Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Restorasi Ekosistem: Kewajiban Pelaku Bisnis di Sektor Kehutanan

Restorasi Ekosistem: Kewajiban Pelaku Bisnis di Sektor Kehutanan Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pelaku bisnis di sektor kehutanan memiliki kewajiban terhadap alam dan lingkungan. Program melindungi, menilai, merestorasi, dan mengelola hutan gambut yang terdegradasi menjadi misi yang tidak gampang.

Pengalaman APRIL Group sebagai grup besar memiliki komitmen untuk menyokong US$100 juta dalam jangka 10 tahun untuk merestorasi dan konservasi. Hal ini senada dengan keinginan grup untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Dalam melakukan restorasi hutan gambut yang terdegradasi tersebut, ada empat tahap metode konservasi gambut secara berkelanjutan. Pertama, metode perlindungan. Hal ini mencakup pembentukan fungsi penjagaan dan patroli, serta skema pengelolaan sumber daya dan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, metode penilaian. Hal ini menyangkut penyelidikan, penilaian, serta mempelajari keadaan dan kekayaan flora, fauna, dan habitat margasatwa. Ketiga, metode restorasi. Dalam hal ini, restorasi lahan yang terdegradasi melalui proses restocking menggunakan bibit dari hutan dan sekitarnya. Keempat, metode pengelolaan. Maksudnya, implementasi rencana pengelolaan jangka panjang yang komprehensif tim ahli.

Program restorasi ekosistem tersebut berada di wilayah konsesi PT Gemilang Cipta Nusantara, PT Sinar Mutiara Nusantara, PT The Best One UniTimer, dan PT Global Alam Nusantara. Luas area untuk program tersebut 150 ribu hektare yang tersebar di dua area, seluas 130 ribu hektare di Semenanjung Kampar dan 20 ribu hektare di Pulau Padang.

Pusat operasi APRIL ada di Riau, tidak jauh juga dari Semenanjung Kampar. Pada area restorasi tersebut, kita perkirakan semuanya gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, makanya perlu dijaga. Area tersebut juga merupakan sumber air bagi semua yang bergantung pada kawasan itu, baik kami yang punya tanaman industri, perusahaan lain yang berada di sana, suaka margasatwa, maupun kehidupan liar lainnya yang memerlukan air. Masyarakat yang tinggal di sekeliling hutan atau hutan desa yang berada di situ juga membutuhkan air. Oleh sebab itu, manajemen juga berpikir untuk melindungi kawasan ini karena ini kawasan gambut yang berharga.

Oleh sebab itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencadangkan kawasan tersebut sebagai bagian dari kawasan restorasi ekosistem. KLHK mempunyai target lebih dari 1,9 juta hektare untuk dijadikan menjadi kawasan restorasi ekosistem. Adapun kami mengelola 150 ribu hektare, dan luas tersebut nomer 2. Adapun satunya lagi Rimba Makmur Utama, yang dipimpin Dharsono Hartono miliki lebih dari 150 ribu hektare. Sekarang, total ada 600 ribu hektare izin restorasi ekosistem yang dikeluarkan oleh KLHK. 

Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHK-RE) diberikan selama 60 tahun dan bisa diperpanjang. Semua izin yang diberikan kepada kami mulai dari 20122013. Berbeda dengan IUPHK-Hutan Tanaman Industri yang diberikan untuk jangka waktu 35 tahun. IUPHK-RE lebih lama waktunya karena tidak mudah untuk mencapai indikator keseimbangan ekosistem hayati yang disepakati.

Sampai sekarang, kita pun masih terus berdiskusi untuk mencari referensi ekosistem mana yang dicapai untuk pembanding atau referensi. Kalau kita sudah ketemu referensinya, sudah sepakati indikatornya, meski menuju ke situ juga  tidak mudah. Kita juga bisa memanfaatkan nilai ekonomis pemanfaatan hutan. Bisa ekowisata, ada yang mengembangkan rotan di dalamnya. Hal ini boleh saja kalau sudah mencapai titik keseimbangan untuk memanfaatkan hutan.

Mungkin suatu saat kita juga harus memikirkan usaha yang tidak merusak hutan, tetapi menggunakan jasa lingkungan tanpa mengurangi fungsi-fungsi ekologisnya dari pada hutan itu. Untuk ekowisata tidak dalam waktu dekat ini dilakukan. Keanekaragaman hayati di sana terdapat lebih 80 spesies flora dan fauna yang dilindungi secara global. Artinya, kalaupun kita mau membuka peluang untuk ekowisata, kita harus punya aturan yang ketat sekali.

Hal tersebut tidak menutup kemungkinan dilakukan ke depannya. Perlu saya katakan bahwa ini hanyalah fase awal. Kita juga sambil melakukan assesment. Saya harus melihat peluang yang tidak hanya menjadi alternatif pendapatan lain, untuk operasional perusahaan bukan untuk keuntungan.

Sebagaimana konsesi restorasi ekosistem yang panjang, maka harus menyusun manajemen jangka panjang. Kami harus yakinkan bahwa rencana yang disusun itu sama dengan rencana pemegang lain di wilayah tersebut, baik suaka margasatwa, hutan rakyat, dll.

Jadi, Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) itu bisa sejalan. Artinya, kami bisa mengadopsi dari pihak lain, dan kita juga bisa mengakomodasi yang akan berjalan ke dalammya. Dalam hal ini kita juga memanfaatkan hasil hutan, bukan kayu karena restorasi ekosistem utamanya hasil hutan, bukan kayu (HHBK), tidak perlu mengurangi ekologis dari hutan tersebut, tetapi bisa memberikan nilai ekonomi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: