Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Beda Pasar, Modalku Buktikan Fintech Tidak Mendisrupsi Bank

Beda Pasar, Modalku Buktikan Fintech Tidak Mendisrupsi Bank Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Disebut-sebut sebagai bisnis startup yang bersinggungan dengan bank, fintech (financial technology) yang mulai marak di Indonesia nyatanya berbeda dengan bank. Meski sama-sama bergerak di bidang keuangan, fintech dan bank memiliki pasar dan sistem yang berbeda. Hal ini ditegaskan oleh salah satu startup fintech Indonesia yaitu Modalku. Bahwa market bank bukan menjadi target market fintech sehingga fintech tidak bisa dianggap mendisrupsi perbankan.

"Sangat berbeda. Kami mengambil orang-orang yang tidak bisa ke perbankan. Kami tidak bersaing dengan bank. Kami tidak bisa menawarkan 9%, 8% sehingga kami tawarkan yang 15%, 13%, 20%, dan ada yang 30%," jelas Reynold Wijaya, Co-Founder Modalku kepada Warta Ekonomi beberapa waktu lalu di Jakarta.

Menurut Reynold, pasar Modalku selama ini adalah orang-orang yang tidak bankable atau bahkan yang sudah ter-reject oleh bank. Padahal menurutnya, tidak semua pengaju pinjaman yang ditolak oleh bank, tidak layak memperoleh pinjaman. Ia meyakini bahwa pengaju pinjaman yang ditolak oleh bank lantaran banyaknya persyaratan seperti agunan yang harus dipenuhi untuk mendapat pinjaman, ternyata bisa menjadi market bagi fintech. Hal itu karena meminjam di fintech tidaklah membutuhkan banyak syarat seperti halnya agunan.

"Karena 100 orang yang daftar ke perbankan, kemungkinan 90 bakal ditolak. Apakah lantas yang 90 tersebut tidak layak kredit? Kemudian, yang kami lakukan adalah kami percaya bahwa tidak semua yang ditolak adalah tidak layak kredit. Kalau tidak layak kredit, kami tentu tidak mau ambil," kata Reynold.

Ia meyakini bahwa pengaju pinjaman yang tertolak oleh bank adalah layak kredit. Karena menurut Reynold, UKM di Indonesia setiap tahun selalu tumbuh meski kecil. UKM di pinggir jalan selalu bertambah dan terus tumbuh. Namun, profit yang didaptkan mungkin tidak mencukupi untuk memiliki aset sehingga profit yang didapatkan hanya sampai untuk balik modal dan keuntungan yang tidak terlalu besar. Intinya, mereka tetap hidup meski tidak memiliki aset. Hal itulah yang kemudian diyakini oleh Reynold bahwa UKM tanpa aset bukan berarti tidak layak kredit.

"Jadi, apakah mereka profitable? Jawabannya iya, tapi mereka tidak bankable. Kenapa tidak bankable? Karena kalau Anda ke bank, asset based landing. Pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah bagaimana kuartal dan dimana agunannya. Jadi, ini seperti telur dan ayam. Kalau kita mau berkembang, kita butuh pembiayaan. Tapi, kalau Anda tidak punya aset, Anda tidak bisa dapat pembiayaan. Tapi, kalau Anda tidak berkembang, Anda tidak bisa punya aset," jelas Reynold.

Sehingga, menurutnya, yang harus diprioritaskan adalah para UKM harus berkembang dengan baik meski tidak memiliki aset. As all based lending. Menurut Reynold, itulah perbedaan terbesar Modalku dengan perbankan sehingga fintech tidak bisa dianggap bersinggungan dengan bank.

"Karena kami melakukan has full based lending. Kita tidak ada agunan dan karena KTA tanpa agunan, bunga kita lebih tinggi dari Bank. Misalnya, bunga bank 10%, kita lebih tinggi, yakni bisa sampai 20%. Logikanya, kalau Anda bankable, kalau Anda bisa dapat uang di bank, ngapain ke Modalku? Kalau Anda bisa dapat bunga 9%, ngapain ambil yang 20%? Jadi, tidak mungkin orang yang bankable mau datang ke kami," tandasnya.

Menurutnya, justru yang menjadi saingan fintech adalah para lintah darat yang bisa memberikan bunga hingga 500%. Para UKM pun bisa lebih mudah dan cepat mendapatkan pinjaman melalui lintah darat.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: