Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Alat Perang Modern Itu Dinamakan Narkoba

Alat Perang Modern Itu Dinamakan Narkoba Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Narkotika dan obat-obat berbahaya/terlarang atau lebih populer dengan sebutan narkoba, merupakan senyawa yang memberi efek kecanduan bagi para penggunanya, baik secara mental maupun kejiwaan.

Dari sisi ilmu kedokteran, narkoba hanyalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa digunakan para dokter atau rumah sakit untuk membius pasien yang hendak menjalani operasi.

Namun, masyarakat tampaknya ada yang salah mengartikan manfaat narkoba sehingga menggunakannya melampaui ambang batas yang kemudian memengaruhi susunan sistem syaraf (neurologis), jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), kulit (dermatologis), dan paru-paru (pulmoner).

Bahaya narkoba tidak hanya sebatas itu, tetapi juga memengaruhi psikologis seseorang, seperti hilangnya rasa percaya diri dan agitatif serta membawa pengaruh terhadap lingkungan sosial seperti gangguan mental dan tindakan asusila.

Menurut para ahli psikotropika, serangan yang ditimbulkan setelah mengonsumsi narkoba, sangat bergantung dari jenis narkoba yang dikonsumsi. Narkoba jenis Opioid dapat mengakibatkan depresi berat, apatis, lelah berjalan, kehilangan nafsu makan sampai mual dan muntah.

Sementara narkoba jenis kokain, membuat denyut jantung bertambah cepat, rasa gembira berlebihan, banyak bicara kemudian gelisah, pergerakan mata tidak terkendali sampain penyumbatan pembuluh darah. Sedang, ganja membuat mata jadi sembab, pendengaran terganggu, tulang gigi menjadi keropos serta menghancurkan saraf mata dan otak.

Narkoba jenis ekstasi, membuat seseorang menjadi sangat energik tapi matanya sayu dan wajahnya pucat, merusak saraf otak dan gangguan liver, dehidrasi dan sulit tidur. Sedangkan narkoba jenis Shabu, membuat seseorang jadi paranoid, sulit berpikir serta pecahnya pembuluh darah jantung yang berujung pada kematian.

Bahaya narkoba tersebut kemudian dipelajari dan didalami oleh negara-negara tertentu untuk melumpuhkan kekuatan musuhnya tanpa harus menggunakan sistem persenjataan yang canggih sekali pun.

Markas Besar TNI-AD juga menyadari bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat hingga oknum aparat TNI-Polri dewasa ini merupakan bagian dari perang modern yang digunakan musuh untuk menyerang suatu negara.

"Perang modern tidak lagi menggunakan kekuatan senjata (hard power) seperti yang dibayangkan masyarakat kita selama ini, tetapi lebih cenderung pada perang proxi (menggunakan pihak ketiga sebagai pelaku perang)," kata Mayjen TNI Heboh Susanto, perwira tinggi militer di lingkungan Pusterad Mabes TNI-AD.

Dalam pandangan militer, perang modern atau perang proksi, bukan hanya menyerang sistem ekonomi secara sistemik, tetapi juga ideologi bangsa, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan yang bertujuan merusak sebuah bangsa, dengan merusak terlebih dahulu generasinya melalui peredaran narkoba.

"Perang modern atau perang proksi harus dilakukan secara bersama-sama. Tak bisa hanya mengandalkan aparat negara dalam memberantas peredaran narkoba. Penyalahgunaan narkoba merupakan musuh bersama. Mari kita hadapi bersama pula," kata jenderal berbintang dua itu.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso juga sependapat bahwa peredaran gelap narkoba saat ini merupakan sebuah alat perang modern yang bertujuan menghancurkan ketahanan dan masa depan suatu bangsa yang harus dihadapi secara bersama-sama pula.

Dalam catatan BNN, peredaran gelap narkotika dan obat terlarang di berbagai kota di Indonesia sudah pada level membahayakan dengan sasaran generasi muda dan aparatur sipil negara (ASN). "Ini persoalan serius yang harus ditanggulangi secara bersama-sama," kata Budi Waseso.

Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga menyadari sepenuhnya bahwa gencarnya peredaran narkoba di Indonesia saat ini merupakan bagian dari perang candu dan proxy war untuk melumpuhkan kekuatan suatu bangsa dengan menyerang terlebih dahulu generasi mudahnya.

"Ini bisnis ilegal terbesar di Indonesia saat ini. Semua bisnis ilegal pasti akan merapat kepada aparat keamanan untuk mencari perlindungan, baik ke polisi maupun TNI. Dan, tahun 2016, tercatat sekitar 5,1 juta penduduk Indonesia terlibat narkoba, dan setiap tahun 15.000 orang meninggal dunia akibat narkoba," ujar Nurmantyo.

Puluhan Ribu Korban Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia, juga menjadi incaran para pengedar barang-barang berbahaya itu sebagai salah satu upaya untuk melumpuhkan kreativitas generasi daerah lewat perang modern tersebut.

BNNP Nusa Tenggara Timur mencatat selama tahun 2017 terdapat 32.000 orang warga di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini menjadi korban penggunaan narkoba.

"Secara kuantitas, jumlah korban pengguna narkoba memang turun, jika dibandingkan dengan tahun 2016 yang mencapai 49.329 orang, namun ini sudah pada tingkatan yang sangat membahayakan," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNNP NTT Yos Gadhi.

Ia mengakui bahwa turunnya angka korban pengguna narkoba di NTT tersebut tidak lepas dari gencarnya sosialisasi yang dilakukan BNNP NTT tentang bahaya peredaran gelap narkoba.

Dalam catatan BNNP NTT, pengguna narkoba di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini lebih banyak mengonsumsi narkoba jenis shabu-shabu serta ganja karena kedua jenis narkoba itu dinilai harganya lebih murah ketimbang ekstasi atau jenis narkoba lainnya.

Selain melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap barang-barang berbahaya tersebut, BNNP NTT juga terus berupaya merehabilitasi pengguna narkoba agar segera lepas dari kecanduan yang telah lama melekat dalam diri seorang pengguna narkoba.

"Sampai sejauh ini, kami sudah melakukan rehabilitasi terhadap 150 warga pengguna narkoba untuk mengembalikan fungsi dan sistem kekebalan tubuh mereka dari kecanduan narkoba," kata Kordinator Klinik Pratama BNNP Nusa Tenggara Timur dr Daulat Samosir.

Proses rehabilitas tersebut diawali dengan mempelajari tingkat kecanduan korban pengguna agar mudah dalam melakukan rehabilitasi. "Bagi yang masuk kategori kecanduan berat akan didahului dengan proses detoksifikasi guna meminimalisir gejala-gejala kecanduan mengkonsumsi narkoba dengan melakukan terapis medis," katanya.

Dokter Samosir yang sudah tiga tahun bertugas di NTT itu mengakui bahwa rehabilitasi terhadap 150 orang korban pengguna narkoba itu berjalan dengan sukses karena pada umumnya masih sebatas sebagai pengguna narkoba tingkat pemula.

Dalam kurun waktu 2013 sampai 2017, BNNP NTT mencatat hanya lima orang pengguna narkoba masuk dalam kategori pemadat sehingga dikirim ke pusat rehabilitasi narkoba di Lido, Jawa Barat untuk menjalani proses rehabilitasi. "Mereka sudah pulang semuanya ke NTT dan telah beraktivitas kembali dalam masyarakat," ujar dr Samosir.

Selain itu, Kementerian Sosial juga memberikan bantuan modal usaha sebesar Rp125 juta untuk 25 orang korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Napza) di Kota Kupang sebagai modal usaha untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif (UEP).

"Masing-masing orang mendapat alokasi bantuan Rp5 juta sebagai modal usaha untuk beternak babi, ayam, bengkel, kios dan rumah makan," kata Veronika Wawo, Ketua Yayasan Warna Kasih Kupang, sebuah LSM yang bergerak khusus di bidang rehabilitasi korban narkoba.

Kini, narkoba telah menjadi sebuah kekuatan yang sangat menakutkan karena telah merubah perangainya menjadi sebuah sistem persenjataan modern untuk melumpuhkan kekuatan sebuah bangsa dengan menghancurkan terlebih dahulu generasi bangsanya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Gito Adiputro Wiratno

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: