Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Prioritaskan Bangun Industri yang Memberi Added Value

Prioritaskan Bangun Industri yang Memberi Added Value Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

”Hiduplah Indonesia Raya.....Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku....”.” Lagu kebangsaan Indonesia Raya itu dikumandangkan setiap tanggal 17 Agustus di semua pabrik Panasonic Gobel yang beroperasi di Indonesia. Itulah tradisi menghormati bangsa dan negara yang sudah dijalankan mendiang Thayeb M. Gobel selaku pendiri PT National Gobel Indonesia yang saat ini menjadi PT Panasonic Manufaturing Indonesia. Upacara bendera ini wajib diikuti semua karyawan, mulai yang paling atas sampai bawah termasuk Rachmat Gobel.

“Upacara bendera ini dilakukan dalam rangka membangun jati diri bangsa kepada segenap karyawan Panasonic-Gobel, ungkap Rachmat Gobel, Chairman & Shareholder Panasonic Gobel Group Companies, induk usaha bagi 16 anak usaha. Pria kelahiran Gorontalo, 56 tahun silam ini mengaku tidak memiliki visi industrialis, kecuali melanjutkan visi mendiang ayahnya dan meneruskannya ke anaknya (generasi ketiga yang sedang magang di pabrik Panasonic). 

Ia masih menyimpan kegelisahan menyaksikan struktur industri elektronika nasional. Pasalnya, sebagian bahan baku dan industri komponen masih harus diimpor dari luar negeri. Sebagai Special Envoy Investasi Indonesia-Jepang, ia berupaya meyakinkan calon investor Jepang untuk berinvestasi di Indonesia. Ia berprinsip, investasi Jepang yang masuk harus membawa value added berupa alih teknologi dan membangun SDM berkualitas. Berikut petikan perbincangan tim Majalah Warta Ekonomi, Arif Hatta, Yosi Winosa, Agus Aryanto, dan Heri Lingga di kantor pusat Gobel Internasional di daerah Cawang, Jakarta Timur, 3 Februari 2018. 

Anda ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Special Envoy Indonesia-Jepang. Apa misi utamanya?

Misi utama saya bagaimana mengudang dan mendorong investasi Jepang ke Indonesia. Indonesia itu negara besar, pasarnya besar, sumber daya alam besar, hasil bumi melimpah, dan lain sebagainya. Belum lagi, kita banyak proyek-proyek strategis industri yang bekerja sama dengan Jepang, seperti pelabuhan Patimban, proyek Mass Rapid Transportation (MRT), jalan Tol Trans Sumatera, dan lainnya. Proyek-proyek ini yang kita kawal terus supaya berhasil. Proyek-proyek tersebut terbilang monumental dalam bingkai 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia Jepang.

Kalau menengok ke sejarah enam puluh tahun silam ketika Indonesia dan Jepang membuka hubungan diplomatik, waktu itu ada peristiwa penyelenggaraan Asian Games ke-4 tahun 1962, saat Panasonic Corporation dan Gobel menjalin kerja sama pembuatan televisi dalam rangka pesta olahraga se-Asia itu. Lalu, disusul pembangunan Gedung Sarinah, Hotel Indonesia, Jembatan Ampera, Bali Beach Hotel, dan Samudera Beach yang merupakan bagian dari program dari pampasan perang. 

Jadi, tugas Anda itu bagaimana menarik investasi Jepang ke Indonesia?

Iya. Selain menarik investasi Jepang, saya mengawal apa yang sudah dikomitmenkan. Jadi, saya bolak-balik ke Jepang itu dalam rangka mempromosikan, menyosialisasikan paket-paket kebijakan dan program pemerintah menyoal pembangunan infrastruktur yang masif kepada pelaku usaha di sana. Tentu saya mencoba menyerap masukan dari pihak calon investor di Jepang. Pasalnya, yang menarik investasi asal Jepang ini bukan hanya Indonesia saja, tetapi gencar dilakukan Vietnam, Thailand, Malaysia, dan India. Pertarungan menggaet pemodal Jepang ini cukup ketat.

Apa yang menjadi catatan kaki pemodal Jepang terkait iklim investasi di Indonesia?

Sebetulnya yang dilihat adalah apa yang bisa diberikan. Kalau negara lain bisa memberikan A, Indonesia  bisa memberikan A atau tidak, itu saja.

Apakah itu biasanya terkait soal pajak?

Iya, salah satunya terkait insentif pajak. Kalau calon investor itu meminta insentif A, B, C, D, tetapi kita tidak bisa berikan sementara negara lain bisa, persepsi ini yang mesti disamakan dulu. Jadi, ada kebijakan fiskal yang belum memberi daya tarik bagi calon investor. Di Jepang ada yang namanya Ministry of Economy, Trade, and Industri (METI) yang merumuskan kebijakan di bidang ekonomi, perdagangan, dan industri yang perlu mendapat prioritas. METI ini yang menggodok insentif bagi sektor perdagangan dan industri. 

Selain itu, kita juga mesti menghitung berapa nilai tambah kalau investasi Jepang masuk Indonesia untuk substitusi barang impor. Kalau multiplier efek dengan membangun industri substitusi impor lebih besar ketimbang impor, kenapa tidak kita bangun saja industri itu di dalam negeri. Saat ini, sudah banyak investor Jepang beroperasi di Indonesia seperti di sektor elektronika, otomotif, dan lainnya. Nah, mereka itu kan butuh sokongan bahan baku dan industri komponen pendukung. 

Apa yang Anda lakukan untuk menarik investor asal Jepang agar mau ke sini?

Janganlah kita melihat upaya menarik investasi asing ini hanya sekadar upaya untuk membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekspor. Namun, yang jauh lebih penting dari itu semua adalah added value apa yang akan kita ambil dari investasi asing tadi. Dengan kerangka berpikir seperti itu, kita selektif dalam menarik investasi atau setidaknya investasi yang masuk mesti membawa teknologi baru yang memberi value added. Pasalnya, teknologi tersebut akan membawa peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kualitas.

Makanya, saya kurang setuju dalam kampanye menarik investasi pemodal Jepang dengan menjual tenaga kerja yang murah. Sebagai bangsa, kita mesti memikirkan bagaimana agar SDM di dalam negeri memiliki skill yang menjadi added value bagi calon investor. Ini yang mesti jual ke calon investor. 

Bisa diberikan contoh added value di industri elektronika?

Saya ambil contoh produk elektronika, seperti pompa air, kulkas, dan air conditioner (AC). Ketiga produk tersebut membutuhkan komponen kompresor. Di Indonesia belum ada pabrik kompresor. Sudah lebih dari sepuluh tahun lalu, saya menyampaikan kepada pemerintah betapa pentingnya menghadirkan industri kompresor di dalam negeri. Tetapi apa mau dikata, sampai saat ini, belum ada tuh pabrik kompresor di Indonesia. 

(Dalam berbagai kesempatan, Rachmat Gobel mengatakan, dengan struktur industri elektronika nasional yang masih bergantung komponen impor, bukanlah kondisi ideal. Itu disebabkan struktur industri kokohnya ada di luar negeri, sedangkan pasarnya di dalam negeri. Kondisi inilah yang membuatnya tidak nyaman dan berupaya untuk membalik situasinya-red.)

Kenapa?

Hal ini sangat bergantung pada kebijakan pemerintah, seperti insentif (pajak) apa yang akan diberikan kepada calon investor khususnya pabrikan kompresor kalau mereka mau investasi di Indonesia. Industri kompresor ini padat modal karena terkait dengan pemakaian teknologi di dalamnya. Padahal, kalau industri kompresor bisa dibangun di sini, bukan hanya akan membuka lapangan pekerjaan, pajak penghasilan, devisa ekspor, tetapi menguasai teknologi untuk memproduksi sendiri di dalam negeri. Kita tidak bisa menguasai teknologi tanpa memproduksi barang tersebut di dalam negeri terlebih dahulu. Baru setelah itu kita mengembangkannya.

Saya sudah melihat beberapa perusahaan besar di Jepang seperti Honda dan Toyota. Di sana orang lokalnya sudah mampu menguasai lini produksi seperti membuat produk yang efisien dengan produktivitas yang tinggi. Dari sini, mereka mengembangkan sendiri produk tersebut. Contoh lain, pembuatan Iphone. Komponennya berasal dari Taiwan, migrasi bangun pabrik di Cina. Nah, lama-kelamaan Cina belajar bagaimana proses produksi membuat HP dan komponen pendukungnya. Setelah proses belajar tersebut, Cina mampu memproduksi HP dengan spesifikasi tidak kalah dari Iphone. Kita pun mesti meniru Cina yang belajar proses membuat HP, lalu menguasai teknologinya dan akhirnya mampu membuat sendiri. 

Jadi, dalam menarik calon investor pun Anda sangat memperhatikan tipe pemodal yang akan membawa value added?

Iya, dong. Dalam mempromosikan dan menarik calon investor bukanlah sekadar mari silahkan masuk, pasar kita besar, lho. Tidak begitu. Kita harus menentukan, mau apa. Kuncinya, apa yang membuat kita kuat. Indonesia ini negara besar, tinggal bagaimana kita membangun industri yang memberi value added bagi negara. Janganlah kita hanya menjadi negara yang menjual hasil mentahan (raw material) saja tanpa mengolahnya dan mendapat value added dengan membangun industri pengolahan.

Kalau merujuk roadmap pembangunan industri elektronika yang dibuat Kadin (2010—2020) dan Pemerintahan Jokowi (Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional/ RIPIN 2015—2035) ada kesamaan arah, yakni membangun industri komponen. Bagaimana implementasinya? 

Tentu kami selaku pelaku industri elektronika tidaklah bisa menyusun sendiri, perlu duduk bersama pemerintah untuk sepakat menentukan langkah implementasinya. Sebagai pelaku industri elektronika, misalnya, kami mengusulkan agar dibangun industri komponen seperti kompresor yang sejujurnya sudah lebih sepuluh tahun lalu ini dikumandangkan, tetapi belum ada realisasinya. Pangkal soalnya, belum ada keselarasan pemahaman antara yang kami pikirkan dengan pemerintah. Menurut kami, yang namanya membangun industri komponen seperti kompresor itu value added-nya besar.

Saat ini, kita tahulah bahwa fokus perhatian pemerintah sedang pada proyek infrastruktur, ya sudah, kami dari pelaku industri menyokong arah kebijakan pemerintah ini. Namun, seiring dengan perbaikan dari sisi infrastruktur yang memang vital bagi pelaku industri karena menyangkut arus barang, kita juga perlu mempersiapkan diri agar pembangunan supporting industry di industri elektronika juga berjalan. Kalau tidak demikian, nanti saat infrastruktur sudah rampung, pelaku industri tidak akan optimal menikmatinya, malah akan mempermudah barang impor masuk. 

Sepertinya Anda kurang senang dengan begitu derasnya arus barang impor produk elektronika saat ini yang dipicu bea masuk yang rendah ke Indonesia?

Kalau menurut saya, sebisa mungkin kita membuat sendiri di dalam negeri karena kalau impor ya tidak ada value added untuk negara ini. Saya bicara seperti ini bukan berarti saya anti-impor, tidak! Seperti visi mendiang ayah saya (Thayeb M. Gobel) yang tidak mau hanya menjadi pedagang, tetapi ingin membangun industri dengan membangun SDM yang berkualitas dan ada transfer teknologi yang akan memberi value added yang besar bagi negara ini.

Kalau merujuk pengalaman Anda membangun kerja sama dengan Panasonic yang sudah lebih dari separuh abad, tentu kerja sama Gobel-Panasonic dalam bingkai membangun industri yang memberi value added. Bisa diceritakan?

Saya mau cerita begini. Kemitraan Gobel dan Panasonic dibangun atas kesamaan filosofi kedua founder perusahaan tersebut (Thayeb M. Gobel dan Konosuke Matsushita). Tetapi, di di luar itu, yang jujur saya kagumi dari bermitra dengan Jepang adalah mereka tidak sekadar berinvestasi dan memperkerjakan orang, tetapi mereka melatih orang-orang itu sendiri. Orang Jepang punya falsafah, kalau mau membuat barang berkualitas, diawali dengan membangun manusia berkualitas. Artinya, di situ ada pendidikan.

Kunci SDM berkualitas itu terletak pada karyawan yang paling bawah. Mengapa? Karena karyawan yang paling bawahlah yang menentukan profit perusahaan. Ketika saya selesai sekolah di Jepang, saya pernah mengikuti pelatihan di pabrik baterai selama enam bulan. Waktu itu, pabrik sedang mengembangkan mesin yang bisa menghasilkan 20 ribu baterai. Saya masuk ke pabrik di level paling bawah. Tugas saya mencatat setiap berapa menit mesin berhenti. Lalu, bersama pegawai lainnya—yang hanya lulusan SMA—kami menganalisis dan memberi masukan perbaikan. Jadi, perbaikan teknologi itu bersumber dari level paling bawah.

Dari masukan pegawai pabrik yang paling bawah inilah akan diteruskan dan disempurnakan oleh bagian engineering. Jadi, bagi perusahaan Jepang, membangun SDM berkualitas itu hal yang utama agar menghasilkan produk berkualitas pula. Dengan latar seperti inilah, pendidikan (training) bagi karyawan itu menjadi hal penting dilakukan. Dalam tataran praktiknya ini tidak mudah. Jepang saja tidak gampang. Itu sebabnya mengapa perusahaan-perusahaan Jepang memperkuat basis research and development (R&D) agar produk yang dihasilkan terus mengalami peningkatan kualitas. Jadi, kuncinya ada pada SDM berkualitas dan R&D.

(Kemitraan Gobel dan Panasonic sudah memasuki usia 58 tahun pada 2018. Kesamaan visi kedua founder yang membuat kemitraan ini bisa terawat dengan baik. Gobel menjadi satu-satunya mitra Panasonic yang beroperasi di berbagai belahan dunia. Pabrik Panasonic di negara lain, kepemilikan saham sepenuhnya dipegang oleh Panasonic. Bagi Gobel, tidak mengapa kepemilikan saham 40% dan 60% Panasonic. 

Kepemilikan saham minoritas bukan berarti Gobel “kecil”. Filosofi kanji Jepang Hito & Hairu jadi pijakan Gobel. Hito artinya manusia. Ditulisan kanji itu ada garis kecil menopang garis besar. Itu dimaknai sebagai yang kecil menopang yang besar. Tetapi ketika yang besar tumbuh, yang kecil juga ikut terkerek dan menjadi besar pula. Bahwa ketika Panasonic di Indonesia tumbuh menjadi besar, Gobel pun ikut serta dan punya andil.)

Kalau melihat kerangka berpikir Anda, terasa sekali visi seorang industriawan. Lalu, apa bedanya antara membangun industri dan membangun pabrik?

Kalau diperhatikan sekilas, antara membangun industri dan pabrik itu beda tipis. Keduanya sama-sama memiliki wujud, ada mesin, gedung, bahan baku, dan pekerja. Tetapi membangun industri tidak hanya sekadar itu, masih ada lagi rangkaian membangun SDM berkualitas dan R&D. Dari hasil R&D ini, produk diharapkan memenuhi kebutuhan konsumen, jadi tidak sekadar dengan harga yang bisa diterima konsumen.

Ada juga yang membangun pabrik lebih murah, tetapi setelah itu tidak bertanggung jawab, itu bukan industri. Makanya, ada after sales service supaya kalau ada kerusakan dia masih bisa memberikan dukungan dengan membetulkan produk. Sebab, produk yang dibeli seseorang menjadi aset, ada nilainya, dan itu harus dijaga. After sales service itu penting. Jadi, tidak sekadar asal membuat barang. 

(Bagi Panasonic-Gobel, keuntungan itu wujud apresiasi konsumen. Bagaimana menjaga kepercayaan keuntungan dari konsumen itu dilakoni dengan menyalurkan sebagian untuk program research and development/R&D, produk terus dikembangkan menyesuaikan kebutuhan konsumen. Keuntungan perusahaan tidak dimaknai sebagai hak dari pemegang saham, tetapi bagaimana dikembalikan kepada konsumen. Keuntungan perusahaan dimanfaatkan pula untuk mengembangkan industri elektronika di dalam negeri.)

Sebagai seorang yang bervisi industriawan, bisa dijelaskan kenapa Anda membuka toko kue merek Chateraise asal Jepang akhir tahun 2017 lalu, bukankah itu dalam bingkai berdagang?

Saya tidak sedang berdagang ketika membuka toko kue Chateraise. Saya tidak mau hanya sekadar berdagang. Saya harus punya value added bekerja sama dengan pemilik kue asal Jepang itu. Okelah, saat ini saya masih impor. Awalnya, saya hanya ditawari sebagai pemegang franchise di Indonesia, saya tidak mau. Saya bilang saya mau membangun kerja sama. Kenapa begitu? Karena pabrik kue ini melakukan pembinaan kepada petani pemasok seperti stroberi dan buah-buah lainnya. Pabrik kue itu juga melakukan pembinaan kepada peternak sapi yang susunya dipakai untuk membuat roti. Begitu juga kepada peternak ayam agar telor yang dihasilkan low colesterol

Lalu, value added apa yang Anda petik dari kerja sama dengan Chateraise?

Apa yang dilakukan Chateraise itulah yang ilmunya ingin saya terapkan di Indonesia. Sekarang saya sudah mulai dengan membangun pengembangan buah stroberi di Danau Toba, Sumatera Utara. Saat ini, sedang dilakukan penelitian dengan bantuan teknis dari ahli dari Jepang. Misinya adalah bagaimana menghasilkan buah stroberi dengan kualitas yang sama dengan di Jepang sehingga bisa diekspor. Begitu juga untuk buah mangga, saya melakukan pembinaan dengan Taja Tani, buah durian, sayur-sayuran, dan lainnya. Bahkan, sekarang ini saya sedang membuka toko untuk menyalurkan produk-produk pertanian agar petani punya kepastian harga dan pendapatan.

Kenapa ekspansi usaha justru ke pertanian? 

Ini yang belum banyak diketahui orang bahwa visi Almarhum Thayeb M. Gobel sebenarnya ada dua, yakni membangun industri elektronika dan pertanian. Kakek saya seorang petani di Gorontalo, Sulawesi. Di kantor ini ada lukisan bagaimana pembayangan petani Indonesia ke depan oleh mendiang ayah saya (Rachmat Gobel menunjuk ke sebuah lukisan di dinding ruang tamu Gobel Internasional yang menggambarkan petani Indonesia sedang membajak sawah memakai traktor. Lukisan ini dibuat tahun 1960). Menurut beliau, fondasi ekonomi negara ini adalah pertanian. 

(Sebagai generasi kedua, Rachmat Gobel kini tengah menyiapkan penerusnya Muhamad Arif Gobel, anaknya. Meski tidak sekeras ketika Rachmat mendapat gemblengan dari ayahnya yang mewajibkan ke pabrik untuk bantu-bantu setiap pulang sekolah, ia tetap menjadikan pabrik sebagai sarana dojo untuk menggembleng calon penerusnya. Sang anak harus bisa menghargai pegawai yang paling rendah dan menerapkan visi dan misi mendiang kakeknya

Akan tetapi, kenapa elektronik jauh lebih menonjol?

Waktu itu teknologi traktor terlalu cepat, sudah buat traktor ketika itu dengan merakit (assembling) yang bersamaan dengan perakitan teve. Hanya saja teknologinya terlalu cepat, sedangkan pasarnya dan tenaganya belum siap untuk menerima teknologi tersebut.

Selain dimensi waktu yang terbilang terlalu cepat untuk mewujudkan pertanian yang modern, ketika itu bisnis elektronika yang sedang dibangun Gobel dan Matsushita terus berkembang yang membutuhkan investasi yang besar. Mau nggak mau visi pertanian dipending dulu. 

Apakah Anda melihat adanya momentum untuk mengembangkan agrobisnis ketika bertemu mitra seperti Chateraise?

Ya, saya melihat adanya momentum. Saya bertemu mitra yang membangun industri pangan, yang membina petani selaku penyuplai bahan baku. Kelak, saya ingin membangun kue asli Indonesia menjadi produk global. Tidak hanya kue, saya juga ingin mengembangkan produk minuman khas Indonesia seperti jamu temulawak untuk bisa menjadi produk global. Di sinilah saya akan meminta bantuan dari tenaga ahli dari Jepang dan mitra kerja untuk mengembangkannya.

Sepertinya serius sekali Anda akan menggarap agrobisnis ini?

Gobel Internasional memiliki dua divisi besar usaha, yakni elektronika dan pangan (food and hospitality). Saat ini, saya sedang bangun 250 hektare lahan untuk areal food estate, seperti pertanian, perkebunan (coklat-red), dan peternakan di Gorontalo, Sulawesi. Saya meminta bantuan tenaga ahli dari Jepang untuk memperkuat sisi teknologinya, nanti kalau sudah ketemu skala ekonominya, saya akan membangun pabrik coklat dengan kualitas prima yang menjadi kebanggaan produk Indonesia. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: