Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menguak Rahasia Sukses CEO XL Axiata Dian Siswarini

Menguak Rahasia Sukses CEO XL Axiata Dian Siswarini Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tidak hanya sukses membesarkan perusahaan, CEO XL Axiata Dian Siswarini juga dikenal berhasil berperan sebagai seorang ibu dan istri bagi suami dan anak-anaknya. Bagaimana cara Dian Siswarini agar berhasil di kehidupan rumah tangga dan juga karier?

Redaksi Warta Ekonomi yang terdiri atas reporter Annisa Nurfitriyani dan Ratih Rahayu serta fotografer Sufri Yuliardi berkesempatan untuk mewawancarai Dian Siswarini di markas baru XL Axiata di bilangan Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Berikut ini kutipan lengkap wawancara Warta Ekonomi dengan CEO XL Axiata Dian Siswarini.

Bagaimana perjalanan karier Anda hingga menjadi seorang CEO?

Saya lulus pada tahun 1991 dari ITB dengan jurusan telekomunikasi. Saat itu saya bertekad untuk bekerja di bidang telekomunikasi. Setelah lulus saya bekerja di perusahaan telekomunikasi satelit, namanya PT Citra San Makmur. Saya bekerja di sana sekitar tiga tahun lalu keluar sekitar tahun 1993 karena menikah dengan manager saya.

Pada tahun 1994, GSM mulai booming di Asia. Kalau di Eropa, GSM sudah terlebih dahulu booming sekitar tahun 1991 dan 1992. Lalu, GSM mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1994, dimulai oleh Satelindo. Pada tahun 1994 itulah, saya pindah ke Satelindo yang saat ini menjadi Indosat. Saat itu saya berpikir: wah, GSM ini akan menjadi teknologi masa depan. Saya bekerja di Satelindo selama dua tahun.

Pada Agustus 1996, saya masuk ke XL sebagai radio network design engineer. Posisi saya saat itu sama seperti saat bekerja di Satelindo. Tugas radio network design engineer adalah menentukan posisi network, yakni posisi untuk membangun tower. Misalnya, kalau ingin meg-cover Jakarta, dengan daerah seluas Jakarta maka kira-kira harus ada berapa banyak tower dan ada di mana saja posisi tower.

Pada sekitar tahun 1995-1996 teknologi belum sehebat seperti saat ini. Pekerjaan sebagai seorang radio network design engineer mengharuskan saya untuk naik tower, walaupun saya seorang perempuan. Kalau sekarang, hal tersebut sudah bisa digantikan dengan simulator. Untuk menghubungkan gedung sebelah sini dengan sebelah sana, saat ini sudah tidak perlu melihat dengan mata apakah terhalang atau tidak.

Setelah setahun bekerja, saya diangkat menjadi seorang manager pada tahun 1997. Kemudian, secara bertahap saya terus naik jabatan mulai dari manager engineering hingga vice president. Sampai akhirnya pada tahun 2007 saya diangkat menjadi salah satu direktur, yakni director of network services.

Setelah tahun 2007, bos saya mengatakan ke saya: bila ingin move up ke level yang lebih tinggi harus pegang yang lain, tidak bisa di bagian network saja karena akan mentok di situ. Jadi, pada tahun 2012 saya diminta untuk memegang digital service.

Saat itu, digital service masih terbilang baru sehingga saya harus banyak belajar secara mandiri. Digital service artinya saya bertugas untuk membangun new business di luar core business XL. Saya dibantu oleh grup untuk merancang produk yang cocok bagi digital business. Dari situ, lahirlah Elevania. That was my baby. Kemudian, muncul digital advertising yang kita sebut AdReach; digital money dengan XL Tunai; cloud business; hingga data center business.

Setelah itu, bos saya bilang: kalau kamu ingin lebih berkembang maka tidak bisa hanya jadi jago kandang. You need to move to headquarter regional. Makanya, pada tahun 2014 saya pindah ke Axiata Group di Malaysia. Saya menjadi group chief of marketing and operation officer yang bertugas untuk mengecek subsidiaries di berbagai negara, yakni Bangladesh, Sri Lanka, Kamboja, Malaysia, Indonesia, Singapura, Nepal, dan India.

Di sana, saya belajar mengenai perkembangan market. Saya beruntung karena di Axiata Group ada berbagai jenis market. Ada market yang ahead of us, seperti Singapura dan Malaysia. Ada market yang mirip dengan kita, seperti Sri Lanka. Ada juga market yang berada di belakang kita, seperti Bangladesh dan Kamboja. Dari situ saya bisa memahami bahwa pattern telekomunikasi selalu sama, tetapi timing-nya berbeda.

Singapura biasanya jauh lebih cepat. Malaysia sekitar satu atau dua tahun lebih cepat dibandingkan Indonesia. Setelah itu, satu atau dua tahun kemudian Indonesia lebih dulu dari Sri Lanka. Apa yang terjadi pada satu atau dua tahun lalu di Malaysia, kini terjadi di kita.

Sekitar awal tahun 2015 saya dipanggil pulang ke Indonesia untuk menjadi Deputi CEO. Pada April 2015, saya menjadi CEO XL sampai sekarang. Nah, itulah perjalanan karier saya.

Salah satu kunci sukses Anda adalah berani keluar dari zona nyaman. Selain itu, apa lagi kunci sukses Anda?

Saya memiliki kebiasaan untuk merencanakan segala sesuatu. Setiap orang harus memiliki planning terhadap perjalanan karier sendiri sehingga tidak boleh menggantungkan nasib pada perusahaan. Jadi, sejak awal saya selalu punya rencana: oh tahun ini saya harus sampai zonz ini. Tahun ini saya harus sampai zona ini dan begitu seterusnya. We have to discipline in doing that.

Kemudian kita tidak bisa maju kalau tidak mau belajar. Salah satu kunci kesuksesan adalah continuous learning. Belajar itu tidak harus di kelas atau di training center dan juga tidak harus selalu kepada para ahli. Belajar dapat juga: we learn from you, you learn from me as well. Sekarang ini, saya justru lebih banyak belajar dari para milenial yang baru masuk XL. I learn many things from them.

Continuously, persistence, discipline, time management. Itulah poin-poin penting untuk mencapai puncak kesuksesan. Tentu menerapkan semua itu tidak mudah. Apalagi kita semua juga memiliki keluarga di rumah. Adapun, saya memiliki banyak peran baik sebagai seorang ibu, sebagai seorang istri, sebagai seorang anak, dan peran-peran lain di pekerjaan.

Kemudian saya sadar bahwa bisa mencapai posisi CEO di XL Axiata adalah atas izin Tuhan. Meski demikian, kesempatan harus diciptakan karena peluang tidak akan datang secara tiba-tiba. Saat kesempatan datang, tentu tidak boleh disia-siakan karena hal tersebut tidak datang dua kali. 

Oleh karena itu, saat di-challenge untuk masuk ke digital service maka saya tidak berpikir dua kali. Padahal, sewaktu menjadi direktur network services, saya memiliki 1.000 anak buah lalu tiba-tiba masuk ke digital service dan tidak punya siapa-siapa. Kalau demotivasi, tentu hal itu akan membuat diri saya down. Tapi, saya justru menjadikannya sebagai sebuah tantangan.

Cuma, hal yang paling sulit adalah saat ditantang ke luar negeri karena harus meninggalkan keluarga. Namun, setelah berdiskusi dengan keluarga dan anak-anak, mereka justru mendukung saya. Saat itu saya janji untuk pulang setiap minggu atau keluarga yang mengunjungi saya ke Malaysia. Alhamdulillah, saya punya supporting system yang bagus, yakni keluarga. Wanita karier tanpa supporting system yang bagus akan sulit. 

Apa yang Anda lakukan bersama keluarga di sela-sela kesibukan sebagai seorang CEO?

Menghabiskan waktu bersama keluarga itu penting sekali. Sebelum jadi CEO, saya tidak tahu kalau tugas CEO itu sangat berat. Saat ada masalah yang sampai ke saya, itu berarti tidak ada orang di bawah yang bisa menyelesaikan masalah tersebut. Jadi, saya adalah eskalasi terakhir. Jadi, ini adalah beban dan amanat yang berat.

Bagi saya, keluarga adalah kesempatan untuk melakukan relaksasi, untuk melepaskan stres yang dialami di pekerjaan. Celaka, kalau di pekerjaan stres dan di rumah juga stres. Jadi, home is like heaven and spa. Kebetulan, saya dan suami memiliki hobi olahraga yang sama, yakni golf. Anak-anak sewaktu kecil juga sering bermain golf. Nah, kami biasa melakukan hobi secara bersama-sama. 

Kemudian, saya dengan anak yang kecil punya hobi yang sama, yakni spa. Sejak umur delapan tahun, anak saya sudah suka spa. Sekarang dia sudah berumur 14 tahun. Saya dan dia suka spa atau refleksi pada hari Minggu. Kita sekeluarga juga suka travelling. Itu juga bagian dari cara mewujudkan balance antara kehidupan kantor yang intens dengan relaksasi bersama keluarga.

Kuncinya adalah kita harus memiliki kegiatan yang bisa dilakukan bersama. Misalnya lagi, saya dan anak saya memiliki hobi nonton. Setiap malam Minggu, sekitar jam 21:00-22:00, kami pasti nonton. Apalagi saat ini, menonton sudah sangat mudah dan nyaman karena ada Premiere. Kami tinggal duduk dengan selimut, walaupun seringnya saya bilang ke anak: bangunin kalau film sudah mau selesai.

Jadi, itulah balance of life-nya, yakni melalui olahraga dengan mereka dan melakukan hobi bersama. Kebetulan, di rumah, kami senang pingpong dan memiliki mejanya di rumah. So, we create togetherness dari semua kegiatan itu.

Ke mana Anda biasa travelling bersama keluarga?

Kalau travelling jarak dekat, biasanya, ke Bandung. Kalau travelling jarak jauh biasanya direncanakan setahun dua kali: ke dalam negeri dan ke luar negeri. Kalau di dalam negeri, kita pernah ke Laboan Bajo, Lombok, Bali, dan terakhir ke Danau Toba. Travelling di dalam negeri kita lakukan pada saat mid year.

Kalau akhir tahun, biasanya kita ke luar negeri. Kita pergi hampir ke semua benua sampai Afrika. Kita ke Afrika sekitar dua tahun lalu. Jadi, sudah hampir semua benua didatangi karena kita memang doyan travelling.

Apakah anak-anak Anda selalu ikut saat travelling ke luar negeri?

Iya, kami selalu pergi bersama dengan anak-anak. Hal yang menariknya adalah masing-masing anak saya memiliki jeda lima tahun sehingga memiliki interest yang berbeda. Jadi, kalau mau pergi, kami kocok undian. Sekarang, apa temanya? Misal, anak laki-laki saya suka sepak bola. Saya bilang: sekarang temanya sepak bola jadi kita datangi semua stadion bola di Eropa. Akhirnya, kita mendatangi Old Trafford, Anfield, dan San Siro.

Kemudian, anak perempuan saya suka menonton opera dan mengunjungi museum art. Anak yang paling kecil sukanya hiking. Jadi, tema liburan menyesuaikan dengan hobi masing-masing anggota keluarga.

Jika ditanya, membesarkan anak atau membesarkan perusahaan? Anda pilih mana?

Alhamdulillah, karena punya supporting system, hanya sekali saya berada di crossroad bahwa saya harus memilih di antara dua pilihan tersebut. Itu sudah lama sekali, yakni saat anak kedua saya didiagnosis autis sehingga perlu terapi. Saya harus pilih antara bekerja atau mendampingi proses recovery anak saya. Kemudian, karena keluarga besar mendukung jadi alhamdulillah semua terapi dapat berjalan baik sampai dia menjadi fully recover. Kami bisa berkomunikasi dengan baik dan dia bisa sekolah dengan baik.

Kalau benar-benar harus memilih, tentu pilihan saya akan jatuh ke keluarga. Istilahnya: blood is more thicker than whatever. Kalau saya berada di crossroad dan harus memilih antara menjadi seorang CEO atau menjadi seorang ibu, tentu saya memilih menjadi seorang ibu. Tapi, kalau bisa melakukan keduanya, saya akan berupaya maksimal untuk menjalaninya.

Menurut saya, bohong kalau ada yang mengatakan: tidak penting kuantitas pertemuan dengan anak karena yang penting adalah kualitas pertemuan. Bagi saya, kuantitas itu juga penting. Dalam kondisi sekarang adalah bagaimana cara kita untuk mengatasi hal tersebut. Kuantitas dan kualitas sama-sama penting. Hal yang harus dimiliki adalah supporting function. Pada saat tidak bisa bersama mereka, kita harus siapkan backup plan. Misalnya, saya dan suami selalu bergantian untuk mengambil rapor anak.

Asisten di rumah juga membantu untuk mengingatkan anak-anak mematuhi jadwal yang sudah dibuat, misal jadwal les.Nah, semua itu, harus direncanakan. Jadi, sama seperti running a company. Di rumah juga harus ada jadwal dan dipatuhi secara disiplin.

Bagaimana gaya kepemimpinan Anda dalam running a company?

Saya mengamati bahwa CEO zaman now berbeda dengan dengan CEO zaman dulu. CEO zaman dulu, boleh dibilang very powerfull person yang menjadi center of the company. Kalau CEO zaman now tidak bisa lagi seperti itu. Jadi, lebih kepada konsep we are nobody without somebody else. Jadi, kita mengerjakan segala sesuatu harus dengan bekerja sama. Contohnya, seperti dalam film The Avengers. Para superhero saja kita membentuk tim dan bekerja sama.

Makanya, saya selalu menekankan semua leaders harus bisa jadi team player. Tentu saja, sebagai seorang CEO, saya juga harus memberikan contoh tersebut. Bahkan, saya tak segan-segan untuk menunjukkan bahwa sebagai CEO, saya bukan orang yang tahu semuanya. I'm not the smartest person in the room. Saya perlu dukungan dari anggota tim yang lain.

Selanjutnya, saya menciptakan atmosfer keterbukaan di kantor ini. Sekarang siapapun bisa bebicara dengan saya tanpa harus membuat janji atau mengikuti prosedur. Dengan openess tersebut, saya berharap setiap orang tak segan untuk mengeluarkan pendapat. Saya selalu welcome terhadap pendapat dan sudut pandang yang berbeda karena dapat memperkaya pengambilan putusan.

Jadi, tim yang memiliki difference akan semakin baik. Saya lebih suka gaya partisipatif, let’s work together. Saya bilang: kalian bisa kapan pun datang pada saya untuk melakukan konsultasi. Jadi, involving them into the decision making process walaupun secara hierarki putusan akhir ada pada saya.

Bagaimana cara Anda menghadapi para milenial di perusahaan?

Generasi millennial memang sangat berbeda. Untungnya, saya punya anak dari generasi millennial. Jadi, somehow, I learn from her. Anak sulung saya berumur 23 tahun dan sudah bekerja selama satu tahun. Dia bekerja dengan cara kerja yang baru. Saya melihat generasi milenial punya sudut pandang dan horizon yang berbeda. Horizon itu misalnya generasi kami biasa berpikir untuk 3-5 tahun ke depan, tetapi mereka berpikir untuk 3-6 bulan ke depan.

Memang, generasi milenial harus diakui sangat kreatif. Hanya saja, mereka punya banyak ide, tetapi terkadang tidak bisa mem-follow up ide-ide mereka sendiri.

Saya punya sesi dengan mereka, yakni Meet the CEO. Mereka selalu mengeluarkan banyak ide. Saya bilang, idea will remain the dea until you actually implement it. Saya belar dari mereka untuk mendapatkan ide dan menumbuhkan kreativitas. Mereka juga harus belajar dari generasi sebelumnya untuk mem-follow up ide.

Saya membuka komunikasi khusus dengan milenial dan mereka sangat mengapresiasi hal tersebut. Ada hal menarik ketika ada suatu sesi yang setengah dari mereka tidak hadir karena mendengar rumor bahwa saya tidak akan datang. Mereka bilang: untuk apa ikut sesi kalau CEO tidak datang. Padahal, pada akhirnya saat itu saya datang ke sesi tersebut.

Jadi, karena mereka tidak suka hierarki, kantor XL Axiata dirancang dengan konsep openess tanpa ada sekat-sekat. Kemudian cara memotivasi mereka juga berbeda sehingga kami membuat satu kompetisi. Hal itu karena mereka belum tentu termotivasi dengan kompensasi dan benefit berupa uang. Justru, mereka lebih memilih untuk menerima apresiasi langsung dari CEO. Kadang mereka memfoto momen tersebut dan mem-posting di Instagram.

Berhadapan dengan milenial, kami merevisi banyak hal seperti manajemen, benefit, dan proses kerja. Saat ini tenaga kerja milenial di XL sudah melebihi persentase 55% dan dipastikan akan terus bertambah. Nah, nantinya bila generasi milenial ini menjadi pemimpin dan decision maker maka perusahaan ini sudah berada di mode yang cocok dengan the new generation.

Di era sekarang kompetitor XL Axiata bukan hanya dari perusahaan operator seluler? Bagaimana strategi Anda menghadapi kompetitor lain seperti OTT?

Kita memang agak mengubah strategi. Dulu, kita pikir let's do it by our self jadi kita kerjakan sendiri. Seperti pengalaman saat saya membuat Elevania. Ternyata, e-commerce business need a lots of money. Istilahnya, bakar duit.

Di samping itu, kompetisinya juga jauh lebih keras karena global player terus-menerus masuk. Kalau di industri telekomunikasi, pemain dunia masuk tetapi ada batas lisensi. Di e-commerce, semua pemain masuk mulai dari pemain kecil sampai pemain raksasa. Dengan kondisi tersebut, jika saya punya uang US$500 juta maka saya akan lebih pilih berinvestasi ke core business daripada ke e-commerce.

Jadi, sekarang kita lebih memilih untuk lebih berpartner dengan para pemain OTT tersebut. Daripada berhadapan head-to-head dengan mereka, kami lebih memilih berkolaborasi dengan mereka. Sama seperti konsep The Avenger yang saya sebutkan sebelumnya.

Sementara itu, induk perusahaan kami Axiata Group yang fokus bermain di bisnis digital service. Jadi, Axiata Group melahirkan digital service busniness, sedangkan kita menjadi partner mereka. Selain dengan parent company, kita juga menjalin kolaborasi dengan OTT provider lain. Seperti dengan Google kita membuat program YouTube Tanpa Kuota.

Jadi, Anda memutuskan fokus ke core business?

Iya, betul. Kami sadar OTT pada dasarnya cross border karena tidak punya batas negara. Menurut kami, akan lebih relevan kalau pengembangan digital services dilakukan di induk perusahaan, yakni di Axiata Group.

Kenapa XL Axiata memutuskan untuk mundur dari persaingan di layanan digital?

Seperti ini, pemain besar seperti Alibaba masuk dengan dana miliaran dolar AS. Bayangkan, kami menghabiskan dana Rp7 triliun untuk pengembangan core business dana mereka bisa meng-inject dana US$1,2 miliar. Itu jumlah yang sangat banyak, kalau dirupiahkan lebih dari Rp16 triliun.

Saat ingin bertempur, kita harus mengukur: Apakah kita punya resources yang cukup untuk bertempur? Kalau tidak punya peluru untuk bakar duit sebanyak itu, lebih baik kita mengalokasikan dana yang ada untuk sesuatu yang sudah jelas hasilnya.

Dengan fokus ke core business, bukan berarti kita tidak memberikan layanan konten. Kita tetap memberikan layanan konten dengan cara kolaborasi. Maksud saya fokus ke core adalah dalam konteks pengalokasian resources. Lalu, untuk mengembangkan layanan digital kita berpartner dengan pemain OTT lain dan tidak menggunakan capex sendiri. Dengan demikian, pelanggan tetap dapat membeli layanan musik, layanan video, streaming, chatting, dan lain-lain.

Kehadiran OTT telah mendisrupsi banyak industri, ada prediksi bahwa industri telekomunikasi juga akan terdisrupsi oleh OTT seperti oleh WhatsApp. Bagaimana pandangan Anda?

Jadi, disruption pasti akan masuk ke semua industri, seperti media, perbankan, hingga health. Sebenarnya, industri telekomunikasi sudah di-disrupt lebih dulu oleh OTT, misalnya dalam hal layanan suara dan pesan singkat. Hubungan kami dengan customers juga sudah mulai berkurang dan lebih banyak hubungan billing. Tapi, customer’s identity lebih banyak dipegang oleh apps. Misalnya, kalau berkomunikasi melalui WhatsApp, Anda tidak ingat nomor lawan bicara Anda bukan?

Pertanyaannya adalah: apakah ingin di-distrupt terus or keep our share? Menurut saya, kita harus keep our share. Jadi, customers pakai Facebook tetapi tetap bayar juga ke kami. OTT penting karena kalau tidak ada Google maka internet tidak akan dipakai.

Jadi, sekarang kami harus melakukan peran-peran yang masih relevan untuk para customer. Menurut saya, selama lisensi untuk pengadaan infrastruktur tidak diberikan, kami akan tetap aman. Tapi, kalau ditanya disruption, itu sudah terjadi di kami sejak lama. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: