Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mau Eksis? Sigaplah Membaca Keinginan Pasar!

Mau Eksis? Sigaplah Membaca Keinginan Pasar! Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Banyak sektor industri sibuk menata diri akibat terserang wabah disrupsi digital di era masa kini, begitu pula dengan industri otomotif. Saat ini, pelanggan lebih banyak menggali informasi melalui internet dan media sosial terkait profil dan harga kendaraan roda empat. Setelah itu, barulah pelanggan datang ke dealer untuk melihat wujud asli kendaraan tersebut. Hal yang saat ini membuat pabrikan mobil “kalang kabut” adalah permintaan pasar yang begitu dinamis sehingga menuntut pabrikan untuk sigap dalam membaca keinginan pasar. Hal ini pulalah yang bisa mengubah arah rencana yang sudah ditetapkan perusahaan.

Untuk mengetahui dinamika industri otomotif tersebut, wartawan Warta Ekonomi, Arif Hatta, melakukan wawancara dengan Bapak Warih Andang Tjahjono, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Berikut cuplikan hasil wawancara tersebut. 

Bisa dijelaskan bagaimana kondisi industri otomotif saat ini? 

Saat ini, kompetisi di industri otomotif semakin ketat. Hal ini terlihat dari kapasitas produksi yang bisa mencapai dua juta unit, namun hanya diserap 1,2 juta oleh pasar. Persaingan sangat terasa. Kondisi riil di pasar pertarungan setiap bulannya begitu nyata. Sebelumnya, pertarungan di triwulanan kurang begitu dinamis, tetapi sekarang sangat dinamis. Di sinilah diperlukan fleksibilitas manufaktur. Fleksibilitas yang dimaksud adalah arah pasar yang jelas mau ke mana. Sebagai pabrikan, kami harus bergerak cepat memenuhi keinginan pasar. Misalnya, di area tertentu, model yang diinginkan terkadang berubah di periode berikutnya. Kenyataan ini terkadang membuat apa yang sudah direncanakan bisa berubah.

Bagaimana respons Anda dalam menghadapi situasi dinamis seperti itu?

Saat ini, kecepatan untuk merespons keinginan pasar (pelanggan) menjadi sangat pendek waktunya dibanding di waktu lalu. Untuk itu, internal pabrik harus fleksibel. Misalnya, rencana kerja daily chain, weekly chain, dan monthly chain yang pengaturannya lebih dipercepat lagi. Kalau pasar minta ganti, ya kami harus ganti. Prinsipnya, kami harus merespons dengan cepat. Itulah tantangannya.

Pertarungan ke depan terkait daya saing itu riil sekali. Kalau kita tidak punya struktur harga, kualitas, dan fleksibilitas yang bagus, produk kita dijamin hilang dari pasaran. Itu baru dalam kondisi normal, lho. Bayangkan, dalam kondisi normal saja, persaingan saat ini sudah begitu sulit. Untuk itu, ke depannya kami harus menciptakan lompatan-lompatan pada pembaruan struktur. Dulu, yang namanya lompatan itu ada batas waktunya, seperti dua atau lima tahun sekali. Sekarang, tidak bisa seperti itu lagi. 

Jadi, Toyota cukup ngeri juga dengan pergerakan pasar saat ini?

Iya. Terkadang kami bagus pada satu area tertentu, tetapi kompetitor kami bagus pada area yang lain. Di sinilah kami mesti memeriksa kembali keunggulan dan kelemahan kami dibanding pesaing. Nah, di bagian yang kita kurang bersaing dengan kompetitor harus dikejar. Kalau sampai tahun 2024 tidak bisa mengejar, kita mungkin tidak bisa bersaing. Inilah kenyataan yang kami hadapi saat ini. 

Kenapa tahun 2024?

Begini, pada tahun 2024 mobil hemat energi (fuel efficiency vehicle) mulai masuk ke pasar mobil di dalam negeri. Struktur teknologi dan sebagainya mobil jenis ini akan ikut mendongkrak biaya produksi. Kalau kami tidak bersiap dari sekarang, kami tidak akan bisa bersaing ketika waktunya tiba. Inilah yang sekarang sedang menjadi perhatian kami. Fokus perhatian tertuju kepada keinginan pelanggan. Ketika tiba di 2024, hadir mobil dengan high tech vehicle, tetap saja pelanggan menginginkan harga yang tidak terlalu tinggi. Harga jual mobil itu bisa disiasati. Caranya? Bisa melalui regulasi. Pabrikan berupaya agar biaya produksi tidak naik, produktivitas juga harus bagus. Selain itu, ada insentif dari sisi pemerintah. Jadi, faktor internal dan eksternal sangat menentukan.

Sebenarnya, ancamannya berasal dari industri otomotif atau dari luar industri otomotif?

Sekarang ini, dari luar industri otomotif. Kadang-kadang kita memikirkan apa pembeda antara industri otomotif dan industri di luar otomotif. Kami juga bingung. Misalnya, kalau memiliki inti bisnis yang sama, mungkin industri otomotif yang menjadi ancaman kami. Tetapi kalau tidak dengan sesama industri otomotif, mungkin bisa dilakukan kolaborasi terkait transportasi ke depannya seperti apa. Kalau yang satu bisa pinjam mobil, itu artinya bukan industi otomotif itu sendiri. Dalam banyak kasus, kompetisi itu kadang-kadang berbentuk kompetisi grup. Kalau bicara teknologi, bukan hanya menyoal teknologi otomotif saja, tetapi juga teknologi elektriknya, komputernya (software), energinya, dan konektivitasnya. Jadi, persaingan itu mengarah ke inti bisnis otomotif dan kolaborasinya. Kalau saya melihat dari sisi industri, sebaiknya sesama perusahaan, termasuk perusahaan hightech, melakukan joint venture. Kita tidak punya waktu untuk memulai dari nol, menghabiskan uang dan waktu saja. 

Lalu, bagaimana Toyota mengantisipasi kondisi seperti itu?

Toyota tidak bisa lagi hanya bilang, oh begini… yang menentukan kelangsungan hidup suatu industri itu bukan orang-orang di dalam industri itu sendiri. Terkadang, orang merasa mobilnya bagus, remnya pakem, tetapi sebenarnya tidak boleh bicara seperti itu sebelum pelangganlah yang mengatakannya. Sekarang, kami di TMMIN menyadari adanya keharusan untuk memperhatikan pergerakan permintaan konsumen. Dengan perubahan yang begitu cepat ini, semakin lama kami semakin paham bahwa tidak bisa terlalu percaya diri atas rencana sendiri. Namun, secara periodik, kami terus memantau perkembangan pergerakan pasar.

Menurut Anda, bagaimana pergerakan permintaan pasar otomotif di Indonesia?

Pasar otomotif di Indonesia baru mencapai level 1,2 juta unit per tahun, masih sangat kecil, secara rasio ada di level 90/1000. Artinya, partisipannya baru berada di level 10%. Masih ada peluang untuk menggarap 90% sisanya. Kalau rasio itu bergerak ke level 70%, peluangnya masih besar. Saya memperkirakan pasar otomotif di dalam negeri bisa bergerak ke level tiga juta sampai lima juta unit per tahun suatu saat nanti. 

Kalau bicara jenis mobil apa yang bakal jadi incaran, saat ini, orang masih bicara mobil MPV, tapi belakangan terjadi pergeseran ke arah SUV. Pergerakan di pasar global juga seperti itu. Misalnya, mobil jenis SUV, tapi berisi tujuh penumpang. Selain terus membaca permintaan di pasar dalam negeri, TMMIN juga mencermati pergerakan permintaan di pasar ekspor yang sudah dimasuki perusahaan, seperti Afrika Utara, Maroko, dan pasar Nigeria yang belum tersentuh. Di Asia, baru masuk ke Laos dan Myanmar. Sementara itu, di Amerika Selatan, baru ke Venezuela, Argentina, Chile, dan Peru. Peluang di pasar ekspor masih terbuka lebar, tinggal tergantung kondisi perekonomian global seperti apa.

Jadi, Toyota akan fokus ke mana?

Kalau melihat arah perkembangan ke depan, kami akan fokus ke fuel efficient vehicle dan autonomus cars, meski sepertinya belum untuk pasar Indonesia. Untuk pasar dalam negeri, kami condong ke connectivity dan semi-autonomous. Connectivity yang dimaksud adalah bagaimana mobil menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dikendarai, Anda bisa melakukan apa saja ketika berada di ruang kabin mobil. Misalnya, dari dalam mobil Anda bisa melakukan telekonferensi dengan rekan kantor atau sekadar chatting dengan teman. Selain itu, Anda juga bisa memesan kopi dan panganan sehingga mengendari mobil menjadi sesuatu yang menyenangkan. Nah, connected cars ini merupakan salah satu area yang sedang kita pelajari.

Apakah connected cars masih dalam riset?

Iya, masih dalam riset dan penjajakan kolaborasi-kolaborasi. Connected cars ini ibarat pilihan fitur-fitur yang merupakan upaya untuk memenuhi selera pasar. Sepertinya, akan ada beberapa prototype yang dikeluarkan. 

Bagaimana dengan jenis autonomous cars?

Autonomous cars tetap ada, tetapi saat ini kami masih membicarakan mobil semi-autonomus. Kami percaya bahwa manusia pengendara itu masih tetap memegang kontrol, tetapi memang akan disokong oleh konektivitas dan akan ada integrasi antara vehicle to infrastructure, jadi seperti memiliki asisten saat berkendara. Misalnya, mobil kita akan mengetahui kalau mobil di depan akan berhenti mendadak, maka dia akan memberi tahu kita untuk segera mengerem. Atau, apabila kita selaku pengemudi mendadak mengalami sakit yang membuat konsentrasi menyetir tidak bisa penuh, maka dia akan bantuin untuk mengerem. Atau, apabila ada tabrakan mobil di depan, kita akan langsung diberi tahu agar segera mencari alternatif jalan. Memang, dalam konsep connected cars ada peran manusia yang diambil alih meski tidak banyak, tapi kendali mobil tetap pada sang pengemudi.

Oke, pasar dalam negeri masih sampai di level semi-otomatis, tetapi arah ke depan industri otomotif menuju ke mobil listrik dan fully autonomous, ya?

Pada prinsipnya, industri bergerak mengikut permintaan dari pelanggan. Tetapi, pelanggan itu luas sekali, ada orang seperti saya yang lebih suka mengerem sendiri ketimbang secara otomatis yang mungkin disukai sebagian orang. Untuk masuk ke segmentasi yang mengarah ke level kendaraan automasi, sudah tentu harus ada kolaborasi. Begini, pengembangan vehicle to vehicle infrastructure kalau hanya Toyota saja juga bakal ribet. Pasalnya, di depan kita ada mobil dengan merek lain yang juga harus bersinergi dengan kami. Misalnya, kalau di depan mobil Toyota ada mobil merek lain yang ngerem mendadak, sedangkan sistemnya belum terkoneksi dengan kami, kan repot. Selain itu, perlu juga dipikirkan vehicle to infrastructure (di pemerintah) yang belum ada koneksi. Ambil contoh, koneksi mobil dengan sistem lampu merah. Di Jepang saja tidak semua kota bisa mengaplikasikan autonomous cars, baru ada di kota tertentu saja. Alasannya, infrastruktur harus tertata dengan benar. Misalnya, tiang listrik tidak boleh miring. 

Tetapi, apakah untuk mobil listrik Toyota sudah siap? 

Kalau itu haruslah. Kami tidak bisa lari dari itu. We should join this event, itu saja. Kami sudah menyiapkan kendaraan-kendaraan yang sudah pernah kami eksekusi karena memang mid-term tren otomotif ke arah itu. Setelah itu, barulah ke connected cars dan autonomous cars. Jadi, untuk mid-term ini masih mengarah ke fuel efficient vehicle. 

Kapan mobil listrik ini mulai bergulir? 

Tinggal menunggu waktu saja. Sepertinya dalam waktu dekat regulasi terkait mobil listrik akan keluar. Nah, kalau regulasi keluar, pada 2022 harus sudah menyiapkan pasar, ini juga menyangkut kesiapan rantai pasokan, distribusi, dan pelanggan juga harus dididik. Pemerintah menetapkan, pada 2025 area electrical vehicle mencapai 20%, dan di area lainnya, seperti di Indonesia bagian Timur, masih berupa mobil konvensional. 

Lho, kenapa pelanggan harus diedukasi?

Begini. Mengedukasi pelanggan mengenai mobil automatic transmition (AT) juga butuh waktu yang lama. Pelanggan berkomentar macam-macam. Kalau pakai AT akan mahal biaya servisnya, tetapi begitu pelayanan teknisi bengkel bagus, pola pikir pun berubah. Kami berharap para dealer perlu mempersiapkan diri dengan tenaga bengkel yang handal agar servis mobil listrik tidak sampai memakan waktu satu jam, sedangkan servis mobil konvensional hanya 20 menit. Kalau begitu, orang tidak akan mau membeli mobil listrik. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: