Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nama Perusahaan Tidak Sesuai Pemiliknya? KPK Tunggu Aturan dari Jokowi

Nama Perusahaan Tidak Sesuai Pemiliknya? KPK Tunggu Aturan dari Jokowi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengharapkan Peraturan Presiden (Perpres) soal "beneficial ownership" segera diterbitkan.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa mengatakan aturan itu sangat penting bagi kedua lembaga penegak hukum tersebut.

KPK dan PPATK percaya Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perpres tersebut karena memang ada komitmen yang cukup kuat juga untuk pencegahan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Sebelumnya, pimpinan dan beberapa pejabat struktural PPATK mendatangi gedung KPK membahas soal "beneficial ownership" tersebut.

"Pembahasan tentang "beneficial ownership" atau untuk mengetahui siapa sebenarnya pemilik sesungguhnya, kadang-kadang pemilik sesungguhnya dari sebuah perusahaan itu bisa tertulis bisa saja tidak tertulis dan ini bisa menjadi salah satu modus dalam tindak pidana korupsi yang semakin canggih dan juga bisa jadi modus dalam TPPU," katanya.

Febri mengemukakan, PK dan PPATK berharap Perpres soal "beneficial ownership" itu sudah dipublikasikan dalam waktu dekat.

Menurut dia, jika Perpres itu sudah bisa diterapkan maka akan semakin sempit ruang bagi para pelaku korupsi dan pencucian uang untuk menyembunyikan kekayaan hasil kejahatan itu di balik aset-aset perusahaan.

"Seringkali ada perusahaan yang secara teknis dijalani oleh pihak lain tetapi pemilik yang sesungguhnya itu disembunyikan. Dengan aturan 'beneficial ownership' itu bisa dipersempit sehingga upaya pencegahannya juga menonjol dan untuk penindakan kami lebih mudah telusuri aset-aset hasil kejahatan itu," ujarnya.

Sebagai contoh, kata Febri, terkait kasus yang terkait dengan "beneficial ownership" itu adalah kasus korupsi KTP-elektronik (KTP-e).

"Dalam kasus KTP-e, contoh ketika transaksi keuangan itu dibuat dengan cukup rumit seolah-olah secara sepintas tidak akan bisa terdeteksi bahwa itu adalah pelanggaran hukum," kata dia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: