Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

OJK: Digitalisasi di Industri Asuransi Munculkan Risiko Baru

OJK: Digitalisasi di Industri Asuransi Munculkan Risiko Baru Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyambut baik penggunaan teknologi digital (digitalisasi) di industri perasuransian di Indonesia. Meski demikian, kehadiran teknologi digital juga memunculkan risiko baru bagi industri asuransi.

Demikian yang dikatakan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Riswinandi dalam sambutannya pada acara Masa Depan Penetrasi Digitalisasi Perasuransian yang digagas oleh Warta Ekonomi di Jakarta, Kamis (15/3/2018).

"Tidak bisa dupingkiri bahwa efek digitalisasi perasuransian akan mengubah pola operasional di lapangan. Mengingat pergeseran pola tradisional ke dalam sistem yang serba digital akan meningkatkan risiko operasional seperti risiko kegagalan mengenal konsumen dengan komprehensif, risiko fraud/penipuan, risiko tindak pencucian uang, dan sebagainya," ujar Riswinandi.

Menurut dia, tingginya ketergantungan pada data serta interkonektivitas sistem informasi, juga akan menimbulkan jenis risiko baru yang disebut sebagai cyber risk.

"Hal ini berkaitan dengan exposure kegagalan pada sistem baik yang disebabkan dari internal maupun dari eksternal. Oleh karenanya, perusahaan asuransi saat ini dituntut untuk memiliki manajemen risiko serta business continuity plan yang memadai untuk menangkal jenis disrupsi tersebut," jelasnya.

Selain itu, untuk menjadi catatan bersama juga bahwa dalam melakukan penetrasi pasar asuransi yang berbasis digital, sisi prudential dan aspek market conduct harus tetap menjadi prioritas, khususnya dalam memastikan terlindunginya konsumen di sektor jasa keuangan.

Meski demikian, teknologi digital di perasuransian juga memberikan manfaat dalam meningkatkan bisnis dan penetrasi kepada masyarakat dengan lebih mudah, efektif dan efisien.

"Pemasaran dan promosi dengan menggunakan teknologi digital juga dapat menguntungkan bagi seluruh pihak, baik perusahaan asuransi, calon tertanggung/pemegang polis maupun pihak ketiga yang terlibat," ungkap Riswinandi.

Lebih jauh, katanya, layanan keuangan digital juga dianggap sebagai cara yang efektif untuk menyediakan peluang dalam mendorong inklusi keuangan dengan meringankan biaya transaksi keuangan tanpa harus menyediakan layanan keuangan tradisional dalam bentuk jaringan kantor.

"Secara tidak langsung, hal tersebut juga dapat membantu dalam rangka diseminasi produk-produk asuransi secara umum, serta meningkatkan penetrasi asuransi (premi bruto terhadap PDB) yang pada akhir tahun 2017 masih berada pada angka 2,94%," paparnya.

Hal tersebut juga dapat menjadi salah satu cara untuk mengakselerasi target untuk mencapai indeks inklusi keuangan sebesar 75% di tahun 2019 sebagaimana yang termuat di Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: