyedot perhatian pengunjung secara luar biasa. Pasalnya, Concept-I mengusung filosopfi “kinetic warmth” yang meyakini bahwa teknologi AI akan memberi kehangatan kinetis bagi penumpangnya. Bagaimana bisa begitu? Bayangkan, mobil ini bisa menyapa Anda ketika berada di kabin.

“Apakah kamu baik-baik saja, Bob?” sapa Yui, nama panggilan mobil Concept-I Toyota, kepada Bob Carter, senior vice president of automotive operations for Toyota, saat memperkenalkan mobil itu di ajang CES 2017. 

“Apa yang Anda harapkan, Yui? Saya sedang di atas panggung memberi pidato kepada pengunjung CES,” ujar Bob Carter.

“Ayolah, Bob. Bagaimana kalau Anda tarik nafas dulu agar lebih rileks pidatonya?” respons Yui. Bob pun menarik nafas dalam selama tiga kali sebagaimana disarankan Yui. Kemudian, ia berpidato dengan jauh lebih rileks. 

Petikan dialog di atas barulah salah satu gambaran bagaimana teknologi AI di mobil akan mampu berdialog dengan penumpang. Bahkan, ketika Anda masuk ke kabin mobil, Yui akan bertanya tujuan Anda hari ini. Kalau Anda bilang ke kantor, Yui secara otomatis akan mengalkulasi rute tercepat sampai ke kantor. Setelah mengantar Anda sampai ke tujuan, Yui akan mencari parkir sendiri dan mengisi baterai.

Itulah gambaran jika Anda memiliki mobil sendiri (own car) pada masa mendatang di era 2040-an. Padahal, pada era itu, sejumlah pakar otomotif global memperkirakan akan terjadi pergeseran pasar dari kepemilikan sendiri ke sharing car, sebagaimana dilakukan Uber dan Lyft. Kedua perusahaan itu menawarkan kepemilikan mobil tanpa harus memiliki mobil. Dengan konsep ini, tidak ada mobil yang menganggur seharian di pelataran parkir, tetapi terpakai secara optimal (bisa sampai 90%). 

Laporan McKinsey 2017 memperkirakan, bakal terjadi penurunan pertumbuhan global penjualan mobil dari 3,6% menjadi 2% pada 2030. Perkiraan jumlah mobil di dunia sampai 2021 mencapai 380 juta kendaraan. Penyebab penurunan ini tak lain karena hadirnya sharing car dan mobility service. Laporan ini juga memperkirakan sekitar 30% atau senilai US$1,5 triliun penghasilan pabrik mobil berasal dari penjualan mobility driven service, seperti mobility service dan data. Sementara itu, penghasilan dari penjualan mobil sekitar US$5,2 triliun.

Pabrikan seperti Ford sudah membaca tanda-tanda zaman bahwa akan terjadi pergeseran pasar dari own car menjadi sharing car. Ford pun mendeklarasikan bahwa pabriknya mulai menawarkan pelayanan kendaraan berupa sharing car kepada pelanggan mereka. 

Berpacu dalam Automasi

Para produsen otomotif sudah paham betul arah pergerakan industri otomotif global ke depannya. Ke depannya, mesin penggerak mobil akan bersumber dari tenaga baterai listrik dan menggunakan teknologi AI yang mampu menyetir sendiri (automasi). Selain itu, mobil masa depan juga akan banjir fitur-fitur yang mampu membantu urusan si pemilik mobil. Semisal, memberi informasi jalan menuju lokasi kantor yang tidak macet, atau ketika si empunya mobil mencari lokasi pengisian baterai mobil terdekat dengan antrean terpendek. 

Saat ini, setidaknya ada 50 pabrikan mobil global yang berlomba memproduksi mobil listrik. Pertarungan di antara pabrikan mobil listrik ini mengarah ke harga yang lebih terjangkau, baterai yang tahan lama, pengisian baterai yang cepat, dan tawaran teknologi automasi yang lebih maju. Ambil contoh, mobil listrik produksi General Motors’ Chevrolet Bolt EV, Tesla new Model 3, dan Nisan Leaf yang dipatok seharga US$300.000 atau setara Rp4 miliar (kurs Rp13.500/dolar AS).

Dengan harga setinggi itu, sudah tentu tidak akan banyak orang memiliki mobil. Ini bukan kabar baik bagi produsen otomotif yang mengandalkan volume penjualan untuk menutup biaya operasional perusahaan. Ke-50 pabrikan otomotif kini sedang berjuang agar harga jual mobil listrik mereka lebih terjangkau dengan kualitas yang mumpuni tentunya. Bahkan, bila perlu menerapkan teknologi AI paling canggih, kabin yang mewah, serta multimedia yang memanjakan penumpang. 

Penerapan teknologi AI dalam mobil memiliki wujud implementasi yang banyak, salah satunya berupa black box seperti di pesawat terbang. Black box akan merekam pola perilaku berkendara, tingkat kehausan mesin, serta komponen yang perlu diganti. Selain itu, kemampuan AI juga bisa diimplementasikan melalui automasi mobil dalam berkendara di jalanan yang padat pejalan kaki sekali pun. Secara teori, mesin memang akan menggantikan manusia secara lebih baik dan aman ketika menyetir mobil. 

Menurut CEO Toyota Research Institute (TRI), Dr. Gill Pratt, belum ada pabrikan mobil dan industri TI yang benar-benar sudah mencapai level five autonomous car. Level ini merupakan tahapan akhir dari autonomous car. Masih butuh waktu yang lebih panjang agar mesin mampu membaca dan mengolah semua informasi lapangan di jalan raya. “Kalau diperkirakan, saat ini baru memasuki level tiga automasi mobil dan sangat susah untuk mencapai level empat,” ujar Gill Patt di pageralan CES 2017.

Respons Pabrikan Mobil di Indonesia

Sebagai CEO PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Warih Andang Tjahjono memahami betul betapa payahnya industri otomotif untuk sampai ke level empat dan lima automasi mobil seperti yang disampaikan Gill Pratt. Ia memberi contoh keribetan koneksi antara AI mobil dengan prasarana di jalan raya, seperti lampu merah, rambu-rambu lalu lintas lainnya, atau dengan zebra cross. Belum lagi, konektivitas dengan sesama mobil yang berbeda merek. Semisal, di depan mobil Toyota ada mobil merek lain yang tiba-tiba mengerem, sistem di mobil itu belum tentu terkoneksi dengan yang ada di Toyota. “Jadi, perjalanan untuk mengarah ke mobil automasi sepenuhnya masih panjang,” ujarnya.

Pasar mobil di Indonesia arahnya lebih ke mobil hemat bahan bakar (fuel efficiency), connectivity, dan semi-autonomous. Kenyataan bahwa energi fosil seperti BBM akan segera habis, membuat pabrikan mengantisipasi dengan produksi mobil yang hemat energi. Untuk merespons kebutuhan hemat energi ini, Toyota pernah melahirkan mobil hibrida. Tidak bisa dipungkiri arah perkembangan mobil ke depan menuju mobil listrik. Pabrikan mobil seperti TMMIN tinggal menungu sinyal pasar saja. Seandainya regulasi terkait mobil listrik ini sudah keluar, sekitar tahun 2022 TMMIN akan menyiapkan pasar, rantai pasokan, dealer, dan mengedukasi pelanggan. 

Produsen mobil lain juga sudah mengantisipasi kehadiran mobil listrik dalam waktu dekat. PT Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI), misalnya. Menurut Vice President Director PT IAMI, pihaknya siap mengimpor kendaraan listrik yang sudah lebih sukses diterima di pasar luar negeri, seperti kendaraan niaga listrik Isuzu ELF EV. Kapan mesti mendatangkan mobil niaga listrik itu sangatlah bergantung pada kondisi pasar di dalam negeri. “Truk listrik ini menggunakan baterai berkapasitas besar yang merespons teknologi pengisian cepat generasi berikutnya,” ujarnya. 

Pemain lain seperti PT Sokonindo Automobile juga siap mengembangkan mobil listrik di Indonesia. Produsen kendaraan berjenis SUV dan pick up ini menargetkan dalam tiga tahun ke depan akan memproduksi mobil listrik di dalam negeri. “Pabrik kami di Tangerang siap memproduksi mobil listrik,” ujar Vice President Director PT SA, Alexander Barus.

Selain itu, pergerakan permintaan pasar otomotif di Indonesia mulai bergeser ke unsur konektivitas. Maksud dari konektivitas adalah si pemilik mobil bisa melakukan apa pun di mobilnya, mulai dari chatting dengan kolega bisnis, keluarga dan teman; hingga mengetahui kondisi jalan mana yang macet dan alternatif jalan yang ditempuh. Jadi, mobil seperti menjadi teman yang hidup bagi pemiliknya. Inilah era intimasi pelanggan.

Tawaran teknologi mobil yang automasi sepenuhnya sedang getol digarap Tesla, Ford, Chevrolet, Mercedez, BMW, dan Nisan boleh dibilang masih jauh dari pasar di Indonesia. Kesiapan infrastruktur di jalan raya yang terhubung dengan mobil automasi masih jauh panggang dari api. Teknologi automasi sepenuhnya (Level 5) masih belum bisa dicapai pabrikan mobil, seperti dinyatakan CEO TRI Gill Pratt. Untuk saat ini, teknologi yang disematkan ke mobil di Indonesia masih semi-automatic. Artinya, peran pengemudi masih besar dalam proses mengendarai mobil, hanya pada bagian tertentu dari proses pergerakan mesin yang sudah otomatis seperti transmisi gigi.

Tantangan ke Depan

Gambaran mengenai arah industri otomotif menuju 2040 sudah terbaca jelas: tidak ada lagi mobil yang menggunakan bahan bakar fosil, semuanya digantikan dengan mobil listrik (electric vehicle/ EV). Pergerakan arah industri otomotif tidaklah berhenti hanya sampai di EV. Permintaan pasar otomotif global sudah mengarah ke segmen yang sangat memanjakan pelanggan selaku pemilik mobil: connected cars. Inilah pasar baru industri otomotif global. Menurut IHS Markit, sebuah lembaga penelitian global sektor otomotif, memperkirakan pasar connected cars bakal kinclong. Pada 2022, tingkat penjualan connected cars akan mencapai 77 juta unit. Bandingkan dengan penjualan mobil biasa pada 2014 yang hanya 19 juta unit. Terjadi lonjakan sebesar 73%.

Isu krusial ke depannya adalah pertarungan antara produsen otomotif petahana dengan pemain baru dari luar sektor otomotif. Tesla sudah menjadi salah satu contohnya. Justru yang ditakutkan para produsen otomotif adalah kehadiran “new wave companies” yang memasok software, komponen, dan infrastruktur. Perusahaan teknologi informasi, seperti Intel, Cisco, dan Nokia, mendeklarasikan investasi dana multimillion dolar AS untuk mengembangkan teknologi connected cars. Tengok pula Google dengan Android Auto dan Apple dengan CarPlay yang mengembangkan mobil tanpa awak.

Kenyataan ini membuat produsen mobil Ford mewaspadai sepak terjang pendatang baru di bisnis connected cars ini. Pabrikan otomotif sudah barang tentu tidaklah sudi kelak hanya menjadi subordinasi para pendatang baru tersebut. “Para pendatang baru itu berupaya  untuk mengambil bisnis kami, mereka mengolok-olok cara produksi kami dan meruntuhkan tembok kami. Tapi, saya mau meyakinkan bahwa Ford tidak akan berakhir seperti pabrik pembuat handset,” tandas CEO Ford of Motor Co, Mark Fields.

Connected cars barulah satu dari banyak isu yang menjadi agenda besar industri otomotif dunia. Kajian McKinsey dan IHS Markit mereduksi setidaknya ada lima isu besar yang menjadi tantangan yang dihadapi 2020. Pabrikan yang punya strategi transformasi rantai pasokan secara digital berpeluang tetap eksis. Meminjam pernyataan CEO PT Astra International Tbk, Prijono, “unless we changed, we die.”

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: