Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menyikapi Penetapan Harga Batu Bara DMO Bagi Tarif Listrik Wajar

Menyikapi Penetapan Harga Batu Bara DMO Bagi Tarif Listrik Wajar Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sesuai prinsip berbagi keadilan Kabinet Kerja Joko Widodo, pengendalian harga batu bara melalui penetapan harga jual batu bara dalam negeri Domestic Market Obligation (DMO) yang akan ditetapkan pemerintah menjadi sarana berbagi beban antara pengusaha batu bara dengan pemerintah dan PT PLN (Persero). 

Menurut pengamat ekonomi energi UGM dan mantan anggota tim reformasi tata kelola migas Fahmy Radhi mengatakan bahwa prinsipnya adalah menerapkan share gain and share pain, atau berbagai keuntungan dan juga beban.

Fahmy menyatakan, usulan DMO menggunakan batas atas dan batas bawah, baik yang diajukan oleh PLN ataupun Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), sebenarnya merupakan solusi terbaik untuk berbagi, ketimbang harus menerapkan perhitungan berdasarkan besarnya biaya (cost) ditambah dengan margin (keuntungan). 

"Ini dilakukan sebagai cara mencegah terjadinya proses kebangkrutan PLN, dimana harga batu bara yang dijual di luar PLN dan diekspor 75% ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar. Pengendalian harga batu bara itu merupakan jalan tengah mengurangi beban PLN dengan sedikit mengurangi pendapatan pengusaha batu bara, yang sejak bulan Agustus 2017 telah menikmati keuntungan winfall profit akibat naiknya harga batu bara," katanya dalam diskusi publik bertema Batu Bara untuk Siapa yang diadakan Forum Pengembangan Ekonomi Masyarakat (FPEM), Kamis (22/2/2018).

Dalam beberapa tahun terakhir harga batu bara di pasar internasional terus melambung. Kondisi ini dirasa tidak mudah bagi PT PLN (Persero), yang sebagian besar pembangkitnya menggunakan batu bara. Pada 2016, harga batu bara mencapai Rp630.000/ton, lalu naik menjadi Rp853.000/ton di tahun berikutnya. Inilah yang menyebabkan biaya penyediaan tenaga listrik PLN membengkak sekitar Rp16,18 triliun pada 2017.

Saat ini pemerintah sedang menyusun formula baru untuk menentukan Tarif Dasar Listrik (TDL). Selama ini komponen untuk menyusun TDL adalah berdasarkan inflasi, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), dan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. 

Padahal, mayoritas pembangkit listrik di Indonesia menggunakan bahan bakar batu bara. Untuk itu, di tengah upaya pemerintah mengkaji perubahan acuan tarif, hal ini perlu diwaspadai karena harga acuan batu bara justru cenderung meningkat, seperti juga naiknya harga produk pertambangan yang lain. 

"Seharusnya PLN menaikkan tarif tenaga listrik (TTL). Namun, mengingat dampaknya akan sangat terasa pada inflasi yang akan menyebabkan naiknya harga kebutuhan pokok dan juga pasti akan membebani masyarakat dengan daya beli rendah maka saya menduga sampai tahun 2019, tarif tenaga listrik masih stabil," tambah Fahmy. 

Sementara itu, tren naiknya harga batu bara sepertinya akan terus berlanjut. Pada Januari 2018, harga batu bara berkalori 6.322 naik lagi ke posisi US$95,54/ton, atau lebih dari Rp1.297.000/ton. Februari ini, Kementerian ESDM kembali menaikkan harga batu bara acuan (HBA) menjadi US$100,69 per ton. Tidak mengherankan bila biaya penyediaan listrik tahun ini diperkirakan bakal naik sekitarRp23,8 triliun.

PLN pasti tidak akan mampu menanggung sendiri beratnya beban tersebut. Indikasinya sudah jelas terlihat, dimana sampai September 2017 laba PLN tercatat Rp3,06 triliun, jauh merosot dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp10,98 triliun. Jika hal ini terus dibiarkan, bisa dipastikan kondisi keuangan PLN bakal kolaps.

Terkait hal tersebut, ekonom, founder, dan principal The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip mengemukakan, sumber data yang diolah dari Bank Dunia memperkirakan nantinya harga batu bara akan mengalami kondisi stabilisasi, mengingat melemahnya permintaan terutama dari Tiongkok (Cina), terkait dengan inisiasi pengurangan konsumsi batu bara, sekaligus beralih ke gas dalam rangka pengurangan emisi. 

Ia juga menyoroti biaya penambangan batu bara di Indonesia yang cenderung tinggi. Tingginya biaya penambangan menyebabkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) cenderung bergerak naik. "Karena itu kami menyusun berbagai asumsi, dimana biaya bahan bakar mencapai 60% dari biaya produksi; batu bara merupakan 55% dari komponen energi primer sehingga setiap kenaikan HBA 10%, cost of production naik 3,3%. Itu sebabnya pihaknya mendukung dilakukannya audit independen terhadap produsen batu bara," jelasnya.

Adapun, di awal bulan ini Kementerian ESDM sempat mengadakan pertemuan antara pelaku usaha di bidang pertambangan batu bara, PLN selaku BUMN yang mengawal pengadaan listrik dan pemerintah selaku regulator untuk memutuskan penetapan harga batu bara DMO. Namun, ternyata penetapan tersebut urung dilakukan pada pertengahan bulan ini. 

Nantinya, skema DMO yang sekarang sudah ada ditetapkan pemerintah, akan disempurnakan pada penghitungan HBA yang dijual untuk PLN bagi energi pembangkit listrik. Sementara untuk batu bara yang dijual di luar PLN dan untuk ekspor, harganya ditetapkan berdasar mekanisme pasar. Hal tersebut akan membuat pemerintah lebih fleksibel menentukan agar harga listrik tetap terjaga stabil (wajar). 

Sementara sebagai bagian dari upaya pemerintah menyediakan listrik 35 ribu MW, dilakukan baik oleh PLN baik melalui pembangunan pembangkit, transmisi, serta gardu induk untuk pengadaan 10 ribu MW. Selain itu, pengadaan juga dilakukan oleh para investor yang bergerak di sektor swasta, melalui sistem penjualan IPP (Independent Power Producer), bagi pembangunan pembangkit listrik 25 ribu MW. 

Karena itu, terkait dengan penetapan DMO, pelaku usaha pertambangan mengajukan usulan patokan harga dalam negeri untuk DMO bagi pembangkit listrik US$85 per ton. Sementara mengingat sebagian besar pengguna batu bara sebagai penggerak PLTU untuk menyalakan listrik di dalam negeri, PLN mengajukan harga batu bara DMO menggunakan skema batas bawah (floor price) US$55 per ton dan batas atas (ceiling price) US$65 per ton.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengemukakan, mengingat kontribusi pembangkit listrik yng menggunakan batu bara sebagai energi primer sangat besar sampai 60%, naik atau turunnya harga batu bara dalam setahun terakhir telah meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik secara signifikan. 

"Untuk itu, peran pemerintah membuat kebijakan dan peraturan terkait harga batu bara untuk melindungi kepentingaan PLN dan rakyat, sangat besar. Apabila pemerintah mampu membuat peraturan khusus atau harga gas yang murah untuk sektor industri maka seharusnya pemerintah juga harus bersikap sama untuk menetapkan harga khusus batu bara bagi PLN," pungkasnya. 

Sebagai catatan, akibat kenaikan harga batu bara di pasar internasional, berbagai perusahaan pertambangan batu bara di Indonesia meraup keuntungan besar, tapi apa yang didapat oleh pemerintah? Hanya tambahan royalti senilai Rp1,3 triliun. Sejatinya, batu bara adalah milik negara dan perusahaan pertambangan itu sekadar memperoleh izin untuk mengeksploitasinya.

Seharusnya, negara punya kewenangan dalam menetapkan aloksi dan harga, bagi optimalisasi pendapatan negara, termasuk juga mengatur biaya pokok produksi kelistrikan yang tepat. Batu bara bukanlah semata-mata komoditas belaka. Ia adalah sumber energi yang sangat penting untuk menggerakkan perekonomian dengan segala multplier effect-nya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: