Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Adanya Disrupsi, Model Bisnis Berubah Seiring Zaman

Oleh: Gunawan Susanto, Presdir IBM Indonesia

Adanya Disrupsi, Model Bisnis Berubah Seiring Zaman Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bisnis-bisnis sedang meng hadapi tantangan disrupsi, baik yang berasal dari disrupsi digital maupun konsumen. Pasar sektor teknologi informasi (TI) mengalami pergeseran dan transformasi yang cepat sekali. Dunia sudah bergerak dan tidak seperti dulu lagi.

Bisnis TI sudah merasakan lebih dahulu keberadaan disrupsi. Kita merasakan teknologi berkembang sangat cepat. Mungkin industri lain baru mulai merasakan dampaknya sekarang. Kami melihat bahwa adanya teknologi telah memungkinkan cara yang tadinya disebut dengan owning economy menjadi sharing economy. Dengan demikian, disrupsinya bisa datang dari area yang tadinya bukan kompetitor menjadi kompetitor. Nah, itulah yang harus disikapi bahwa kita harus mencari model bisnis baru, sumber pendapatan baru, dan area-area bisnis yang baru dengan adanya perkembangan teknologi. Itulah yang pertama.

Kedua, kami mulai melihat dunia sekarang sudah tidak lagi seperti dulu sehingga pasar dan pergeseran harus dilihat dalam kacamata collaboration ecosystem (ekosistem kolaborasi). Meskipun kompetitor, pada waktu tertentu harus bisa menjadi rekan bisnis. Hal ini bisa terlihat pada International Business Machines (IBM) yang sekarang mulai bergerak ke jasa pelayanan. Mereka yang awalnya kompetitor pada pasar perangkat keras dan perangkat lunak, memanfaatkan rekan bisnisnya untuk menyampaikan jasa pelayanannya.

Adanya disrupsi sebenarnya sangatlah menarik. Kondisi ini membuat semua orang atau pihak memiliki kesempatan yang sama selama mau berubah. Justru yang paling saya takuti adalah terlambat untuk berubah karena terlena. Umpamanya tiga tahun terakhir, perubahan yang kami lakukan ternyata strateginya berhasil, eksekusinya bagus, pertumbuhan kami sudah bagus, dan hasilnya sangat bagus. Akan berbahaya jika kami merasa puas karena merasa sudah bagus. Padahal yang kami lakukan tiga tahun terakhir belum tentu menjadi sesuatu yang benar atau terbaik untuk tiga tahun ke depan. Ketakutan yang paling mendasar bagi saya adalah pola pikir yang merasa sudah cukup.

Oleh sebab itu, sangatlah penting menjalankan bisnis yang terus berkelanjutan. Saya belajar bahwa perusahaan yang ingin sukses harus secara terus-menerus memperbaiki dirinya. Namun, biasanya kesulitan terbesar untuk mengubah perusahaan adalah ketidakmauan untuk bergerak maju (move on) dan senang dengan keberhasilan maupun kejayaan masa lalu. Jadi, kuncinya adalah do not protect the past, jangan hanya menjaga kesuksesan di masa lalu. Justru kita harus terus bertanya kunci sukses untuk tiga tahun ke depan, lima tahun ke depan, atau sepuluh tahun ke depan.

Adapun yang dilakukan IBM untuk masa yang akan datang antara lain mencari area-area baru. Kinerja finansial sebelumnya sudah bagus semua. Agar tetap berlangsung seperti itu, di tahun 2018 ini perusahaan terus berusaha mencari area baru. Ada beberapa area baru yang strategis yang dicoba untuk diimplementasikan, salah satunya adalah cognitive computing, terutama di bidang health-care. Kami juga akan banyak melakukan edukasi di pasar soal pemanfaatan blockchain untuk kepentingan di segala bidang industri. Kami percaya bahwa teknologi-teknologi tersebut menjadi sesuatu yang baru secara global dan Indonesia seharusnya tidak menunggu orang lain melakukannya. Pemanfaatan tersebut menjadi momentum Indonesia untuk bisa lebih bersaing dengan kompetitor.

Sebagai perusahaan TI besar, sumber daya manusia menjadi modal yang sangat penting bagi IBM Indonesia. Sekarang adalah zamannya generasi milenial. Generasi milenial akan menjadi pelaku usaha sekaligus pasar yang akan semakin berkembang pada masa mendatang. Karakter generasi milenial yang berbeda dengan generasi baby boomers, pada umumnya banyak mengubah bisnis saat ini.

IBM Indonesia hampir 60% pegawainya berusia di bawah usia 35 tahun. Tentunya bukanlah perkara yang mudah untuk mempertahankan generasi-generasi terbaik di usia tersebut. Berebut generasi muda terbaik harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mapan. Apalagi banyaknya perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang berdiri di Indonesia relatif banyak menyedot generasi milenial. 

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar generasi yang menyukai kebebasan tersebut dapat produktif dan bertahan lama di perusahaan. Berdasarkan pengalaman IBM, generasi tersebut harus terus diberikan tantangan, serta kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar. Dengan demikian, mereka juga bisa terus melakukan eksplorasi.

Langkah tersebut dilakukan, selain untuk menepis kecenderungan cepat bosan, untuk menjadi pembelajaran memahami long term success yang membutuhkan proses. Oleh sebab itu, pemilihan program-program dalam pemberian tugas harian terus diterapkan cara-cara yang terus diperbarui. 

Generasi milenial terbiasa untuk instans gratification. Generasi ini harus belajar untuk lebih bersabar, memiliki gairah dalam bekerja, dan harus menyadari bahwa segala sesuatu memerlukan proses. Memang tidak ada yang salah dari kesuksesan yang cepat, tetapi tetap membutuhkan proses. Untuk membuatnya lebih cepat, berarti membutuhkan energi yang lebih besar lagi. Generasi ini harus lebih banyak melihat bahwa kemampuan interpersonal dibutuhkan dalam menjalankan bisnis. Oleh sebab itu, mereka harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidak terlalu terikat dengan gawai (gadget/ mobile), tetapi lebih banyak membangun relasi person to person atau face to face. Jika dua kemampuan tersebut bisa diterapkan oleh kaum milenial, you will have the most success. Jika kekuatan kreativitas dan keberanian untuk mencoba hal yang baru dikombinasikan, it will be better power.

(Disarikan dari wawancara setelah acara Most Admired CEO 2017, 8 Desember 2017) 

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: