Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Masih Impor Beras, Ada yang Salah dalam Pengelolaan Produksi Beras?

Masih Impor Beras, Ada yang Salah dalam Pengelolaan Produksi Beras? Kredit Foto: Antara/Abriawan Abhe
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kinerja Kementerian Pertanian di bawah komando Menteri Pertanian Amran Sulaiman kembali jadi sorotan sejumlah pihak. Klaim keberhasilan terkait dengan sasembada, perluasan lahan pertanian, bibit, pupuk, dan peptisida yang ditujukan untuk memperkuat ketahan pangan dinilai sekadar klaim semata.

Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menuturkan kebijakan impor beras sejatinya menunjukan ada yang salah dari pengelolaan produksi beras untuk ketahanan pangan. 

“Mulai dari ketidakjelasan data soal stok beras Indonesia yang disampaikan Kementerian Pertanian. Padahal, perlu informasi yang akurat dan valid terkait ketersediaan beras. Harus akurat, jika tidak, ya, berarti kinerjanya mentan jelek,” kata Uchok di akhir pekan lalu.

Permasalahan soal kebijakan impor beras menurutnya bukanlah hal yang baru. Di bawah pemerintahan Joko Widodo dan kepemimpinan Amran di Kementerian Pertanian dan di tengah-tengah seringnya Presiden blusukan ke sawah petani, pemerintah menurutnya hanya menghasilkan kebijakan impor beras sebanyak 2,9 juta ton dengan nilai Rp16,9 trliliun lebih.

Secara umum, ia melihat tak ada program di Kementan yang berjalan dengan baik sesuai tujuan. Ia malah mengingatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sempat menyatakan dalam auditnya, Kementan perlu mengklarifikasi masalah di pengadaan benih, lahan, dan pestisida.

“Harusnya hal ini ditanggapi. BPK harus bawa ke ranah hukum kalau tak ditanggapi,” serunya.

Terkait dengan program cetak sawah, Uchok melihat hal ini tidak juga terealisasi sesuai dengan target dan tujuan. Pasalnya, pengelolaan program ini di kementan tak berjalan sebagaimana mestinya, begitu juga dengan koordinasi yang kurang.

“TNI dilibatkan, tapi tidak berjalan. Makanya, yang harus dilibatkan itu masyarakat. Kalau TNI, biar urus soal pertahanan, deh, tidak usah di bawa-bawa kesitu. Tidak bakal efektif, justru menggangu kerja (utama) TNI saja,” tuturnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira di kesempatan berbeda menilai kegaduhan soal data produksi beras yang ternyata berbeda dari kata-kata Mentan Amran Sulaiman,  yang mengatakan surplus, merupakan kesalahan fatal. Ia melihat kesalahan ini sulit dimaafkan sehingga perlu dilakukan evaluasi total terhadap kinerja sang menteri. 

"Dari situ, saya rasa perlu evaluasi total.  Evaluasi total itu, ya, perombakan kabinet, " ujarnya, Sabtu (17/2/2018).

Data produksi yang membuat pemerintah terlena dikatakannya menjadi puncak kesalahan Mentan. Pasalnya selama ini, sebagai menteri, Amran pun tak mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Hal tersebut terbukti dari nilai tukar petani yang cenderung stagnan beberapa tahun terakhir. 

Sayangnya, kegaduhan akan beras yang menyeruak, lanjutnya, mempertaruhkan kredibilitas presiden. Oleh karena itu, ia menyatakan perlu penyegaran akan sosok-sosok di kabinet untuk bisa mendapat kembali kepercayaan masyarakat.

"Penekannya lebih ke arah menteri pertanian yang lebih bertanggung jawab. Soalnya, selama ini, kan, kita selalu dibilang surplus untuk berbagai komoditas, misalnya beras," tegas Bhima.

Anggota DPR asal Partai Gerindra Bambang Haryo sebelumnya juga menilai pemerintah tidak konsisten dalam mewujudkan swasembada pangan sebagaimana yang menjadi program Nawacita Presiden Jokowi.

Memasuki tahun ke-4 pemerintahan Jokowi-JK, target swasembada pangan belum juga terwujud, jika tak bisa dibilang masih sebatas wacana. Beberapa kali, importasi terpaksa masih jadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Menurut Bambang, ada beberapa faktor yang membuat Indonesia belum juga mencapai swasembada. Salah satunya tidak adanya koordinasi antara Kementerian Pertanian dengan kementerian teknis lainnya. “Kordinasi kebutuhan pangan Kementan dengan kementerian lain berantakan,” serunya.

Sebalikmya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman sendiri mengaku telah membongkar sejumlah regulasi yang dianggap dapat menghambat hasil produksi pertanian yang tentunya akan memberikan kerugian besar bagi para petani di Indonesia. "Kami sudah membongkar sejumlah regulasi yang merugikan produksi pertanian," ucapnya.

Salah satu regulasi yang akhirnya harus "dibuang" karena begitu memberikan dampak kerugian yang besar bagi petani yakni terkait regulasi pengadaan pupuk. "Dulu sesuai regulasi, pupuk itu harus ditender 3-4 untuk bisa mendapatkan. Jadi misalnya Januari baru bisa keluar anggaran sementara usia padi itu sekitar 3 bulan, maka selesai panen baru pupuknya datang," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: