Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CIPS Tolak Moratorium TKI ke Malaysia, Ini Alasannya

CIPS Tolak Moratorium TKI ke Malaysia, Ini Alasannya Kredit Foto: Antara/Reza Novriandi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Meninggalnya Adelina Jamirah Sau, pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur, memicu banyak hal. Wacana pemberlakuan moratorium pengiriman pekerja migran ke Malaysia mengemuka karena hal ini. Padahal, regulasi yang sederhana dan tidak berbelat-belit menjadi cara ampuh untuk mencegah para calon pekerja migran untuk menempuh jalan ilegal.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Imelda Freddy menyayangkan munculnya wacana moratorium pengiriman pekerja migran ke Malaysia. Penyebabnya adalah karena remmitance atau remitansi yang selama ini dikirim oleh para pekerja migran kepada keluarga di kampung halaman terbukti telah meningkatkan perekonomian lokal. Banyak keluarga dari para pekerja migran yang akhirnya bisa memulai usaha atau mengembangkan usaha dan juga menyekolahkan anggota keluarga karena remitansi tersebut.

Imelda menambahkan, pemerintah seharusnya mau melihat dan mempelajari kembali mengenai regulasi penerimaan dan pemberangkatan pekerja migran yang sudah ada. Regulasi yang sudah ada dinilai masih memberatkan dan hal inilah yang menyebabkan banyaknya para calon pekerja migran yang memilih menggunakan jalur ilegal.

"Jalur resmi dinilai tidak mengakomodir atau menghalang-halangi mereka. Logikanya adalah jika jalur resmi dibuat lebih efektif tanpa birokrasi yang berbeli-belit, otomatis para calon pekerja migran akan lebih memilih jalur resmi yang sudah sesuai dengan ketentuan dari pemerintah," ungkap Imelda di Jakarta, Senin (5/3/2018)

Selain itu, lanjutnya, yang perlu disoroti adalah mekanisme perekrutan para pekerja migran, terutama di level masyarakat. Para agen pengirim pekerja migran ilegal biasanya akan mendatangi desa-desa di Indonesia untuk mengajak para perempuan untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar. Para perekrut ini terkadang merupakan kenalan, kerabat atau bahkan penduduk di desa itu sendiri.

"Karena merasa percaya dengan 'agen' ini karena dianggap kerabat sekampung maka para penduduk desa pun akhirnya terpengaruh dan bersedia untuk menjadi pekerja migran untuk dikirim ke luar negeri. Padahal, setelah diselidiki bahwa 'agen' tersebut bekerja untuk lembaga perekrutan yang tidak resmi. Dan salah satu konsekuensinya adalah banyaknya kasus-kasus seperti yang terjadi pada Adelina," jelasnya.

Untuk meminimalkan aksi-aksi tersebut, peran aparat daerah sangat diperlukan. Kepala desa dan jajarannya diharapkan bisa melakukan sosialisasi kepada warganya terkait hal ini. Aparat desa bisa berkoordinasi dengan dinas ketenagakerjaan setempat atau tingkat kabupaten atau provinsi terkait hal ini. Dengan begitu, lanjutnya, warga akan punya pengetahuan dan tidak dengan mudah tergiur cara-cara yang tidak resmi.

Selain itu, Imelda juga meminta konsensus terkait pekerja migran di tingkat ASEAN yang sudah ditandatangani Indonesia bisa lebih efektif. Konsensus ini diharapkan bisaa menghasilkan aturan yang lebih jelas dengan sanksi yang mengikat para anggotanya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: