Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cambridge Analytica: Skandal Penyalahgunaan Data Pribadi

Cambridge Analytica: Skandal Penyalahgunaan Data Pribadi Kredit Foto: Reuters/Pedro Nunes
Warta Ekonomi, Jakarta -

Amerika Serikat dan Inggris geger oleh skandal media sosial mengenai dugaan pemanfaatan profil puluhan juta pengguna Facebook oleh sebuah perusahaan yang disewa tim kampanye Donald Trump sewaktu Pemilihan Presiden 2016 lalu, Cambridge Analytica.

Apa sebenarnya yang dilakukan Cambridge Analytica? Perusahaan yang merupakan afiliasi dari Strategic Communication Laboratories (SCL) ini sesumbar bisa "menemukan pemilih Anda dan mengarahkan mereka untuk beraksi" lewat kampanye berbasis data dan diperkuat sebuah tim yang terdiri dari para ilmuwan data dan psikolog prilaku.

Berbicara kepada TechCrunch pada 2017, CEO Cambridge Analytica Alexander Nix mengungkapkan perusahaannya selalu mendapatkan banyak sekali data. Ia menyampaikan Cambridge Analytica memiliki tim kuat yang setiap hari mencari rangkaian terbaru data.

"Di dalam negeri Amerika Serikat sendiri, kami telah memainkan peran penting dalam memenangkan pemilihan presiden. Selain juga pemilihan anggota kongres dan negara bagian berdasarkan data sekitar 230 juta pemilih Amerika," klaim Cambridge Analytica dalam lamannya.

Memang, selain bekerja pada pemilu yang mengantarkan Trump mencapai Gedung Putih, Cambridge Analytica juga terlibat dalam kampanye politik di berbagai belahan dunia. Tercatat, perusahaan ini memiliki kantor di London, New York, Washington, Brasil, dan Malaysia. Kliennya tersebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Di Amerika Serikat, analis-analis mereka memanfaatkan data untuk menciptakan ribuan pesan yang menyasar pemilih melalui profil-profil mereka di media sosial seperti Facebook, Snapchat, atau layanan streaming Pandora Radio. Media massa Inggris menengarai Cambridge Analytica sebagai pihak yang berada di balik kampanye Inggris keluar dari Uni Eropa atau Brexit.

Menurut laporan New York Times dan The Observer, Cambridge Analytica mencuri informasi dari 50 juta profil pengguna Facebook yang disebut-sebut sebagai pembobolan data terbesar yang menimpa raksasa media sosial itu. Memanfaatkan data yang dicuri tersebut, Cambridge Analytica merancang software guna memprediksi dan mempengaruhi pilihan pemilik suara di kotak suara nanti.

Psikolog Universitas Cambridge Aleksandr Kogan menciptakan aplikasi penguji prediksi sikap yang telah diunduh oleh 270.000 orang. Tool ini memungkinkan Kogan mengakses informasi seperti konten yang disukai atau mendapat like pengguna Facebook dan kota yang disebut dalam profil pengguna FB yang kemudian diteruskan kepada SCL dan Cambridge Analytica.

The Observer melaporkan aplikasi ini juga mengumpulkan informasi dari teman-teman Facebook dari pengguna yang diajak menjalani tes sikap.

Christopher Wylie, mantan karyawan Cambridge Analytica, mengatakan kepada saluran televisi Kanada CBC bahwa Cambridge Analytica telah memanfaatkan data pribadi yang mereka peroleh tanpa izin.

Facebook Terseret

Kepala Eksekutif Facebook Inc Mark Zuckerberg terancam dipanggil oleh dewan perwakilan rakyat Amerika Serikat dan Eropa untuk menjelaskan bagaimana bisa sebuah perusahaan konsultan yang bekerja untuk tim kampanye Presiden Donald Trump memperoleh akses yang tidak layak dalam mendapatkan data 50 juta pengguna Facebook.

"Selubung telah membuka kotak hitam praktik data Facebook dan gambarannya tidak bagus," kata Frank Pasquale, profesor hukum pada Universitas Maryland.

Para wakil rakyat di AS, Inggris, dan Eropa telah menyerukan investigasi menyangkut laporan media massa bahwa Cambridge Analytica telah memanen data dari sekitar 50 juta pengguna Facebook untuk menciptakan teknik-teknik yang mendukung kampanye kepresiden Trump pada 2016.

Hal ini menjadi ancaman terbaru bagi reputasi Facebook yang sebelumnya sudah tercoreng oleh dugaan Rusia telah memanfaatkan tool-tool Facebook untuk mengarahkan pemilih AS dengan melakukan posting-posting berita hasutan dan bohong, sebelum dan sesudah Pemilu 2016.

Adapun, Facebook mengaku telah menyewa perusahaan forensik digital Stroz Friedberg untuk mengaudit menyeluruh Cambridge Analytica yang sudah sepakat mematuhi dan memberi perusahaan forensik digital itu akses ke server-server dan sistem mereka.

Facebook sudah dipanggil Kongres AS pekan lalu untuk ditanyai soal pengamanan data pribadi. Kemarin, Senator John Kennedy dari Partai Republik meminta Zuckerberg untuk bersaksi di Kongres, sedangkan Senator Ron Wyden dari Demokrat mengirimkan surat kepada Zuckerberg untuk menanyakan kebijakan perusahaan media sosial itu dalam berbagi data pengguna dengan pihak ketiga.

Facebook biasanya mengutus para pengacara, organisasi perdagangan, dan perusahaan teknologi lainnya untuk bersaksi di Kongres. Facebook dan pesaing-pesaingnya seperti Twitter Inc dan YouTube telah mengambil langkah sukarela untuk membatasi kemungkinan intervensi asing dan memerangi berita bohong, tetapi mereka tidak pernah dipaksa hukum atau aturan untuk mengubah kebijakannya.

Belum jelas benar apakah Partai Republik yang mengetuai berbagai komisi di Kongres akan mengumumkan dengar pendapat terkait Facebook dan Cambridge Analytica ini. Tetapi komentar para wakil rakyat itu mencerminkan keinginan membentuk penyelidikan bipartisan (dua pihak; Republik dan Demokrat) mengenai apakah perusahaan-perusahaan internet bisa dipercaya menyangkut samudera data pengguna yang mereka kumpulkan.

Beberapa pelobi teknologi diam-diam mengakui bahwa era tidak tersentuhnya Lembah Silikon oleh legislatif AS mulai meredup.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: