Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Financing Gap Jadi Masalah Akut di Indonesia

Financing Gap Jadi Masalah Akut di Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Secara umum dan secara makro, fenomena yang terjadi di Indonesia adalah the missing middle atau financing gap. Sebenarnya, masalah tersebut sering terjadi di dunia, tetapi lebih akut terjadi di negara yang sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Lansekap di Indonesia, dibutuhkan sekitar Rp1.700 triliun guna pembiayaan per tahunnya. Dari Rp1.700 triliun, kira-kira Rp600 triliun sampai Rp700 triliun dapat dipenuhi oleh lembaga-lembaga yang ada sekarang, seperti multifinance. Semua finance inclusion di Indonesia dikombinasikan, recruite Rp700 triliun. Jadi, kekosongannya Rp1.000 triliun. Tentu, tidak semua penerima bisa diambil.

Hal ini karena dari Rp1.000 triliun ada orang-orang yang tidak layak kredit, yang kalau diberi pasti habis. Pada kenyataannya, dari Rp1.000 triliun, banyak juga yang bisa diambil sehingga bisa memajukan ekonomi Indonesia. Namun, kondisi saat ini potensi yang ada tak dapat dimaksimalkan karena kurangnya pembiayaan.

"Nah, P2P Lending hadir untuk mengisi kekosongan ini. Sekali lagi, bukan untuk bersaing dengan apa yang sudah ada. Tetapi, mengambil pasar yang belum bisa deserved. Oleh karena itu, seringkali dengar kalau P2P Lending lebih fokus kepada unbankable atau underserved," papar CEO dan Co-Founder Modalku Reynold Wijaya kepada Warta Ekonomi beberapa waktu lalu di Jakarta.

Mnurut Reynold, inilah pasar di Indonesia yang semuanya dianggap sebagai pasar yang bisa digarap kebutuhannya. Dari kebutuhannya, yang berwarna biru adalah bankworky, yakni orang-orang yang bankable. "Pertanyaannya adalah apakah [lapses] kalau Anda tidak bisa ke bank, Anda layak kredit? Karena 100 orang yang daftar ke perbankan, kemungkinan 90 bakal ditolak. Apakah lantas yang 90 tersebut tidak layak kredit? Kemudian, yang kami lakukan adalah kami percaya bahwa tidak semua yang ditolak adalah tidak layak kredit. Kalau tidak layak kredit, kami tentu tidak mau ambil," tegasnya.

Maka dari itu, di era teknologi seperti saat ini, Reynold ingin memberikan sebuah solusi untuk permasalahan financing gap yang kerap terjadi di Indonesia. Dengan begitu, bisnis fintech di Indonesia mengalami siklus yang cepat dan terus bertumbuh.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: