Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Target Swasembada Beras Tidak Realistis, Ini Alasannya

Target Swasembada Beras Tidak Realistis, Ini Alasannya Kredit Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Warta Ekonomi, Jakarta -

 

Langkah pemerintah yang menargetkan swasembada beras dinilai sudah tidak realistis. Dikatakan tidak realistis karena target ini dicanangkan tanpa memerhatikan perubahan-perubahan yang ada di masyarakat. Selain perubahan, target ini juga dihadapkan pada sejumlah tantangan.

Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi mengatakan, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh berbeda pada saat swasembada tercapai di era pemerintahan Presiden Soeharto. Perubahan-perubahan yang ada antara lain adalah jumlah penduduk yang terus meningkat. Laju pertambahan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat.

"Jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka," kata Hizkia di Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Ia mengatakan beberapa perubahan lainnya yaitu semakin terbatasnya jumlah lahan yang bisa digunakan untuk pertanian. Gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur menggerus lahan-lahan pertanian masyarakat. Hal ini berakibat pada tidak maksimalnya hasil produksi beras, baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi.

"Jumlah petani juga terus berkurang seiring dengan berkurangnya akses mereka terhadap kepemilikan lahan. Selain itu, regenerasi di kalangan petani juga berjalan relatif lambat karena generasi muda tidak tertarik untuk menjadi petani. Belum lagi sistem irigasi yang sangat tergantung dengan air bersih. Air kini juga rentan pencemaran," ungkapnya.

Indonesia memiliki tingkat efisiensi yang rendah pada proses pasca panen. Dari sekitar 57 juta ton padi yang dihasilkan, sekitar 8,5 juta tona (15%) terbuang percuma dalam proses pasca panen. Hal ini diakibatkan berbagai faktor, seperti jauhnya rentang waktu antara panen dengan proses perontokan bulir padi (threshing) dan juga proses pengeringan yang masih tradisional (dijemur) dan belum menggunakan mesin.

Jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam, masing-masing hanya kehilangan sekitar 319.000 ton (Malaysia), 3,9 juta ton (Thailand), dan 4,9 juta ton (Vietnam).

"Penguasaan teknologi di kalangan petani juga belum menjadi sesuatu yang memasyarakat di kalangan mereka. Hal ini tentu membutuhkan waktu," tambah Hizkia.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan diversifikasi. Diversifikasi pangan bisa menjadi pilihan daripada hanya fokus pada satu jenis komoditas pangan saja. Namun, diversifikasi pangan tidak akan terwujud kalau pemerintah tetap menjadikan swasembada sebagai tujuan utama. Hal ini dikarenakan masyarakat akan memilih komoditas yang tersedia dalam jumlah banyak.

Penyediaan pangan, lanjutnya, kini tidak hanya soal memenuhi kebutuhan masyarakat saja. Penyediaan pangan kini juga termasuk bagaimana menyediakan pangan yang bergizi untuk masyarakat dan menciptakan food supply chain yang sustainable untuk masyarakat.

"Food supply chain ini yang masih menjadi masalah di masyarakat. Food supply chain yang ada belum sustainable sehingga seringkali menimbulkan kekisruhan seperti naiknya harga komoditas pangan karena komoditas tersebut tiba-tiba menghilang dari pasaran dan sulit didapat," ujarnya.

Selain diversifikasi pangan, Hizkia juga menjelaskan pentingnya keterlibatan Indonesia dalam mekanisme perdagangan internasional. Perdagangan internasional tetap dibutuhkan, lanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Di saat yang bersamaan, masyarakat juga diarahkan untuk beralih ke makanan alternatif yang terdiversifikasi. Hal ini penting karena Indonesia harus menjadi bagian dari global food market yang terintegrasi.

"Jika Indonesia mengisolasi dirinya sendiri dengan program swasembada yang agresif dan merusak lingkungan maka Indonesia akan merugikan petani dan masyarakat," terangnya.

 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: