Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sepak Terjang 5 Miliuner Asia Tenggara di Bisnis Sepak Bola

Sepak Terjang 5 Miliuner Asia Tenggara di Bisnis Sepak Bola Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bisnis sepak bola menjadi salah satu olahraga yang digemari oleh para miliuner dunia. Bukan hanya gemar sebagai hobi, para miliuner menjadikan sepak bola sebagai ladang bisnis mereka. Dengan memiliki atau membeli klub sepak bola, para pebisnis itu dapat mengeruk keuntungan. 

Kebanyakan klub sepak bola dibeli bersama-sama karena dengan begitu lebih mudah untuk dimiliki. Menjadi bagian dari kepemilikan klub favorit juga semakin mudah seiring dengan beberapa klub yang memutuskan untuk menjual sebagian sahamnya ke publik. Seperti di Jerman, model kepemilikan di Liga Jerman dikenal dengan sebutan 50+1, yang memungkinkan suporter untuk memiliki klubnya dan mencegah terbentuknya kepemilikan tertutup. Kemudian, di Spanyol, terdapat empat klub yang memiliki sistem kepemilikan modal asosiasi. Pemilik klub tidak lain adalah anggota asosiasi klub itu sendiri atau dengan kata lain dimiliki oleh suporter. Para pemilik bahkan memiliki andil untuk memilih presiden klub.

Namun, berbeda di Liga Inggris. Kepemilikan klub umumnya masih dikuasai oleh satu orang atau sekelompok usaha yang bersifat tertutup. Di negara inilah banyak klub yang dimiliki atau diperjualbelikan oleh para miliuner dari berbagai negara, termasuk negara-negara di Asia Tenggara. 

Membeli klub sepak bola memang amat berisiko. Ancaman kerugian akan selalu mendera sepanjang waktu. Contohnya Anton Zingarevich. Iia telah menginvestasikan 25 juta poundsterling, tetapi malah memiliki hutang hingga 38 juta poundsterling dan harus dibayar sesegera mungkin. Penjualan klub dengan harga yang murah bisa diartikan sebagai rasa frustasi sang pebisnis asal Rusia ini. Lalu, bagaimana sepak terjang para pengusaha di Asia Tenggara untuk memiliki klub sepak bola di Eropa? Berikut ulasannya. 

Erick Thohir

Klub bola: Internazionale Milan – Seri A, Italia

Pengusaha Indonesia Erick Thohir adalah bos dari klub besar yang berlaga di Seri A Italia, Internazionale Milan. Erick juga menjadi Presiden Direktur klub tersebut, menggantikan Massimo Moratti setelah mengusai 70% saham La Beneamata pada 2013 dengan harga mencapai 300 juta euro atau sekitar Rp4,5 triliun. Namun, Erick kemudian melepas 40% saham Inter Milan kepada pengusaha Cina, Suning Group, pada Juni 2016 lalu. Meski demikian, Erick masih dipercaya menjadi Presiden Inter Milan hingga saat ini.

Kabar terbaru, Erick mulai mengurangi aktivitasnya bersama klub ini karena sedang fokus dalam penyelenggaraan Asian Games yang akan digelar di Jakarta-Palembang 2018 mendatang. Erick juga akan melepas kembali 30% saham miliknya kepada pemilik pertamanya (Moratti) meskipun kabar tersebut baru-baru ini dibantah oleh Moratti.

Sebenarnya, dari mana Erick mendapatkan uang untuk membeli klub tersebut? Erick, pengusaha media di Indonesia, mengatakan mendapatkan uang tersebut dengan meminjam uang atau berutang kepada bank di luar negeri. Pinjaman itu dia dapatkan karena reputasi dan jaringan yang baik di dunia bisnis internasional. Sebagai seorang pebisnis yang berpengalaman, pemilik Mahaka Group ini melihat bisnis olahraga adalah bisnis yang menguntungkan. Saat menjual kembali saham Inter Milan kepada Suning, dia mengaku mendapat untung besar, karena 40% saham dihargai 270 juta euro atau sekitar Rp4,08 triliun, sementara dia masih memiliki sisa 30% saham.

Tony Fernandez

Klub bola: Queens Park Rangers – Premier, League Inggris

Pengusaha Malaysia pemilik maskapai AirAsia, Tony Fernandez, resmi menjadi pemilik klub sepak bola asal Inggris, Queens Park Rangers (QPR), pada 2011 dengan nilai sekitar 50 juta poundsterling. Dia mengakuisisi 66% saham klub yang bercokol di London Barat itu dari pengusaha baja di Inggris, Lakshmi Mittal, yang menyisakan 33% saham. Tony memutuskan untuk menuntaskan akuisisi saat QPR memastikan berlaga di Premier League setelah absen selama 15 tahun, tepatnya pada Agustus 2011. 

Selama memimpin klub, Fernandes sangat royal menggelontorkan uang untuk mendatangkan pemain-pemain ternama. Hasilnya, dua musim perdana, klub mampu bertahan di klub paling bergengsi di Eropa itu, kendati kesulitan untuk mengumpulkan poin. Inkonsistensi permainan para pemain membuat QPR harus terdegradasi dan kembali bermain di Championship. 

Dikutip dari AFP, kendati demikian, Fernandes tidak menyatakan akan mundur dari klub itu. Dia juga tidak berniat untuk membeli klub yang lebih besar, seperti Liverpool atau Arsenal. Menurutnya, itu seperti membeli keberhasilan orang lain. Dia berharap, klub dengan julukan “The Hoops” itu menjadi sesuatu yang istimewa nantinya. “Dalam waktu 10 atau 12 tahun, jika kami bisa membangun sesuatu, khususnya di QPR, kami melihat ke belakang dan mengatakan ‘Wow’, kami melakukannya,” ujar Tony.

Peter Lim

Klub bola: Valencia – La Liga, Spanyol

Pengusaha asal Singapura, Peter Lim, memastikan menjadi pemilik klub Valencia asal Spanyol pada Mei 2014, dengan menguasai 70,4% saham. Selain menguasai saham klub yang berlaga di La Liga itu, Lim disebut-sebut akan melunasi utang klub yang mencapai 360 juta euro dan berkomitmen menggelontorkan dana mencapai 100 juta euro untuk merampungkan stadion anyar pada 2019 mendatang. Selain itu, Lim juga menyuntikkan dana hingga 60 juta euro di bursa transfer. 

Suntikan dana tersebut diharapkan dapat membantu klub tersebut dalam melewati masa-masa kesulitan finansial. Meski menjadi salah satu klub terbesar di Spanyol, Valencia mengalami kesulitan keuangan dalam lima tahun terakhir. Bahkan untuk bertahan hidup, manajemen harus menjual para pemain top yang dimiliki. Pembangunan stadion baru berkapasitas 61.500 orang juga terhenti sejak 2009. 

Pengusaha yang mengembangkan pusat medis dan Kota Marina ini bukan orang asing dalam bisnis sepak bola. Pada tahun 2010, dia pernah mencoba membeli Liverpool dari tangan Tom Hick dan George Gillett, pemilik Liverpool kala itu, dan pernah bernegosiasi dengan Barbara Berlusconi untuk membeli mayoritas saham AC Milan. Lim berhasil mendapatkan Valencia setelah bersaing dengan empat pengusaha lainnya, termasuk salah satunya adalah orang terkaya dari Cina, Wang Jialin. 

Vichai Srivaddhanaprabha

Klub bola: Leicester City - Premier League, Inggris

Vichai Srivaddhanaprabha, pengusaha asal Thailand pemilik King Power Group, biro perjalanan terbesar di Thailand, memutuskan untuk membeli klub sepak bola Inggris dengan menggelontorkan dana 2 miliar bath pada Agustus 2010. Vichai membeli klub tersebut setelah tiga tahun kesepakatan sponsor baju. Pada 10 Februari 2011, dia ditunjuk sebagai ketua Leicester City. Wakil ketua dijabat oleh putranya, Aiyawatt Srivaddhanaprabha. 

Ia boleh dibilang menjadi pengusaha paling beruntung dalam bisnis sepak bola ini. Bagaimana tidak, dia sejatinya tidak mengerti tentang sepak bola. Dia membeli klub tersebut untuk memenuhi keinginan anaknya yang sangat gila bola, tetapi keberuntungan menghampirinya. Ketika klub miliknya promosi ke Liga Primer di musim 2014/2015, saat itu juga klub menjuarai liga. 

Baru-baru ini, ia juga mengambil alih sebuah klub divisi dua kompetisi sepak bola Belgia, Oud-Heverlee Leuven. Dia mendapatkan klub tersebut setelah menjadi satu-satunya pihak yang mengajukan proposal atas tawaran investasi dari dewan direksi klub tersebut. Kendati memiliki klub baru, miliuner Thailand ini menjamin tidak akan memengaruhi dukungan terhadap Leicester City. 

Vincent Tan

Klub bola: Cardiff City (Wales – Championship, Inggris)

Pengusaha asal Malaysia pemilik Berjaya Corporation Berhad, Vincent Tan, menjadi pemilik Klub Cardiff City yang berkompetisi di kasta kedua Championship Liga Inggris. Vincent memiliki klub tersebut sejak tahun 2010, bersama konsorsium investor dengan membeli 30% saham Cardiff, dan bertambah 51% tak lama berselang. Vincent harus mengeluarkan dana hingga 170 juta poundsterling untuk memiliki klub tersebut. 

Ia mengaku tak menyangka akan berinvestasi hingga sebesar itu. Awalnya, dia hanya mengeluarkan 20 juta poundsterling, tetapi kemudian dia siap menanamkan uang lebih banyak lagi ketika keinginannya untuk mengganti warna seragam tim dari biru menjadi merah disetujui. Namun, penggantian warna kebanggaan biru menjadi merah itu rupanya menimbulkan kontroversi dan membuat pecinta Cardiff marah. Di tahun 2015, warna kebanggaan tersebut kembali lagi. 

Di bawah kepemilikannya, pada musim 2013/2014 lalu, Cardiff berhasil promosi ke kancah Premier League setelah menjadi juara Championship di musim sebelumnya. Sayangnya, hanya bertahan satu musim, kemudian mereka kembali ke Championship. Di bawah kepemilikan Tan, Cardiff berhasil meningkatkan kapasitas stadion dan membangun tempat pelatihan baru.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: