Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

C-Suite Leadership

Oleh: Toto Pranoto, Managing Director Lembaga Manajemen FEB UI

C-Suite Leadership Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mungkin kita sudah cukup sering mendengar istilah C-Suite Leadership. Terminologi slang ini merujuk pada konsep kepemimpinan yang melibatkan kelompok eksekutif pada level C, mulai dari CEO, CMO, CFO, CIO, dan seterusnya. Pemahaman terkait functional knowhow dan technical skill mungkin sudah tidak cukup memadai pada level ini. Dibutuhkan lebih banyak kemampuan leadership skill dan business expertise pada C-Level tersebut.

Boris Groysberg (HBR, 2014) dalam risetnya terhadap top 5 perusahaan rekrutmen dunia menemukan, beberapa ciri utama yang diminta oleh perusahaan terhadap C-Skill yang dimiliki kandidat, yaitu: (1) Leadership, tergantung situasi yang dihadapi perusahaan, misal dibutuhkan visionary leadership untuk perusahaan yang sedang dalam masa transformasi menuju a new path; (2) Strategic thinking & execution, yaitu kemampuan berpikir strategis dalam konteks global. Salah satu responden menyatakan perlunya kompetensi ini. Stressed the ability to “set the strategic direction” for the organization, another equated strategic thinking with “integrative leadership.”; (3) Technical & technology skill, salah satu responden menyatakan, “A C-Level executive needs to understand how technology is impacting their organization and how to exploit technology,”; (4) Team & relationship building, kandidat diharapkan memahami kolaborasi dalam manajemen. Istilahnya “A world-class leader must be able to hire and develop an exceptionally strong leadership team—he/she cannot succeed as a brilliant one-person player.”; (5) Communication & presentation, kandidat diminta kompetensi ini untuk menghadapi stakeholder yang lebih kompleks; (6) Change-management, korporasi menuntut lebih banyak kandidat yang memiliki kemampuan “change driver” diharapkan dapat memimpin transformasi (change agenda dan driving transformational change); (7) Integrity, beberapa responden perusahaan menyatakan, “Personal integrity and ethical behavior . . . are far more important now because of the speed of communication.”

Sementara itu, riset McKinsey (2015) terhadap sekitar 118 ribu eksekutif di seluruh dunia meneliti faktor apa saja yang dianggap prioritas untuk dimiliki pemimpin dalam kategori C-Suite. Ada sekitar 20 ciri (traits) yang diteliti, dan apabila diikhtisarkan terdapat 4 ciri utama yang dituntut pada pemimpin di C-Level, yaitu : (1) Solving problems effectively. The process that precedes decision making is problem solving, when information is gathered, analyzed, and considered; (2) Operating with a strong results orientation. Kepemimpinan dianggap bukaan saja soal membangun dan mengomunikasikan visi, tetapi juga bagaimana kemampuan eksekusi (result). Orientasi kuat pada upaya efisiensi dan produktivitas; (3) Seeking different perspectives. Pemimpin tipe ini diharapkan membuat keputusan strategis berdasarkan analisis yang akurat dan menghindari informasi yang bias; (4) Supporting others. Dalam bahasa yang singkat, “Leaders intervene in group work to promote organizational efficiency, allaying unwarranted fears about external threats and preventing the energy of employees from dissipating into internal conflict. “

Sejak enam tahun terakhir, Kementerian BUMN mensyaratkan proses penilaian atau kadang lebih popular dengan nama Fit & Proper Test untuk menguji calon direksi BUMN. Tujuannya tentu untuk mendapatkan calon terbaik yang memenuhi kebutuhan kompetensi yang dipersyaratkan sebagai direksi BUMN. Terdapat sekitar 12 kompetensi yang diukur, antara lain aspek integritas, inovasi, strategic thinking, visionary leadership, change management, decision making, driving execution, dan building strategic relationship. Standar ukuran ini tentu menjadi patokan dalam menilai para kandidat pemimpin perusahaan yang potensial dan mendekati kategori C-Suite. 

Bagaimana hasilnya? Berdasarkan hasil pengukuran penilaian yang dilakukan di Lembaga Manajemen UI (2016) terhadap sekitar 300 kandidat direksi BUMN, terlihat bahwa indikator strategic thinking, visionary leadership, serta change management menjadi kelemahan dan memerlukan peningkatan lebih keras. Temuan tersebut menunjukan perlunya reorientasi strategis di BUMN. Model kepemimpinan harus mampu memberdayakan bawahan sehingga mereka bisa tumbuh sebagai calon pemimpin yang berwawasan luas. Di sisi lain, semangat membangunkan daya saing perlu digulirkan dalam iklim revolusi digital saat ini sehingga mereka tidak hidup dalam comfort zone. Pemimpin dengan visionary leadership harus lebih banyak dimunculkan, bukan saja untuk mengantisipasi arah bisnis baru, tetapi juga mengawal perubahan yang dibutuhkan.

Memang tidak mudah mencari kaliber pemimpin yang memenuhi C-Suite dan berhasil membawa perubahan secara cepat . Survei McKinsey berjudul “Ascending to C-Suite” (2015) menunjukkan, bahkan responden yang dianggap sukses dalam membawa perubahan membutuhkan waktu lebih dari 100 hari dalam tahap penyesuaian C-Role Model. Kunci awal yang mereka prioritaskan adalah bagaimana shared-vision bisa segera disosialisasikan dan mendapat dukungan dari semua elemen dalam organisasi.

Menciptakan lebih banyak pemimpin kategori C-Suite dengan kompetensi yang dipersyaratkan tentu bukan pekerjaan mudah. Diperlukan lebih banyak ruang eksplorasi untuk memberikan wawasan dan pengalaman sehingga calon pemimpin dapat tumbuh dalam lingkungan yang ideal. Prioritas yang bisa dilakukan untuk nurturing calon pemimpin ini adalah belajar menetapkan prioritas bisnis yang akan dijalankan (high impact), bagaimana mengelola budaya dalam perusahaan sebagai antisipasi dinamika dalam organisasi, bagaimana mengelola tim, serta bagaimana meningkatkan kualitas diri (self readiness). Anda siap?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel:

Berita Terkait