Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jahja Setiaatmadja: Generasi X Berjiwa Milenial

Jahja Setiaatmadja: Generasi X Berjiwa Milenial Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Digitalisasi telah merangsek masuk ke berbagai sektor industri, termasuk ke industri keuangan. Pelaku industri dituntut untuk beradaptasi mengikuti perkembangan digital agar tidak terlindas oleh perubahan yang terjadi.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, dengan piawai mampu menahkodai BCA mengarungi gempuran gelombang disruptif. Berasal dari generasi baby boomers, bukan jadi persoalan bagi Jahja untuk bersaing di era disrupsi digital.

Berikut kutipan lengkap wawancara Chief Editor Warta Ekonomi, Muhamad Ihsan, bersama Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja.

Berkaitan dengan digital disruption, apa maksud pernyataan Anda bahwa tak masalah generasi X karena yang penting adalah pemikiran?

Saya mengamati perkembangan digital economy. Beberapa kali, teman-teman bilang bahwa digital economy hanya milik generasi milenial. Saya penasaran. Kemudian, dengan akun samaran, saya mencoba mencari tahu tentang generasi milenial. Saya mencari tahu bukan hanya melalui Facebook dan Instagram, tetapi juga Path, Line, dan Telegram.

Setelah itu, saya dalami lagi dengan memperhatikan aplikasi-aplikasi yang tersedia di App Store dan Google Play Store. Nah, saya pelajari keinginan mereka, baik berupa game ataupun penayangan-penayangan langsung yang menyangkut membership mereka.

Dari situ, saya tahu gap antara generasi milenial dengan generasi baby boomers ataupun generasi X hanyalah masalah: kita mau mendalami ini atau tidak? Kita mau melengkapi software kita atau tidak? Kalau secara hardware, getting older, tidak bisa lari maraton atau lari sprint seperti anak muda. Forget it. Tetapi, kalau secara software justru generasi baby boomers dan generasi X ini memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dibanding generasi milenial. Orang yang sudah hidup selama 50 tahun tentu memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan orang yang hidup selama 20 tahun.

Kedua, wise. Setiap orang dianugerahi kebijaksanaan yang tidak bisa dimiliki oleh mesin. Hal ini kalau diramu dengan knowledge ibarat tentara. Setiap tentara dapat dilatih secara fisik untuk menjadi tentara pilihan lalu dibekali dengan persenjataan. Dengan demikian, tentara tersebut dapat menang saat bertempur. Itu lebih baik daripada dibekali persenjataan yang canggih, tetapi fisiknya sudah letoy. Ataupun sebaliknya, fisiknya sudah kuat, tetapi hanya dibekali senjata anak panah. Tentu akan kalah, bahkan mati di peperangan.

Dasar misi saya adalah mengajak generasi baby boomers dan generasi X yang ingin maju, yakni harus pintar secara pengetahuan. Tujuannya supaya turut merasakan kemudahan digital. 

CEO lain cukup puas sudah punya online, sedangkan Anda masuk sangat dalam. Bagaimana caranya? 

Saya pernah bilang: kalau kita dengar, kita akan lupa. Kalau kita lihat, kita ingat. Kalau kita kerjakan, tidak akan terlupakan sampai kita mati. Misalnya, kita bandingkan antara Borders yang bangkrut dengan Amazon. Keduanya sama-sama bergerak dalam bisnis penjualan buku. Borders membangun hanya secara fisik lalu dengan bangga membuat website dan berkata: gue udah online.

Sementara itu, Amazon mencoba mengolah database dengan teknologi sehingga tahu persis kondisi pasar. Misalnya, oh ternyata di daerah ini jenis buku yang laku adalah buku ini. Ibaratnya, Amazon seperti nelayan yang tahu persis tempat berkumpulnya ikan, sedangkan Borders ke laut berbekal perahu dan pancing tanpa tahu tempat berkumpulnya ikan.

Pendeknya, CEO yang hanya bangga punya online tetapi tidak mendalami produknya, tentu kurang bagus. Solusinya adalah harus mengenal, mengetahui, dan mencoba produk kita sendiri. Kalau tidak mencoba, kita tidak akan tahu kelemahan produk tersebut. Saya sudah buktikan setelah mencoba tiga sampai empat kali. Setelah mencoba produk, saya menemukan kelemahan. Kalau tidak mencoba, saya cukup bangga. Padahal, saya tidak tahu kelemahan produk saya sendiri. 

Contoh yang saya ingat adalah saat mencoba layanan credit card. Kami sudah siapkan sistem untuk credit card, yakni bisa apply langsung secara online apabila ingin tambah plafon. Saya coba, tetapi ada masalah. Saya menurunkan plafon kredit tidak bisa. Saya cuma bisa menaikkan plafon, tetapi bisa menurunkan. Misal, nasabah pergi ke luar negeri, mau belanja, plafon kredit dinaikkan. Kalau sudah pulang, tinggal bayar saja dan tidak perlu lagi limit tinggi-tinggi. Nah, itu tidak ada penurun plafon kredit. 

Contoh kedua, teman-teman bilang ada mutasi credit card melalui internet. Saya mencobanya, tetapi menunya sulit ketemu. Ternyata, pilihan menunya ditampilkan sangat kecil di bagian pojok kiri sehingga sulit terlihat. Kalau saya tidak coba, saya tidak akan tahu. Selain itu, Sakuku juga tidak ada petunjuk top up sehingga menyulitkan customers. Nah, masalah-masalah seperti itu tidak akan ketahuan kalau kita tidak mencoba produk kita sendiri.

Saat ini BCA merupakan pemimpin pasar, apa yang memotivasi Anda untuk masuk ke digital disruption padahal tidak sedang dalam bahaya?

Kita mengenal Kodak Film, Fuji Film, ataupun berbagai produk lain yang masa jayanya sudah unbeatable. Namun, perubahan zaman dan perubahan teknologi, mau tidak mau, mendorong kita selalu mencari wawasan baru. Nah, inilah suatu perubahan. Demikian juga proses layanan bank, mulai dari teller, ATM, internet banking, sampai ada digital gadget, dan mobile apps. Di tengah perubahan tersebut, kalau kita tetap pada posisi keunggulan BCA, kita akan semakin mantap memasuki pasar. 

Sekarang saya singgung mengenai fintech. Menurut hemat saya, fintech mencari tiga hal utama. Pertama, produknya harus luar biasa dan kreatif. Kedua, perlu trust. Ketiga, perlu critical mass. Produk luar biasa bagus, tapi orang tidak percaya sehingga sedikit yang menggunakan berarti termasuk ke dalam produk tak layak.

Kenapa Go-Jek berani meluaskan pasar dulu? Semua tahu bahwa operasional Go-Jek setiap bulan rugi ratusan miliar rupiah, tetapi masih ada investor berani masuk karena melihat pergerakan selama ini yang "bakar uang" adalah awal dari suatu investasi ke depan di mana mereka membuat critical mass. Supir Go-Jek saja sudah berjumlah 200.000 lebih, bayangkan jumlah customer-nya.

Modalnya adalah kepercayaan dan pelayanan yang bagus. Nah, ini juga kita pelajari, yakni cara mereka me-reward performance para driver yang ditentukan oleh rating para customers. Saya juga baru tahu bahwa driver juga me-rating customers. Kalau customers pesan Gojek lalu susah dapat driver, harus evaluasi diri.

Jadi, kuncinya harus punya critical mass, trust, dan service. Kalau tiga hal itu sudah terpenuhi, kemudian baru produk yang sophisticated. BCA sudah punya jutaan critical mass dan trust. Untuk produk, tinggal coba-coba antara develop sendiri atau bisa copy paste. Produk mengikuti produk lain itu sudah biasa. Malah, kita bisa menghemat research and development. Kita hanya perlu memoles lebih halus. Based on that, saya pikir BCA sudah punya segala-galanya. Kalau BCA terlena dan tidak melakukan perubahan maka one day kita akan mati. Lalu orang lain yang akan menempati posisi kita sekarang. 

Apakah kebiasaan Anda untuk mencari hal-hal baru didukung oleh tim? 

Saya sangat didukung oleh tim, seperti tim IT dan tim pemasaran. Kadang saya juga melakukan pertemuan informal di segala lapisan untuk menerima masukan-masukan yang bersifat positif.

Sayangnya, tidak semua orang suka perubahan. Apalagi, kalau orang-orang yang secara struktural berada di atas dan tidak melakukan perubahan, biasanya, orang-orang di bawah juga akan semakin malas. Ibaratnya kalau kita doing nothing maka BCA tiga tahun ke depan tidak akan mati. Akan tetapi, lima atau sepuluh tahun ke depan, BCA akan disusul oleh kompetitor. Oleh karena itu, teman-teman harus terus bergerak dan berani melakukan perubahan.

Dengan banyak disruption seperti ini, apakah Anda melakukan perubahan di organisasi?

Secara umum, work flow di kantor pusat. Digital adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Contohnya seperti penggunaan kartu tap untuk jalan tol sehingga banyak tenaga kerja yang bisa di-save. Apakah hal itu bisa dihindarkan? Tidak bisa. Tinggal kita mau maju atau tidak.

Digital akan memberikan kecepatan transaksi dan penggunaan tenaga kerja akan berkurang. Tetapi, untuk relationship ke customer tidak mungkin dihilangkan karena kami punya jutaan customers sehingga selalu ada saja pekerjaan. Jadi, setiap orang harus siap untuk berubah, misalnya yang bekerja di back office suatu ketika harus siap melayani customers. Nah, itu juga bentuk perubahan. 

Sementara itu, perubahan organisasi lebih mengarah pada sistem kerja. Dulu, saat memprogram suatu aplikasi di komputer modelnya waterfall. Kita akan menyelesaikan dulu lalu bertanya pendapat orang bisnis: apakah sudah bagus? Kalau belum, berarti harus diubah lagi. Jadi, sistemnya adalah menyelesaikan suatu pekerjaan sebelum dicek. 

Sudah sekitar dua tahun, kita mengubah kebiasaan itu. Kita membuat satu tim beranggotakan 5-10 orang dan terdiri atas orang IT, orang bisnis, bahkan terkadang dari SDM, untuk langsung mendiskusikan suatu program. Dulu, pembuatan suatu program membutuhkan waktu sekitar 16 bulan, tetapi sekarang bisa diselesaikan dalam satu minggu.

Kenapa kami bisa berani seperti itu? Awal pemikiran saya dulu adalah BCA memiliki nasabah yang banyak dan luas. Kalau ingin berubah, pakai sistem waterfall. Harus diterapkan sekaligus.

Kalau sekarang, hampir mendekati blockchain jadi kita bisa sentralisasi sebagai tes. Misalnya, kita punya 15 juta customers maka kita tes 100 ribu orang dulu. Kita melihat feedback ataupun komplain mereka. Apabila sudah sempurna dan tidak ada kendala, perubahan itu kemudian diperluas.

Anda pernah bilang bahwa untuk mengejar pasar milenial dibutuhkan tenaga kerja milenial. Berapa persentasi tenaga kerja milenial di BCA? 

Untuk tenaga kerja milenial di BCA, saya tidak punya angka persisnya. Saya memprediksi penambahan tenaga kerja milenial akan cepat dalam lima tahun ke depan. Saya punya data orang yang akan pensiun. Prinsipnya, saya tidak mau menambah karyawan baru tetapi kalau replacement harus. Misalnya, orang yang keluar bejumlah 10 maka replacement kita batasi lima saja. saya pikir jumlah generasi milenial 40-45%, tapi ini akan lebih cepat dalam lima tahun ke depan.

Perubahan di level senior tetap harus ada. Mereka merupakan senior, tetapi akan sangat bagus apabila senior mulai mau turun ke bawah dan memutus prosedur-prosedur yang tidak perlu. Saya tidak bisa katakan tidak ada konflik. Pasti antardivisi, antarwilayah, antarcabang tetap ada problem. Problem bisa muncul dari sikap individu. Nah, itulah PR kita bersama untuk melakukan yang lebih baik secara bersama-sama.

Apabila saya turun, saya selalu punya dua sesi. Sesi pertama untuk para pimpinan. Sementara itu, sesi kedua untuk menengok back office, front office, ataupun bagian-bagian supporting departement. Saya tidak pernah menanyakan pekerjaan, tetapi lebih banyak mengobrol santai dan mengajak foto. Tujuannya adalah untuk membuat happy.

Bagaimana dengan yang tidak mau berubah? Diapakan?

Kita tidak pernah memaksa mereka untuk berubah karena kurang bagus dampaknya. Kami punya sistem KPI yang sudah disesuaikan dengan sistem baru. Kami memiliki semacam mystery shopping, tetapi pakai independent party. Kita pernah mencoba melatih sesuai sistem, tetapi mereka kurang suka karena terlalu kaku.

Dari situ kita bangun juga kompetisi. Sebab itu kita ada BCA Award. Lalu yang terbaik akan diberi reward, misalnya dikirim ke luar negeri. Jadi, ini meng-encourage untuk berusaha kalau tidak mau ketinggalan.

Bagaimana pendapat Anda mengenai bitcoin? 

Saya berpikirnya secara fundamental. Kita ambil contoh barang tambang, yakni emas. Emas punya dua jenis, yakni emas fisik dan paper gold. Dua-duanya bisa digunakan untuk investasi dan spekulasi. Tapi, so far, belum dipakai sebagai payment. Sekarang kalau jualan saham pasti ada fundamental. misal omzet terus naik, profitabilitas bagus, itu membuktikan saham bagus. Jadi, segala sesuatu yang diperdagangkan harus ada prinsip fundamental.

Kalau bitcoin, dari segi harga terus naik turun. Sekarang ini, pengguna bitcoin semakin banyak, tetapi catatannya adalah: sebagai apa? Investorkah? Atau penambang yang meng-create? Sejauh ini, bitcoin belum digunakan sebagai alat pembayaran, misalnya kita bisa beli mobil menggunakan bitcoin. Namun, sorry to say, bitcoin malah biasanya digunakan untuk perdagangan senjata gelap, terorisme, atau narkoba, malah marak. Artinya, ada orang-orang yang menggunakan bitcoin, tetapi bukan dari kalangan bisnis umum.

Salah satu alasanya adalah harga bitcoin yang besifat fluktuatif. Dengan demikian, memungkinkan adanya kehilangan value sebaliknya bisa untung. Sangat spekulatif. Hal-hal seperti itulah yang tidak diinginkan oleh pengusaha karena pengusaha yang murni hanya menginginkan hal-hal yang bersifat pasti.  Menurut saya, bitcoin akan sulit diterima sebagai alat pembayaran transaksi normal.

Kalau cryptocurrency?

Prinsipnya sama. Kondisi tersebut berbeda dengan, misalnya, BCA reward, yakni poin untuk pengguna kartu kredit BCA. Poin tersebut bernilai one to one dengan rupiah. Poin tersebut dapat ditukar di toko-toko tertentu, semisal Gramedia. Reward tersebut dapat digunakan karena memiliki fungsi sama dengan alat pembayaran. 

Kalau komparasinya seperti itu, yakni ada satu dasar, tentu masih bisa digunakan. Namun, apabila BCA Reward berubah-ubah harganya, orang tentu akan berpikir dua kali. Crypto itu ada benchmarking ke satu fundamental atau tidak? Kalau ada, mungkin bisa.

Kenapa jumlah pengguna bitcoin semakin banyak? Kenapa orang-orang sepert Bill Gates dan Richard Branson meramalkan bitcoin akan menjadi alat pembayaran?

Kira-kira empat bulan lalu, saya ke Eropa dan bertemu dengan para bankers dari berbagai negara yang salah satu materi pembahasan adalah cryptocurrency. Saya menyampaikan suatu argumentasi. Misalnya, di suatu negara yang menggunakan mata uang euro, seorang nasabah membeli bitcoin atau cryptocurrency dalam dolar AS lalu menyimpan dalam bentuk deposito di bank. Namun, nasabah tidak ingin bitcoin tersebut dinilai dalam euro value-nya karena mereka menginginkan harga naik dengan wujudnya tetap sebagai bitcoin. 

Sementara itu, pihak bank akan kesulitan mendapat profit apabila tidak dapat melepas bitcoin, misalnya tidak menemukan nasabah yang bersedia meminjam dalam bentuk bitcoin. Bank punya prinsip untuk tidak berspekulasi. Entah nilai bitcoin sedang naik atau turun, bank harus mengembalikan dalam bentuk bitcoin. Kalau saya tidak bisa mencari musuhnya dan dapat margin, profit saya dari mana? Bisalah memungut fee, tapi kecil sekali dibandingkan risikonya.

Kalau sekarang saya kelebihan likuiditas, saya bisa menempatkan di Bank Indonesia, di SBI. Lah, kalau cryptocurrency saya mau menempatkan di mana? Taruh bitcoin lagi? Jadi, secara teoretis, kalau bank menerima bitcoin nanti neraca akan naik turun sesuai harga bictoin. Kalau bitcoin naik, kita rugi besar. Kita tidak bisa hedging. Kalau dia lagi turun, kita untung besar juga.

Sebagai bankir, bagaimana masa depan pengguna bitcoin?

Pengguna bitcoin akan tetap ada. Ibaratnya seperti perdagangan narkoba. Sejauh ini, belum ada negara yang melegalkan perdagangan narkoba, tetapi selalu ada yang menjual dan membeli narkoba. 

Persoalannya adalah sikap bank sentral, apakah mereka akan melegalkan atau tidak. Kalau misal iya, kemungkinannya ada dua, yakni sebagai investment tools atau sebagai payment. Harus dibedakan. Kalau sebagai investment tools only, tidak apa-apa. Tetapi, bank yang terima itu mau place di mana? Saya belum kepikiran.

Kan, bank ada unsur spekulasi juga. Anda masih ingat investment bank jatuh jungkir balik karena apa? Apa yang terjadi? Hancur semua.

Menurut Anda, bitcoin ponzi atau bukan?

Sebenarnya, ini bukan ponzi. Ponzi berkaitan dengan satu orang yang memonitor dan akan menjatuhkan pada saat-saat tertentu. Nah, ini tidak diketahui. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa bitcoin berjumlah 21 juta, hari ini ada 10 juta, besok ada 5 juta, dan seterusnya. 

Kedua kalau mau diperdagangkan, tidak boleh ada pembatasan di jumlah tertentu. Misalnya saja, mata uang karena ada inflasi. Kalau itu yang terjadi maka bitcoin akan menjadi investment tools, bukan sebagai alat pembayaran. Kalau untuk investment tools only, saya setuju bisa dipakai untuk itu. Berisiko? Pasti. Investasi saham saja berisiko. Dijamin untung? Tidak.

Sebagai payment? Tidak tahu. Bisa saja saya salah. Kalau sebagai negara dengan mata uang bitcoin, bisa. Tapi harus ada border seperti negara bayangan. Kalau sudah mendunia dan jadi common practice nanti bisa saja. Orang ke Alfamart pakai bitcoin.

Tapi, proses sekarang tidak semudah yang kita pikirkan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: