Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Fear of Disruption

Oleh: Yuswohady, Managing Partner, Inventure

Fear of Disruption Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Zaman saya kecil di kampung, cara petani menakut-nakuti dan mengusir burung yang hendak memakan padi di sawah adalah dengan memasang “memedi sawah”, semacam boneka dari jerami dengan kepala dari batok kelapa. Memedi sawah itu biasanya diberi baju dan caping agar menyerupai sosok manusia.

Kini, pada zaman semua serba digital, cara paling ampuh untuk menakut-nakuti pelaku ekonomi dan pebisnis adalah dengan cukup membisikkan satu kata: “disruption”.

Itulah setidaknya yang kita alami selama 12 tahun terakhir. Satu kata ini menjadi momok menakutkan yang beredar di berita media, di postingan blog, tweets, update status di Facebook, atau foto-foto di Instagram yang menghasilkan viral yang merambat cepat, bergentayangan layaknya malaikat pencabut nyawa.

Taksi konvensional bakal bangkrut terkena disruption. Glodok dan Roxi bakal tutup terkena dampak disruption. Matahari dan Ramayana sepi pengunjung karena disruption. Karyawan bank siap terkena PHK massal karena disruption.

Begitu kira-kira bunyi pesan viral yang membuat pelaku ekonomi ketakutan setengah mati. Semua pesan berseliweran ini menghasilkan fenomena yang saya sebut “Fear of Disruption” (FoD).

FoD muncul karena kita takut bisnis kita terkanibalisasi oleh startup seumur jagung, kita gamang kehilangan pekerjaan, atau cemas karena tidak tahu harus berbuat apa. Kian hari ketakutan ini kian dramatis dan mencekam.

Fear Is Contagious

Celakanya, di era media sosial, FoD itu menular dan menyebar begitu cepat dan masif menghasilkan ketakutan dalam besaran dan intensitas yang luar biasa. Tipping point matters! Diawali dengan postingan seseorang di blog atau Facebook mengenai dampak buruk disruption. Misalnya, berita mengenai Glodog dan Roxi yang kian sepi karena konsumen sudah pindah berbelanja ke Tokopedia dan Bukalapak beberapa bulan yang lalu. Dalam ukuran menit, postingan itu menciptakan FoD yang menyebar begitu cepat menjangkau ribuan bahkan jutaan netizen.

Karena berita mengenai FoD selalu seksi, menarik (shareable), dan selalu memicu viral (viralable), maka di hari dan minggu berikutnya netizen mulai berlomba-lomba mengungkap fakta, analisis, atau sekadar obrolan mengenai sisi buruk disruption.

Perlu diingat, netizen memang haus “like” dan “share”. Karena itu, berita apapun yang menarik dan memicu “like” dan “share” akan mereka sebar atau dibikin memenya. Hal yang selanjutnya terjadi, bisa ditebak, yakni mereka berjamaah menebar virus ketakutan, tanpa sedikitpun mereka sadari. Unconsciously, we spread fear of disruption.

Negativity Bias

Kenapa hanya dampak buruk disruption yang viral? Padahal, kita semua tahu bahwa di samping berdampak negatif, digital disruption juga menghasilkan dampak positif berupa layanan yang lebih baik, pemanfaatan sumber daya yang lebih efisien, atau munculnya inovasi-inovasi yang menggerakkan perekonomian secara luas.

Inilah yang disebut “negativity bias”. Kita lebih suka menyebarkan berita buruk ketimbang berita baik. Bad news travel faster than good news. Pesan buruk menyebar berlipat-lipat lebih cepat dibanding pesan baik.

Oleh sebab itu, tak banyak pesan atau berita yang melihat disruption dari sisi positif. Kalaupun ada, tak pernah mampu mencuri perhatian kita. Dampaknya di kalangan pelaku ekonomi sangat impactful: sangat sedikit pebisnis (incumbent) yang melihat disruption dari sisi opportunity. Hampir semua melihatnya sebagai threat yang mengancam keberadaan mereka.

Dengan begitu, negativity bias membentuk stigma di kalangan pelaku ekonomi bahwa disruption adalah bencana korporasi yang luar biasa dan dari sinilah virus FoD mulai terbentuk dan menyebar hebat. 

Confirmation Bias

Ketika di kalangan pelaku ekonomi sudah terbentuk stigma negatif mengenai disruption, keyakinan negatif ini memicu apa yang disebut “confirmation bias”. Confirmation bias adalah tendensi saat kita cenderung membenarkan dan mengonfirmasi sesuatu yang sebelumnya kita yakini. Ketika kita mendapati berita mengenai dampak buruk disruption, kita cenderung menjadikannya sebagai pembenaran bahwa disruption bakal betul-betul menciptakan bencana ketimbang kemanfaatan.

Confirmation bias makin memperdalam proses penciptaan ketakutan. Pada satu titik tertentu, confirmation bias mendorong terjadinya vicious circle of fears, yakni satu pesan ketakutan teramplifikasi secara eksponensial sehingga menghasilkan rentetan ketakutan dalam jumlah dan intensitas yang berlipat-lipat.

Hasilnya, di tengah rundungan ketakutan, para pelaku ekonomi menjadi gamang, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan pegangan, pesimis, bahkan merasa hopeless menghadapi ekonomi yang tidak menentu. Kejadian inilah yang saya sebut "FoD Effect".

FoD Effect kita alami dalam 12 tahun terakhir saat hampir setiap hari kita diterpa berita-berita mengenai bencana disruption yang meluruhkan optimisme dan harapan kita. Ini baru permulaan. Semakin hari, FoD Effect ini akan makin intensif menggerus nyali dan optimisme kita.

Barangkali, karena “FoD Effect” inilah, ekonomi kita seperti “mati suri” selama tiga tahun terakhir: ekonomi terasa lesu; banyak perusahaan tak mampu mencapai target; banyak pelaku bisnis cemas dan pesimis; produsen dan konsumen “wait and see”; muncul dugaan daya beli masyarakat menurun; muncul dugaan terjadinya consumer shifting; masyarakat menyalahkan pemerintah; pemerintah mencari pembenaran dan kambing hitam, dan seterusnya, dan seterusnya.

Fear Is Bad for Us

Apa yang terjadi jika para pebisnis dan pelaku ekonomi dirundung ketakutan di tengah ketidakmenentuan akibat disruption? Bukti-bukti terakhir yang diperoleh dari studi behavioral economics dan neuroscience (antara lain: Park, et.al., 2016 dan Hartley-Phelps, 2012) menghasilkan kesimpulan yang menarik.

Ketika pelaku ekonomi diliputi ketakutan akut, keputusan-keputusan yang mereka ambil cenderung blunder. Mereka cenderung mengambil jalan teraman dengan terus-menerus wait and see alias tak melakukan apa-apa. Mereka enggan mengeksplorasi peluang-peluang dari adanya disruption dan tak mau mengambil risiko untuk menangkap peluang yang muncul (risk aversion). Kalau sikap risk aversion ini terjadi secara massal dan seketika, maka tak heran jika ekonomi seperti mandek.

“Anxiety increases the attention to negative choice options, the likelihood that ambiguous options will be interpreted negatively, and the tendency to avoid potential negative outcomes, even at the cost of missing potential gains,” tulis Hartley-Phelps.

Artinya, di tengah ketakutan dan kecemasan, mereka cenderung melihat gelas sebagai “setengah kosong”, bukannya “setengah penuh”. Mereka menyikapi disruption sebagai threat, bukan opportunity. Mereka merespons disruption secara reaktif, bukan proaktif.

Kondisi ketakutan di tengah disruption juga menciptakan apa yang di kalangan behavioral economist disebut endowment effect, yaitu tendensi orang secara irasional dalam menilai terlalu tinggi sesuatu yang telah dimilikinya. Karena itu, ia mati-matian tak akan melepaskannya (loss aversion).

Para pebisnis mapan (incumbent) tak rela jika perusahaannya digembosi oleh startup digital milik "kids jaman now". Loss aversion yang berlebihan ini menjadikan mereka semakin kalut dan kalap ketika memang mereka sama sekali tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan mengelola disruption.

Begitulah kira-kira gambaran situasi perekonomian kita selama 12 tahun ini: ekonomi melesu layaknya “mati suri”, banyak pelaku ekonomi/pebisnis wait and see sambil takut dan berharap-harap cemas (banyak berdoa tentu), pesimis bahkan hopeless, gamang dan kehilangan pegangan, dan reaktif karena tak tahu harus berbuat apa.

Ketika ketakutan berdampak begitu buruk bagi pelaku ekonomi dan perekonomian secara keseluruhan, pertanyaannya kemudian, apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi spiral ketakutan akibat disruption?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mendengar nasihat kecil dari para behavioral economists dan neuroscientists. Nasihat itu mirip bunyi poster yang dibuat Pemerintah Inggris tahun 1939 untuk memotivasi rakyatnya yang dirundung ketakutan ketika harus mengemban tugas negara berangkat ke Perang Dunia II: “Keep calm and start thinking clearly ... manage disruption smartly”.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: