Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Modalku: Fintech Tanpa Bank Akan Mati

Modalku: Fintech Tanpa Bank Akan Mati Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sempat dituding bakal mendisrupsi perbankan, Modalku menegaskan memiliki model bisnis dan pasar yang sama sekali berbeda. Modalku mengatakan hadir sebagai lembaga keuangan alternatif bagi para nasabah yang tidak memiliki akses pembiayaan ke lembaga keuangan eksisting.

Untuk mengulik lebih dalam mengenai Modalku, wartawan Warta Ekonomi yang terdiri dari Agus Aryanto dan Ning Rahayu serta fotografer Sufri Yuliardi melakukan wawancara dengan Co-Founder sekaligus CEO Modalku Reynold Wijaya. Berikut kutipan wawancara lengkapnya

Bagaimana Anda memandang kondisi makro pasar pembiayaan, terutama di sektor fintech peer to peer lending (P2P Lending)?

Secara makro, fenomena yang terjadi di Indonesia adalah financing gap. Sebenarnya, masalah tersebut terjadi dalam skala global, cuma lebih akut di negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri dibutuhkan pembiayaan sekitar Rp1.700 triliun pertahun.

Dari kebutuhan Rp1.700 triliun tersebut, sekitar Rp600-700 triliun dapat dipenuhi oleh lembaga-lembaga keuangan eksisting seperti perbankan, multifinance, dan lain-lain. Jadi, masih ada kekosongan sekitar Rp1.000 triliun yang membuat potensi ekonomi belum teroptimalkan dengan baik.

Dari kebutuhan pembiayaan sebesar Rp1.000 triliun tersebut ada yang bisa kita ambil meski tidak semua karena ada juga orang-orang yang tidak layak kredit. Nah, P2P lending hadir untuk mengisi kekosongan tersebut sehingga kita bisa ikut memajukan perekonomian Indonesia. Sekali lagi, P2P lending hadir bukan untuk bersaing dengan lembaga keuangan eksisting.

Kami hadir untuk memberikan layanan kepada orang-orang yang belum mendapatkan akses pembiayaan atau kepada mereka yang unbankable. Kami di Modalku selalu percaya bahwa potensi pasar pembiayaan masih sangat besar. Kita melihat tiba-tiba ada UMKM baru di pinggir jalan atau di sebelah rumah Anda. Artinya, UMKM di Indonesia selalu tumbuh setiap tahun.

Apakah para UMKM tersebut profitable? Jawabannya, iya mereka profitbale tetapi memang tidak bankable. Kenapa mereka tidak bankable? Karena kalau para UMKM ke bank, pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah bagaimana laporan per kuartal? Di mana agunan?

Jadi, ini seperti telur dan ayam. Kalau mau berkembang, kita membutuhkan pembiayaan. Akan tetapi, kalau tidak punya aset, Anda tidak bisa mendapatkan pembiayaan. Dan kalau tidak berkembang, Anda tidak akan bisa memiliki aset.

Jadi, mana yang harus terlebih dahulu? Kami bilang: kalau Anda berkembang dengan baik, tanpa aset tidak apa-apa. Itulah perbedaan terbesar Modalku dengan lembaga keuangan seperti perbankan. Oleh karena itu, bisnis kami sebenarnya hampir tidak bersinggungan dengan perbankan. Kita tidak memerlukan agunan dan bunga kita lebih tinggi dari perbankan.

Logikanya, kalau Anda bankable dan bisa mendapatkan uang di bank, lalu untuk apa datang ke Modalku? Kalau bisa mendapatkan bunga 9% dari perbankan, lalu untuk apa ambil pinjaman dengan bunga 20% di Modalku? Jadi, tidak mungkin orang yang bankable mau datang ke kami. Secara kasar, justru orang yang di-reject bank yang akan datang ke P2P lending.

Oleh karena itu, kalau ada orang bilang bahwa fintech mendisrupsi perbankan maka mana buktinya? Kami mengambil orang-orang yang tidak bisa mendapatkan layanan perbankan. Selain itu, bunga kita lebih tinggi dari perbankan.

Ingat, kompetitor kita itu bukan perbankan tetapi lembaga keuangan informal seperti lintah darat dengan bunga pinjaman dengan angka fantastis sebesar ratusan persen. Apakah bunga 20 persen dari fintech mahal apabila dibandingkan dengan bunga pinjaman lintah darat yang bisa mencapai 500 persen? Jadi, itulah perbedaan terbesar antara fintech, perbankan, dan lintah darat.

Kenapa Modalku berani menggarap market yang tidak bankable?

Seperti ini, kita semua pasti setuju bahwa UMKM itu sebenarnya profitable. Selain itu, karena sadar tidak bisa datang ke bank sehingga UMKM justru lebih berhati-hati dalam menggunakan uang apabila dibandingkan dengan korporat besar. Kalau UMKM sudah kehabisan uang, iya sudah habis saja. Justru korporat besar kalau kehabisan uang: ah sudahlah, tinggal pinjam di bank.

Selanjutnya yang biasa diperhatikan adalah aspek kolateral. Kebanyakan UMKM memang tidak memiliki kolateral. Pertanyaannya, apakah penting? Kalau Anda memberikan pinjaman sebesar Rp10 miliar atau Rp50 miliar memang mengkhawatirkan apabila tidak ada kolateral. Akan tetapi, kalau pinjaman sebesar Rp200 juta atau Rp300 juta? Kolateral seperti apa untuk pinjaman sebesar Rp200 juta?

Perbankan itu tidak terlalu tertarik dengan pinjaman dengan nilai kecil. Sebenarnya, bukan berarti para UMKM tersebut merugi sehingga perbankan tidak tertarik memberikan pinjaman. Hanya saja, biaya yang dibutuhkan perbankan untuk melayani peminjam sebesar Rp300 juta dengan peminjam Rp30 miliar itu sama. Perbankan harus melakukan asesmen yang sama antara peminjam besar dengan peminjam kecil. Kalau perbankan bisa mendapatkan peminjam Rp30 miliar, lantas kenapa mereka harus pusing memikirkan peminjam Rp300 juta? Jadi, secara biaya, tidak masuk bagi perbankan.

Nah karena menggunakan teknologi, biaya yang dibutuhkan fintech lebih murah. Dengan begitu, secara biaya kami bisa melayani pinjaman sebesar Rp300 juta.

Anda mengatakan Modalku memiliki pasar yang berbeda dengan perbankan, apakah itu berarti Anda tidak ingin berhadapan langsung dengan perbankan?

Iya, benar kami tidak tidak ingin berhadapan langsung dengan perbankan. Kenapa? Karena jika kami berhadapan langsung dengan perbankan maka kami pasti kalah.

Bukankah saat ini perbankan menganggap fintech sebagai ancaman?

Sekali lagi, buktinya di mana kehadiran fintech merupakan ancaman bagi perbankan? Produk kami maksimal dua tahun, sedangkan bank tidak suka memberikan tenor pinjaman selama enam bulan atau 12 bulan. Bank lebih suka memberikan kredit jangka panjang. Kami tanpa agunan, sedangkan bank menggunakan agunan.

Saya ingin mengatakan bahwa kalau memang bisnis kami menggerus perbankan, apa buktinya? Kalau tidak ada buktinya, untuk apa ditakutkan? Produk kami jelas berbeda dengan perbankan. Kalau memang ada sedikit yang sama, tetapi core business kami sangat berbeda.

Kalau masalah kompetisi, sebenarnya kompetisi antarbank sudah sangat ketat sehingga sebaiknya mereka fokus di sana dan tidak perlu memasukkan fintech sebagai kompetitor. Persepsi bahwa mereka di-disrupt oleh fintech merupakan persepsi keliru. Tanpa kehadiran fintech, perbankan juga seharusnya tetap membuat inovasi-inovasi baru.

Contohnya, apakah Apple salah sudah melakukan inovasi sehingga mengganggu bisnis Nokia? Teknologi adalah masa depan. Kita harus terus bergerak untuk beradaptasi dan menggunakan teknologi terkini.

Sejauh ini, apakah ada bank yang mengajak untuk melakukan kolaborasi?

Kami sangat bersahabat dengan perbankan. Saya merasa banyak bank yang progresif menyadari bahwa lebih baik melakukan kerja sama dengan fintech daripada memperlakukan sebagai kompetitor. Jujur saja, secara posisi saya paling tidak suka berhadapan dengan perbankan karena tanpa bank maka fintech akan mati. Akan tetapi, bank tanpa fintech masih akan baik-baik saja.

Oleh karena itu, saya kadang-kadang agak risih mendengar fintech yang merasa jago dengan mengatakan kehadiran mereka akan menggantikan bank.

Sedangkan, kami lebih memosisikan diri untuk melakukan kerja sama dan kolaborasi dengan perbankan. Saat ini kami ada di tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Di setiap negara tersebut, kami selalu bekerja sama dengan perbankan. Di Indonesia, kami bekerja sama dengan Bank Sinarmas.

Bank Sinarmas memberikan pendanaan kepada peminjam kami. Jadi, mereka juga membantu orang-orang yang sebenarnya unbankable. Kalau bank progresif, mereka akan sadar bahwa kerja sama mendatangkan win-win solution. Pertama, mereka bisa mempelajari term-nya peminjam. Suatu hari, bila nasabah kami sudah bankable maka perbankan sudah memiliki history para nasabah. Karena sudah bankable, silakan perbankan ambil.

Kedua, mereka biasanya menolak banyak customers. Daripada nasabah ditolak, sebaiknya diberikan dan diarahkan untuk melakukan pinjaman kepada kami sehingga lebih menguntungkan bagi semua pihak.

Siapa saja nasabah Modalku saat ini? Dan berapa rata-rata besaran pinjaman mereka?

Saat ini, kira-kira ada sekitar 1.100-2.000 pinjaman. Jumlah nasabah kira-kira di atas 1.000 peminjam. Pinjaman mereka berkisar antara Rp50 juta sampai dengan Rp5 miliar. Latar belakang nasabah berasal dari berbagai macam industri sehingga cukup beragam seperti garmen, trading, service, dan ousourcing. Pada intinya, kami menyasar industri-industri yang secara natural sulit untuk mendapatkan pinjaman dari perbankan.

Apakah nasabah Modalku harus melek teknologi?

Jujur, peminjam kami tidak harus melek teknologi karena kami yang seharusnya jago di aspek teknologi. Para nasabah hanya perlu mengoperasikan smartphone. Nah, teknologi tidak bisa menggantikan sistem informasi debitur (SID), credit bureau, maupun BI checking. Akan tetapi, teknologi sangat hebat dalam mendeteksi fraud. Di Indonesia fraud merupakan hal yang paling mengerikan.

Dengan smartphone, kita bisa melakukan tracking lokasi seseorang. Misalnya, mereka bilang domisili bisnis di Jakarta, tetapi kok setiap hari ada di Sukabumi? Kita bisa melakukan hal-hal seperti itu. Apakah orang ini bagian dari organisasi kriminal, pelaku fraud, atau benar-benar pelaku UMKM yang ingin mencari modal usaha.

Intinya, kami harus tahu bahwa kami memberikan pinjaman kepada orang yang tepat. Dengan demikian, bukan berarti tanpa agunan itu berbahaya.

Apakah sudah ada nasabah Modalku yang melakukan fraud?

Kami bersyukur bahwa selama ini belum ada fraud.

Berapa NPL saat ini?

Sekarang, NPL kami sebesar 0,2%. Sebenarnya, tidak mungkin ada NPL bisa sampai 0%. Kecuali, mungkin ada satu atau dua platform fintech yang bisa menjaga NPL di angka 0%. Tapi, adakah bank yang 0%? Jadi, logikanya, pasti ada NPL. Cuma, harus dijaga ke level yang lebih optimal. Misalnya, bunga pinjaman kita bisa sampai 20%. Fraud, misalnya sebesar 3%. Anda masih untung 17%.

Jadi, sekarang NPL kami sebesar 0,2%, tapi ke depan pasti akan bertambah. Kalau ada yang bilang: NPL saya bisa 0%. Saya ragu: bagimana caranya?

Bagaimana Anda memandang kompetisi antarsesama fintech?

Kami sebenarnya welcome selama komunitas tumbuh secara sehat. Saya paling takut pada orang-orang yang datang dan merusak industri ini. Industri ini masih baru. Tidak masalah banyak pemain di industri ini, tetapi persaingan harus berlangsung secara sehat.

Misalnya seperti di China. Ada ribuan fintech yang terdapat di negara tersebut dan dari ribuan platform ada banyak pula platform penipu. Hal tersebut berkaitan dengan regulasi yang belum tuntas. Jika di Indonesia, kita patut berterima kasih kepada Otoritas Jasa Keuangan yang bergerak cepat membuat regulasi selama satu tahun sehingga tidak ada pemain liar.

Kami berharap jangan sampai ada pemain liar menyusup ke industri ini karena sangat berbahaya bagi industri fintech secara keseluruhan. Tapi, kalau ada orang-orang hebat yang memiliki tujuan baik masuk ke industri ini, kami akan sangat senang berkompetisi dengan mereka.

Apa diferensiasi Modalku apabila dibandingkan dengan fintech lain?

Kami memiliki tim yang cukup lengkap, terdiri atas orang-orang dari berbagai latar belakang industri mulai dari perbankan, teknologi, multifinance, ritel, serta marketing. Tim kami cukup solid. Selanjutnya, teknologi kami cukup kuat. Dari segi segmen pembiayaan, kami menyasar para pelaku UMKM. Adapun, fintech lain ada yang bermain di sektor personal lending.

Apa target tahun ini?

Kami ingin melakukan scaling up. Jadi, karena kami sudah melakukan foundation dengan baik maka sekarang sudah saatnya untuk scale up

Apa capaian yang belum terwujud sampai saat ini?

Masih banyak capaian yang belum tercapai. Modalku masih kecil sehingga masih memiliki banyak peluang untuk tumbuh.

Apa Anda memiliki harapan untuk menjadi startup unicorn?

Saya pikir pasti semua startup pasti bemimpi untuk menjadi unicorn. Kalau ada harapan, ya pasti. Kalau tidak ada harapan, berarti tidak ada harapan untuk tumbuh. Kapan kira-kira? Cuma Tuhan yang tahu. Kami hanya bisa berusaha keras.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: